Sunday, December 22, 2013

Desentralisasi Korupsi

Rancangan Undang-Undang tentang Desa sudah diketok DPR RI untuk disahkan menjadi UU Desa pekan lalu. Salah satu konsekuensi dari pemberlakuan UU Desa ini sangat dahsyat. Desa-desa di Indonesia kelak menerima anggaran alokasi dana desa (ADD) yang jumlahnya bisa dibilang fantastis: 10 persen dari APBN. Katakanlah pendapatan APBN Rp 100 triliun, maka kalkulasinya, setiap desa nanti akan menerima dana desa untuk pembangunan mencapai Rp 1 miliar. 
Besarnya kucuran ADD ini tentu saja menggembirakan, sekaligus mengkhawatirkan. Menggembirakan karena desa tahun depan memiliki anggaran besar untuk membangun wilayahnya. Mengkhawatirkan, karena alokasi dana besar ini juga berpotensi terjadinya penyelewengan anggaran, korupsi, jika tidak diawasi secara ketat.

Kewaspadaan Ekstra 
Penulis termasuk orang yang senang sekaligus cemas dengan ADD jumbo untuk desa ini. Dengan modal besar ini, bukan tidak mungkin problem pembangunan di desa, baik fisik maupun nonfisik, akan terkurangi bahkan bisa tuntas. 
Masalahnya adalah besarnya anggaran juga berpotensi terjadinya pelanggaran, jika tidak didahului dengan perencanaan pembangunan dan pengawasan yang ketat. Jika ini terjadi (semoga saja tidak), korupsi akan mengalami desentralisasi. Korupsi tidak lagi menjadi ancaman bagi pejabat level kabupaten, provinsi, hingga pusat, melainkan juga merambah di level desa.
Data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) digelar secara langsung pada 2005 hingga pertengahan 2013, sebanyak 280 orang dari 863 pasangan kepala daerah terjerat kasus hukum. Status hukum mereka beragam, mulai tersangka, terdakwa, hingga terpidana. Termasuk dalam hal ini tentu saja adalah mantan bupati Bojonegoro Santoso.   
Data Kemendagri juga menyebut, izin tertulis pemeriksaan terhadap anggota DPRD provinsi pada kurun waktu 2004-2012 menunjukkan, partai menengah juga tak luput dari jeratan kasus korupsi. Tercatat, politisi PPP 40 orang (9,28 persen), PAN 23 orang (5,34 persen), PKB 16 (3,71 persen), dan PKS 10 (2,32 persen).
Sementara, data Kemendagri untuk izin tertulis untuk DPRD kabupaten/kota, politisi asal PPP 39 orang (7,08 persen), PKB 30 (5,59 persen), PAN 28 (5,22 persen), Hanura 28 (5,22 persen), PKS 27 (5,03 persen), dan Gerindra 19 (3,54 persen). 
Bukan tidak mungkin kelak Kemendagri akan merilis aparatur desa yang terjerat kasus hukum, meski saat ini juga ada Kades yang terjerat hukum. Untuk itu, besarnya ADD ini harus diikuti dengan berbagai langkah mendesak.   

Penguatan Aparatur 
Pada dasarnya, rumus korupsi, menurut Klitgard, adalah C=D+M-A. Artinya, korupsi (C) terjadi akibat ada diskresi (D=kehendak) dan monopoli (M) yang tidak terkontrol, serta kurangnya akuntabilitas (-A=pertanggungjawaban). Maksudnya, kewenangan besar mengelola anggaran yang tidak terkontrol atau dipertanggungjawabkan secara hukum dan sosial amat sangat rentan menyebabkan korupsi.
Dalam hal pengelolaan ADD, kepala desa dan perangkatnya beserta BPD (badan perwakilan desa) mempunyai kewenangan yang besar untuk menyusun anggaran pembangunan yang dituangkan dalam APBDes. 
Namun, dalam merencanakan anggaran pembangunan, mereka tidak boleh seenaknya sendiri, melainkan harus berbasis kebutuhan desa dan tercantum dalam dokumen RPJMDes. Dalam posisi inilah, pemerintah daerah harus melakukan penguatan kapasitas aparatur desa, eksekutif maupun legislatif (mekanisme check and balance) desa, serta LPMD dalam perencanaan pembangunan desa. Dan, penguatan kapasitas kelembagaan desa secara berkelanjutan.
Jalannya pembangunan desa juga harus diawasi secara ketat oleh Inspektorat Kabupaten, selaku institusi pengawas kinerja aparatur daerah. Penulis yakin, jika perencanaan dapat dilakukan dengan mekanisme yang partisipatif, transparan, dan akuntabel, serta realisasi pembangunan diawasi secara objektif, tidak ada desentralisasi korupsi. (*)     

