Mendudukkan
Posisi NGO
BEBERAPA hari lalu salah seorang pengurus IDFoS Indonesia meng-upload sebuah foto di grup WhatsApp milik lembaga itu. Foto yang
diangkat lucu, menarik, menggelikan, sekaligus membuat siapa pun yang selama
ini akrab dengan dunia Non Government
Organization (NGO) masyghul. Termasuk penulis.
Foto itu berupa surat permintaan dari salah satu lembaga swadaya
masyarakat (LSM). Saya tidak menyebut LSM tersebut dari mana. Takut kena
semprit. Takut dituduh menyebarkan kebencian, mencemarkan nama baik. Sekalipun,
pasal haatzaai artikelen ini sudah
dihapus dalam dunia Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP).
Yang pasti dalam kop suratnya LSM tersebut menyebutkan alamat dari luar
Jawa. Namanya juga jauh dari kesan pemberdayaan masyarakat. Atau setidaknya
lembaga yang mengesankan bergerak di bidang kemasyarakatan. Namanya lebih
mencirikan lembaga bukan dunia lain.
Yang lucu dan memprihatinkan, surat tersebut adalah berperihal
permintaan uang tunjangan hari raya (THR). Surat itu ditujukan kepada sejumlah
kepala satuan kerja pemerintah provinsi di luar Jawa. Tampaknya banyak satuan
kerja yang disasar.
Terbukti, pada kolom kepada yang dituju, tidak diisi dengan ketikan
komputer. Melainkan sengaja dikosongi untuk ditulisi kepala satuan kerja yang disasar.
Bukan tidak mungkin pengirim sudah mempunyai list nama-nama kepala satuan kerja yang akan dikirimi surat.
Yang bikin semakin nelangsa
sekaligus geregetan, dalam surat itu
disebutkan juga banyak nama yang akan menerima THR. Nama-nama tersebut ditulis
dalam kolom khusus di surat. Jumlahnya tidak hanya satu atau dua orang. Lebih dari
lima orang, baik yang menjabat sebagai ketua atau anggota.
Saat melihat upload foto
tersebut, seketika penulis masyghul. Yang terlintas dalam pikiran adalah apakah sudah sedemikian dangkalkah cara pandang
orang terhadap LSM? Penulis tidak tahu apakah contoh di atas hanya terjadi di
luar Jawa.
Atau barangkali di Jawa sebenarnya juga sudah ada, tetapi luput dari
pantauan penulis. Yang pasti, itu sangat memprihatinkan dan mendorong penulis
menuangkannya dalam kolom Catatan Reboan kali ini.
Perihal Label
Dalam jagat ke-NGO-an, ada banyak label atau padanan kalimat untuk
menyebut aktivitas lembaga yang bergerak dalam bidang kemasyarakatan. Ada NGO, civil society organization (CSO) atau
yang biasa disebut organisasi masyarakat sipil (OMS), dan LSM itu sendiri.
Penulis sendiri lebih sreg menyebutnya OMS atau CSO. Atau setidak-tidaknya
NGO. Sekalipun, kata Shakespeare, apalah arti sebuah nama, toh mawar tetap
merah dan wangi. Karena, masing-masing nama mempunyai implikasi ideologis, yang
akan penulis bahas sendiri dalam sub bagian selanjutnya dalam tulisan ini.
Kembali ke soal labelling,
tidak bermaksud untuk men-generalisasi, entah karena kebetulan ataukah memang
itu yang dipahami, stigma masyarakat terhadap LSM, boleh dikata tidak
bagus-bagus amat.
Tuduhan LSM sebagai lembaga abal-abal yang bertujuan mencari uang atau
sebagai hantu teror atas kasus yang menimpa siapa pun, lebih mendominasi
daripada sebagai lembaga yang mempunyai andil atau kontribusi dalam
pemberdayaan masyarakat.
Masalahnya adalah di saat stigma masyarakat, bahkan terkadang aparatur
pemerintahan, masih belum 100 persen baik terhadap NGO, persepsi tersebut diperburuk dengan, misalnya
contoh kasus di atas, yang secara terang-terangan meminta uang kepada satuan
kerja pemerintahan.
