Rancangan
Undang-Undang tentang Desa sudah diketok DPR RI untuk disahkan menjadi UU Desa
pekan lalu. Salah satu konsekuensi dari pemberlakuan UU Desa ini sangat
dahsyat. Desa-desa di Indonesia kelak menerima anggaran alokasi dana desa (ADD)
yang jumlahnya bisa dibilang fantastis: 10 persen dari APBN. Katakanlah pendapatan
APBN Rp 100 triliun, maka kalkulasinya, setiap desa nanti akan menerima dana
desa untuk pembangunan mencapai Rp 1 miliar.
Besarnya kucuran ADD
ini tentu saja menggembirakan, sekaligus mengkhawatirkan. Menggembirakan karena
desa tahun depan memiliki anggaran besar untuk membangun wilayahnya.
Mengkhawatirkan, karena alokasi dana besar ini juga berpotensi terjadinya
penyelewengan anggaran, korupsi, jika tidak diawasi secara ketat.
Kewaspadaan Ekstra
Penulis termasuk
orang yang senang sekaligus cemas dengan ADD jumbo untuk desa ini. Dengan modal
besar ini, bukan tidak mungkin problem pembangunan di desa, baik fisik maupun
nonfisik, akan terkurangi bahkan bisa tuntas.
Masalahnya adalah
besarnya anggaran juga berpotensi terjadinya pelanggaran, jika tidak didahului
dengan perencanaan pembangunan dan pengawasan yang ketat. Jika ini terjadi
(semoga saja tidak), korupsi akan mengalami desentralisasi. Korupsi tidak lagi
menjadi ancaman bagi pejabat level kabupaten, provinsi, hingga pusat, melainkan
juga merambah di level desa.
Data Kementerian
Dalam Negeri menyebutkan, sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) digelar
secara langsung pada 2005 hingga pertengahan 2013, sebanyak 280 orang dari 863
pasangan kepala daerah terjerat kasus hukum. Status hukum mereka beragam, mulai
tersangka, terdakwa, hingga terpidana. Termasuk dalam hal ini tentu saja adalah
mantan bupati Bojonegoro Santoso.
Data Kemendagri juga
menyebut, izin tertulis pemeriksaan terhadap anggota DPRD provinsi pada kurun
waktu 2004-2012 menunjukkan, partai menengah juga tak luput dari jeratan kasus
korupsi. Tercatat, politisi PPP 40 orang (9,28 persen), PAN 23 orang (5,34
persen), PKB 16 (3,71 persen), dan PKS 10 (2,32 persen).
Sementara, data
Kemendagri untuk izin tertulis untuk DPRD kabupaten/kota, politisi asal PPP 39
orang (7,08 persen), PKB 30 (5,59 persen), PAN 28 (5,22 persen), Hanura 28
(5,22 persen), PKS 27 (5,03 persen), dan Gerindra 19 (3,54 persen).
Bukan tidak mungkin
kelak Kemendagri akan merilis aparatur desa yang terjerat kasus hukum, meski
saat ini juga ada Kades yang terjerat hukum. Untuk itu, besarnya ADD ini harus
diikuti dengan berbagai langkah mendesak.
Penguatan Aparatur
Pada dasarnya, rumus
korupsi, menurut Klitgard, adalah C=D+M-A. Artinya, korupsi (C) terjadi akibat ada
diskresi (D=kehendak) dan monopoli (M) yang tidak terkontrol, serta kurangnya
akuntabilitas (-A=pertanggungjawaban). Maksudnya, kewenangan besar mengelola
anggaran yang tidak terkontrol atau dipertanggungjawabkan secara hukum dan
sosial amat sangat rentan menyebabkan korupsi.
Dalam hal pengelolaan
ADD, kepala desa dan perangkatnya beserta BPD (badan perwakilan desa) mempunyai
kewenangan yang besar untuk menyusun anggaran pembangunan yang dituangkan dalam
APBDes.
Namun, dalam
merencanakan anggaran pembangunan, mereka tidak boleh seenaknya sendiri, melainkan
harus berbasis kebutuhan desa dan tercantum dalam dokumen RPJMDes. Dalam posisi
inilah, pemerintah daerah harus melakukan penguatan kapasitas aparatur desa,
eksekutif maupun legislatif (mekanisme check and balance) desa, serta
LPMD dalam perencanaan pembangunan desa. Dan, penguatan kapasitas kelembagaan
desa secara berkelanjutan.
Jalannya pembangunan
desa juga harus diawasi secara ketat oleh Inspektorat Kabupaten, selaku
institusi pengawas kinerja aparatur daerah. Penulis yakin, jika perencanaan
dapat dilakukan dengan mekanisme yang partisipatif, transparan, dan akuntabel,
serta realisasi pembangunan diawasi secara objektif, tidak ada desentralisasi
korupsi. (*)
Ujung Blok Lingkar, 22
Desember 2013
*) Tayang di Jawa Pos
Radar Bojonegoro, Edisi 23 Desember 2013, Halaman 28