Ujung Blok Lingkar, 22 Desember 2013
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi 23 Desember 2013, Halaman 28

Saturday, October 12, 2013

Raperda dan Jejak Dewan

Sepekan lalu, persisnya tanggal 24 dan 25 September 2013, DPRD Bojonegoro sibuk dengan agenda uji publik 14 rancangan peraturan daerah (raperda). Ke-14 raperda itu merupakan inisiasi dari dewan yang sebelumnya masuk agenda program legislasi daerah (prolegda) 2013.
Ke-14 raperda inisiatif dewan itu sebagian besar berkaitan dengan isu yang sedang hangat di Bojonegoro. Di antaranya, raperda tentang tanggung jawab sosial perusahaan (TSP), penanggulangan kemiskinan daerah, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), ruang terbuka hijau (RTH), dan pertambangan. Serta, sembilan raperda lainnya.
Lima raperda di atas sangat krusial, karena jika diadaptasikan dengan isu hangat yang ada di Bojonegoro, nyambung. Jamak dimafhumi dalam beberapa tahun terakhir isu minyak dan gas menjadi topic trending. Isu migas seolah-olah menjadi isu yang disukai media, media darling.
Dunia pertambangan (minyak) akan senantiasa berhubungan dengan amdal. Bisa dibilang amdal merupakan kunci pengendalian dan kontrol lingkungan pada sebelum, selama, dan pasca beroperasinya pertambangan. Disinilah urgensinya raperda ini, karena daerah dapat mengontrol langsung kualitas lingkungannya selama industri migas berlangsung.  
Raperda amdal juga sebagai regulasi teknis operasional bagi daerah, selain regulasi yang termaktub dalam undang-undang. Begitu juga raperda RTH, dapat menjadi kendali untuk konservasi kawasan penghijauan. Serta, raperda TSP yang bisa dikatakan sebagai regulasi untuk mendorong terciptanya kesalehan sosial perusahaan.
Pada titik ini, kita bolehlah (sekali) ini angkat topi dengan semangat para anggota dewan mengangkatnya menjadi regulasi selagi daerah belum terlalu jauh melangkah dalam membuat regulasi terkait migas.
Dari sisi kuantitas, jumlah raperda yang saat ini diusulkan dewan relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ini belum termasuk sejumlah raperda inisiatif DPRD yang tahun lalu disahkan.
Secara semangat, kita boleh respek dengan dewan dengan raperda inisiatifnya. Namun, di sisi mekanisme, proses, dan isi penyusunan regulasi, tampaknya banyak hal yang masih harus dikritisi bareng-bareng. Mari kita diskusikan beberapa di antaranya.

Tiga Catatan
Pertama dari sisi anggaran, prinsip efisiensi secara kasat mata dilanggar. Lihat saja, dari 13 raperda, satu perda di antaranya masuk anggaran 2012, yang diusulkan dewan di tahun ini dianggarkan Rp 1,3 miliar. Hitungan kasarnya, satu perda Rp 100 juta. Cukup mahal.  
Bandingkan dengan eksekutif yang membutuhkan anggaran Rp 376 juta untuk delapan raperda. Untuk penyusunan naskah akademiknya, pemkab membutuhkan anggaran Rp 47 juta. Terlepas bagaimana mekanisme yang dilakukan keduanya, faktanya raperda dewan lebih “mahal”. Tak heran bila saat ini berhembus isu kurang sedap di internal dewan.
Kedua, dari isi raperda. Rabu (25/9), penulis dikabari seorang kawan. Dia mengeluhkan betapa ‘tipis’-nya raperda tentang biaya pemberangkatan jamaah haji, tak ada 10 pasal. Sudah tipis, tak ada pula sanksi secara eksplisit di raperda itu.       
Ada pelanggaran serius terhadap pasal 5 bab II tentang asas pembentukan perundang-undangan, sebagaimana diatur di UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Khususnya dalam kejelasan rumusan.
Dan, pasal 6 undang-undang yang sama, tentang ketentuan materi muatan peraturan harus menciptakan ketertiban dan kepastian hukum. Catatannya, jika tak ada sanksi, bagaimana tercipta kepastian hukum. Kalau maunya begitu, buat perbup saja.
Ketiga, dari sisi proses pembahasan. Secara substansi, uji publik yang dilakukan dewan terkait raperda, cukup baik. Masalahnya adalah uji publik yang dilakukan dewan terkesan kurang menyeluruh. Draf hampir jadi baru diujipublikkan.
Kalau dewan serius mendorong partisipasi publik, idealnya uji publik dilakukan sejak awal, sejak masih proses naskah akademik. Karena, keterbukaan, termasuk isi materi raperda, merupakan asas (hal mendasar) dalam pembentukan peraturan, sebagaimana tertuang dalam pasal 5 UU 12/2011.     
Selagi belum terlambat, ada baiknya dewan lebih transparan maupun partisipatif dalam membahas 14 raperda ini. Berikanlah publik tinggalan yang baik sebelum Anda semua meninggalkan kursi dewan, tahun depan. (*)     

