Thursday, June 30, 2016

Catatan Reboan (3)


Mendudukkan Posisi NGO
  

BEBERAPA hari lalu salah seorang pengurus IDFoS Indonesia meng-upload sebuah foto di grup WhatsApp milik lembaga itu. Foto yang diangkat lucu, menarik, menggelikan, sekaligus membuat siapa pun yang selama ini akrab dengan dunia Non Government Organization (NGO) masyghul. Termasuk penulis.
Foto itu berupa surat permintaan dari salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya tidak menyebut LSM tersebut dari mana. Takut kena semprit. Takut dituduh menyebarkan kebencian, mencemarkan nama baik. Sekalipun, pasal haatzaai artikelen ini sudah dihapus dalam dunia Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP).
Yang pasti dalam kop suratnya LSM tersebut menyebutkan alamat dari luar Jawa. Namanya juga jauh dari kesan pemberdayaan masyarakat. Atau setidaknya lembaga yang mengesankan bergerak di bidang kemasyarakatan. Namanya lebih mencirikan lembaga bukan dunia lain.  
Yang lucu dan memprihatinkan, surat tersebut adalah berperihal permintaan uang tunjangan hari raya (THR). Surat itu ditujukan kepada sejumlah kepala satuan kerja pemerintah provinsi di luar Jawa. Tampaknya banyak satuan kerja yang disasar.
Terbukti, pada kolom kepada yang dituju, tidak diisi dengan ketikan komputer. Melainkan sengaja dikosongi untuk ditulisi kepala satuan kerja yang disasar. Bukan tidak mungkin pengirim sudah mempunyai list nama-nama kepala satuan kerja yang akan dikirimi surat.
Yang bikin semakin nelangsa sekaligus geregetan, dalam surat itu disebutkan juga banyak nama yang akan menerima THR. Nama-nama tersebut ditulis dalam kolom khusus di surat. Jumlahnya tidak hanya satu atau dua orang. Lebih dari lima orang, baik yang menjabat sebagai ketua atau anggota.  
Saat melihat upload foto tersebut, seketika penulis masyghul. Yang terlintas dalam pikiran adalah  apakah sudah sedemikian dangkalkah cara pandang orang terhadap LSM? Penulis tidak tahu apakah contoh di atas hanya terjadi di luar Jawa.
Atau barangkali di Jawa sebenarnya juga sudah ada, tetapi luput dari pantauan penulis. Yang pasti, itu sangat memprihatinkan dan mendorong penulis menuangkannya dalam kolom Catatan Reboan kali ini.

Perihal Label
Dalam jagat ke-NGO-an, ada banyak label atau padanan kalimat untuk menyebut aktivitas lembaga yang bergerak dalam bidang kemasyarakatan. Ada NGO, civil society organization (CSO) atau yang biasa disebut organisasi masyarakat sipil (OMS), dan LSM itu sendiri.
Penulis sendiri lebih sreg menyebutnya OMS atau CSO. Atau setidak-tidaknya NGO. Sekalipun, kata Shakespeare, apalah arti sebuah nama, toh mawar tetap merah dan wangi. Karena, masing-masing nama mempunyai implikasi ideologis, yang akan penulis bahas sendiri dalam sub bagian selanjutnya dalam tulisan ini.
Kembali ke soal labelling, tidak bermaksud untuk men-generalisasi, entah karena kebetulan ataukah memang itu yang dipahami, stigma masyarakat terhadap LSM, boleh dikata tidak bagus-bagus amat.
Tuduhan LSM sebagai lembaga abal-abal yang bertujuan mencari uang atau sebagai hantu teror atas kasus yang menimpa siapa pun, lebih mendominasi daripada sebagai lembaga yang mempunyai andil atau kontribusi dalam pemberdayaan masyarakat.
Masalahnya adalah di saat stigma masyarakat, bahkan terkadang aparatur pemerintahan, masih belum 100 persen baik terhadap NGO, persepsi tersebut diperburuk dengan, misalnya contoh kasus di atas, yang secara terang-terangan meminta uang kepada satuan kerja pemerintahan.
Padahal, jika ditinjau lebih jauh, permintaan itu tidak ada relevansinya sama sekali dengan mandat sosial yang selama ini identik atau melekat dengan OMS. Apakah kecenderungan tersebut juga terjadi di Bojonegoro?    