Padahal, jika ditinjau lebih jauh, permintaan itu tidak ada
relevansinya sama sekali dengan mandat sosial yang selama ini identik atau
melekat dengan OMS. Apakah kecenderungan tersebut juga terjadi di Bojonegoro?
Ideologis dan Pragmatis
Ada buku menarik yang sebenarnya bisa menjadi referensi atas sejauh
mana OMS mampu memberi kontribusi yang nyata bagi masyarakat. Buku itu sangat
terkenal dan selalu menjadi referensi bagi para pelaku aktivitas pemberdayaan
masyarakat. Bahkan, juga dijadikan sebagai rujukan dalam khazanah perpolitikan.
Pasti Anda sudah mengenal. Buku itu ditulis oleh Sosiolog atau Ilmuwan
kenamaan asal Italia, Antonio Gramsci. Seratusan tahun yang lalu malah buku
tersebut ditulis. Tetapi, rasanya masih sangat relevan dengan masa kini. Buku
yang sudah sangat terkenal tersebut berjudul Negara dan Hegemoni.
Dalam bukunya, Gramsci menyebutkan, suatu negara akan maju dan
sejahtera apabila pemangku kepentingan (stakeholders)
negara berhasil memadukan dua kekuatan. Ini yang disebutnya sebagai hegemoni. Gramsci
menyebutnya sebagai Masyarakat Politik dan Masyarakat Sipil (Civil Society).
Masyarakat Politik didefinisikan Gramsci sebagai kekuatan politik
formal yang menyokong organisasi negara melalui demokrasi prosedural. Masyarakat
Politik diwakili oleh partai politik, parlemen, dan termasuk dalam hal ini
adalah senat atau jika di Indonesia Dewan Perwakilan Daerah.
Sedangkan Masyarakat Sipil merupakan elemen atau komponen masyarakat,
bisa organisasi atau subkultur masyarakat yang secara konsisten dan (ingat)
mempunyai hubungan independen dengan negara, yang menyuarakan aspirasi dan
kepentingan publik. Masyarakat Sipil juga sebagai kekuatan penyeimbang dan
kontrol akan keberlangsungan pemerintahan.
Satu hal lagi, Masyarakat Sipil yang dimaksud berlandaskan ideologis.
Maksudnya, landasan yang digunakan dalam operasionalisasi Masyarakat Sipil
mempunyai basis ideologis maupun filosofis yang jelas dalam relasi
Negara-Masyarakat. Sebagai contoh, Masyarakat Sipil memahami masyarakat tidak
bisa hanya dijadikan sebagai subordinat, tetapi setara, sejajar dengan negara
yang harus didengar dan disuarakan hak-haknya.
Dalam perkembangannya, terminologi Masyarakat Sipil dipahami antara
lain sebagai OMS yang pada operasionalisasi berlandaskan ideologis. Konstruksi
visinya jelas. Misi yang akan dilakukannya jelas dan terukur melalui
pendekatan-pendekatan yang memang berbasiskan kebutuhan riil publik, demi
perbaikan menuju kesejahteraan.
Bagaimana membedakannya dengan NGO atau LSM sekarang? Sebenarnya cukup
mudah. Kalau ada lembaga yang orientasinya hanya untuk kepentingan individu
institusi tanpa mempunyai landasan yang jelas atas konstruksi visinya, jelas
itu hanya untuk kepentingan pragmatis. Ujung-ujungnya pada sebatas materi semu.
Sedangkan NGO, OMS, dan CSO yang ideologis adalah lembaga yang
konstruksi visinya jelas atas dasar mandat sosial yang diembannya. Ia juga
mempunyai standar terukur dalam menentukan step
dan mendiskusikannya secara berulang-ulang dengan publik.
Dan satu hal lagi, ia juga mempunyai kesadaran sosial yang tinggi untuk
selalu memperbaiki institusi dengan asas-asas keterbukaan (akuntabilitas
publik) dalam setiap kerja-kerja ke-NGO-annya dan peningkatan kapasitas
personal dan institutional. Jadi, cukup mudah bukan untuk membedakannya? Salam
Reboan... (*)
Ujung Sersan Mulyono 35, 29 Juni 2016
*) Direktur IDFoS Indonesia. Ditayangkan di website IDFoS Indonesia (www.idfos.or.id)
No comments:
Post a Comment