Ujung Blok Lingkar, 29 September 2013
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Halaman 32, Edisi 30 September 2013

Thursday, September 5, 2013

Golput dan Kerancuan Sistemik


Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Jawa Timur usai sudah. Kendati hasilnya masih harus menunggu perhitungan secara manual (real count) oleh KPUK masing-masing daerah dan KPU Provinsi Jawa Timur, kita mungkin sudah dapat menebak siapa yang akan menjadi pemenang dalam Pilgub 2013, mengacu referensi quick count sejumlah lembaga survei tempo hari.
Terlepas siapa pun pemenangnya, hal yang cukup memprihatinkan untuk dicermati dalam Pilgub kemarin adalah masih cenderung tingginya angka golongan putih alias golput. Lihat saja statistik golput di tiga kabupaten ini.
Di Kabupaten Lamongan, berdasar rilis yang disampaikan Panwaskab setempat, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pilgub lalu mencapai 39 persen (Jawa Pos Radar Bojonegoro, 1 September 2013).
Angka golput lebih memprihatinkan tecermin di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban. Di Bojonegoro, warga yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pilgub mencapai 41 persen. Sementara di Tuban lebih tragis, 47,9 persen!
Dibandingkan dengan Pilgub 2008, khususnya putaran pertama, angka golput di Tuban pada Pilgub 2013 mengalami peningkatan. Karena, pada Pilgub 2008 putaran pertama golputnya 38,98 persen. Pada Pilgub 2008 putaran kedua angka golputnya lebih tinggi, 50,17 persen.
Bagaimana dengan Bojonegoro? Tak jauh berbeda. Pada putaran pertama Pilgub 2008, angka golput mencapai 37 persen. Sedangkan putaran kedua Pilgub 2008 angka golput 43 persen.    
Mengacu data tersebut, hampir separo masyarakat Tuban dan Bojonegoro tak menggunakan hak politiknya dalam pilgub. Ini artinya pula siapapun gubernur dan wakil gubernur terpilih nanti hanya dipilih oleh separo lebih sedikit masyarakat Tuban dan Bojonegoro.
Lebih dramatis lagi kalau perolehan pasangan cagub-cawagub dibandingkan dengan jumlah angka golput. Di Tuban misalnya, tercatat angka golputnya 48 persen, sementara perolehan paslon tertinggi di Tuban “hanya” 43 persen. Sebuah angka yang jomplang.           