Ideologis dan Pragmatis
Ada buku menarik yang sebenarnya bisa menjadi referensi atas sejauh mana OMS mampu memberi kontribusi yang nyata bagi masyarakat. Buku itu sangat terkenal dan selalu menjadi referensi bagi para pelaku aktivitas pemberdayaan masyarakat. Bahkan, juga dijadikan sebagai rujukan dalam khazanah perpolitikan.
Pasti Anda sudah mengenal. Buku itu ditulis oleh Sosiolog atau Ilmuwan kenamaan asal Italia, Antonio Gramsci. Seratusan tahun yang lalu malah buku tersebut ditulis. Tetapi, rasanya masih sangat relevan dengan masa kini. Buku yang sudah sangat terkenal tersebut berjudul Negara dan Hegemoni. 
Dalam bukunya, Gramsci menyebutkan, suatu negara akan maju dan sejahtera apabila pemangku kepentingan (stakeholders) negara berhasil memadukan dua kekuatan. Ini yang disebutnya sebagai hegemoni. Gramsci menyebutnya sebagai Masyarakat Politik dan Masyarakat Sipil (Civil Society).
Masyarakat Politik didefinisikan Gramsci sebagai kekuatan politik formal yang menyokong organisasi negara melalui demokrasi prosedural. Masyarakat Politik diwakili oleh partai politik, parlemen, dan termasuk dalam hal ini adalah senat atau jika di Indonesia Dewan Perwakilan Daerah.
Sedangkan Masyarakat Sipil merupakan elemen atau komponen masyarakat, bisa organisasi atau subkultur masyarakat yang secara konsisten dan (ingat) mempunyai hubungan independen dengan negara, yang menyuarakan aspirasi dan kepentingan publik. Masyarakat Sipil juga sebagai kekuatan penyeimbang dan kontrol akan keberlangsungan pemerintahan.
Satu hal lagi, Masyarakat Sipil yang dimaksud berlandaskan ideologis. Maksudnya, landasan yang digunakan dalam operasionalisasi Masyarakat Sipil mempunyai basis ideologis maupun filosofis yang jelas dalam relasi Negara-Masyarakat. Sebagai contoh, Masyarakat Sipil memahami masyarakat tidak bisa hanya dijadikan sebagai subordinat, tetapi setara, sejajar dengan negara yang harus didengar dan disuarakan hak-haknya.
Dalam perkembangannya, terminologi Masyarakat Sipil dipahami antara lain sebagai OMS yang pada operasionalisasi berlandaskan ideologis. Konstruksi visinya jelas. Misi yang akan dilakukannya jelas dan terukur melalui pendekatan-pendekatan yang memang berbasiskan kebutuhan riil publik, demi perbaikan menuju kesejahteraan.
Bagaimana membedakannya dengan NGO atau LSM sekarang? Sebenarnya cukup mudah. Kalau ada lembaga yang orientasinya hanya untuk kepentingan individu institusi tanpa mempunyai landasan yang jelas atas konstruksi visinya, jelas itu hanya untuk kepentingan pragmatis. Ujung-ujungnya pada sebatas materi semu.
Sedangkan NGO, OMS, dan CSO yang ideologis adalah lembaga yang konstruksi visinya jelas atas dasar mandat sosial yang diembannya. Ia juga mempunyai standar terukur dalam menentukan step dan mendiskusikannya secara berulang-ulang dengan publik.
Dan satu hal lagi, ia juga mempunyai kesadaran sosial yang tinggi untuk selalu memperbaiki institusi dengan asas-asas keterbukaan (akuntabilitas publik) dalam setiap kerja-kerja ke-NGO-annya dan peningkatan kapasitas personal dan institutional. Jadi, cukup mudah bukan untuk membedakannya? Salam Reboan... (*)

Ujung Sersan Mulyono 35, 29 Juni 2016
*) Direktur IDFoS Indonesia. Ditayangkan di website IDFoS Indonesia (www.idfos.or.id)
                                                                                                                                        

No comments:

Post a Comment