Masalah Klasik
Tren terus meningkatnya angka golput sebenarnya bukan barang baru. Bahkan, bisa dibilang hal klasik yang nyaris selalu terulang dalam setiap momentum suksesi atau kontestasi politik di daerah maupun pusat.
Kalau kita perhatikan, jauh sebelum pilgub digelar, terekam aneka rupa dan macam komentar publik. Beberapa warga mengaku tak akan memilih karena tidak ada ‘sesuatu’ (baca: uang)-nya.     
Sebagian lagi mengaku tidak menggunakan hak pilihnya karena merasa tak mengenal dengan calon, tidak mempunyai hubungan ideologis dan spesifik dengan kandidat, tidak tahu akan ada pilgub hingga yang lebih ekstrim lagi, abai dengan politik dan acuh terhadap pilgub.  
Semula kita berharap beragam komentar dan persepsi itu akan memudar dan berbalik menjadi partisipasi politik publik seiring mulai gencarnya penyelenggara pilgub melakukan sosialisasi dan aktifnya pasangan calon mengenalkan diri. Namun toh, sikap acuh tak acuh publik terhadap pilgub tetap saja cukup tinggi.  
Kecenderungan ini tidak jauh berbeda dengan even pemilu anggota legislatif (Pileg). Penulis enam bulan silam pernah membeber data angka golput dalam kontestasi politik di Indonesia. Sebagai penyegar ingatan saja, berdasar data KPU, pada Pemilu 1999, tingkat partisipasi pemilih masih mencapai angka yang sangat tinggi, yakni 93,3 persen. Namun, pada Pemilu 2004 turun menjadi 84,9 persen. Bahkan, pada Pemilu 2009 tingkat partisipasi pemilih merosot menjadi 70,99 persen. Bagaimana dengan Pemilu 2014? Menarik untuk ditunggu.

Pemimpin Bukan Penguasa
Ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa golput menjadi pilihan seksi dan, terkadang menjadi pilihan ”akal sehat”. Tentu kita tidak menyalahkan penyelenggara pemilu yang mungkin dianggap kurang maksimal dalam melakukan sosialisasi.
Karena faktanya pemilu memang bukan hanya domain penyelenggara pemilu, tetapi juga seluruh komponen stakeholders lainnya. Termasuk publik dan media massa. Jangan dikira media massa, yang meminjam terminologi Antonio Gramsci tergolong sebagai masyarakat politik, tidak memiliki tanggung jawab terhadap kebersinambungan pemilu.
Karena, satu di antara beberapa fungsi media massa adalah mengedukasi publik untuk ikut menggunakan hak pilihnya dalam demokrasi prosedural. Tentu saja selain sebagai penyebar informasi dan sosial kontrol.  
Masalahnya, penyebab tingginya angka golput adalah kompleks. Ibarat tubuh, ada kerancuan sistemik yang jika terputus salah satunya akan menghambat seluruh jaringan sel yang ada dalam tubuh. Jaringan sel yang dimaksud adalah mulai elit penguasa, partai, pemerintahan, publik hingga pengampu kepentingan lainnya.
Di antara sel yang terputus itu adalah menipisnya kepercayaan publik terhadap pemimpin di pemerintahan. Semula publik niatnya memilih pemimpin, tetapi yang lahir penguasa. Petikan persepsi publik berikut seakan mengkonfirmasi kebenaran asumsi di atas.
Coba dengar apa kata mereka saat tidak mencoblos. Sebagian besar bilang,”Paling-paling kalau sudah jadi juga lupa”. Kalimat ini dapat kita konklusikan sebagai krisis kepercayaan (distrust), krisis teladan.  
Dalam sebuah kesempatan, Yonki Karman, pengajar di Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta, menulis, jangan sampai rakyat memilih pemimpin tetapi yang muncul penguasa. Hitung-hitungan politik yang memenuhi benak penguasa adalah bagaimana melunasi utang untuk ongkos membiayai perjalanannya menuju singgasana kekuasaan. Saat memerintah pun ia tak merasa terganggu dengan korupsi birokrasi sejauh kepentingan dirinya tidak terganggu.
Padahal seharusnya, pemimpin adalah amanah yang tugas pokoknya mengayomi dan menyejahterakan rakyatnya tanpa pandang bulu. Ia membangun karena dipercaya oleh rakyat, membangun bersama dan untuk rakyat. Pemerintahan tidak diskriminatif dalam kebijakan ataupun implementasi.
Apakah karakteristik penguasa itu sudah menjalar ke tubuh pemimpin kita? Anda pasti bisa merabanya sendiri, bukan? Bagaimana pendapat Anda? (*)

Ujung Blok Lingkar, 1 September 2013

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi Senin, 2 September 2013, Halaman 28

Tuesday, June 18, 2013

Konsistensi dan Siklus APBD

Dalam beberapa hari terakhir sejumlah daerah, termasuk Kabupaten Bojonegoro, mulai sibuk menggelar musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), sebagai tahapan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2014.

Mengacu siklus/kalender anggaran, pembahasan RAPBD diawali dengan penyusunan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Salah satu bahannya, hasil-hasil yang tertuang dalam musrenbang, baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten.   

Jika semua berjalan tepat waktu, setelah RKPD ditetapkan, pemkab menyusun kebijakan umum APBD (KUA) serta prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS). Rancangan KUA dan PPAS, yang merupakan basis awal menyusun APBD, idealnya sudah mulai dipersiapkan selama bulan Juni hingga Juli.  

Sebab, salah dalam memperhitungkan atau alpa mempersiapkan perencanaan penyusunan APBD berdampak serius terhadap penyelesaiannya. Kita tentu masih ingat, Kementerian Keuangan menjatuhkan sanksi berupa penundaan pencairan 25 persen dana alokasi umum (DAU), menyusul keterlambatan pemerintah daerah dalam menyelesaikan APBD.

Dari 524 daerah di Indonesia, 17 kabupaten/kota terlambat menyampaikan APBD 2013, sehingga dikenai sanksi. Ke-17 kabupaten itu, di antaranya Kabupaten Blora, Jateng (Kompas, 25/3/2013). Intensitas pemerintah daerah yang telat menyerahkan APBD 2013 meningkat dibandingkan tahun lalu. Pada 2012, 16 daerah dikenai sanksi.

Konflik Eksekutif-Legislatif
Cerita terlambatnya daerah menyelesaikan APBD bukan hal baru. Ibaratnya kisah lama yang selalu diulang setiap tahun. Keterlambatan penyelesaian APBD Kabupaten Blora, Jawa Tengah, tahun ini misalnya, bukan yang pertama. Menurut catatan penulis, selama 10 tahun terakhir Pemerintahan Daerah Blora selalu telat menyelesaikan APBD.  
Studi dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) 2013, seolah mengonfirmasi penyebab keterlambatan daerah menyelesaikan APBD karena beberapa hal. Yakni, rendahnya kompetensi birokrasi daerah, tarik ulur kepentingan eksekutif dan legislatif, serta keterlibatan DPRD membahas APBD sampai satuan tiga.
Tarik menarik kepentingan eksekutif dan legislatif kebanyakan didasari kebijakan politik anggaran yang tidak jarang berakhir kompromistis, setelah sebelumnya tak ada titik temu. Eksekutif dan legislatif di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur pernah vis a vis cukup tajam saat membahas APBD tahun anggaran 2012.
DPRD menghendaki anggaran jaring aspirasi masyarakat (Jasmas) tetap masuk APBD. Namun eksekutif bersikukuh tak memasukkannya, karena nomenklatur untuk itu tak dijelaskan. Toh pada akhirnya jalan kompromi yang ditempuh. Eksekutif meluluskan ‘permintaan’ DPRD, dengan memasukkan anggaran jasmas dalam perubahan anggaran APBD.     
Di luar tiga alasan di atas, kapasitas dan kemampuan anggota DPRD menyusun anggaran juga rendah. Dalam banyak hal anggota DPRD sering terjebak membahas hal-hal yang bersifat teknis dan remeh-temeh. Bukan strategi efektif pencapaian APBD.

Antisipasi Keterlambatan
Penanganan serius untuk memangkas keterlambatan menyelesaikan APBD mutlak dibutuhkan. Bukan hanya tanggungjawab pemerintah daerah, tapi juga anggota DPRD. Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD merupakan landasan yuridis yang memiliki daya ikat dan paksa bagi DPRD untuk bertanggungjawab atas keterlambatan pengesahan APBD.  
UU 27/2009 Pasal 344 ayat 1 huruf (j) menekankan, DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satu bentuk kewajiban daerah yang dimaksud adalah menyelesaikan APBD tepat waktu, sebagaimana ketentuan SE Mendagri Nomor 903/4338/SJ.   
DPRD kabupaten/kota, sebagaimana ditekankan pasal 351 huruf (k) UU 27/2009, juga memiliki kewajiban memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Kata wajib dalam diksi regulasi tersebut mempunyai daya ikat dan paksa yang harus dilaksanakan.
Selama ini tidak ada pertanggungjawaban secara moral dan politis dari DPRD kabupaten/ kota atas keterlambatannya menyelesaikan APBD. Alih-alih menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada publik, yang terjadi justru saling lempar kesalahan antara eksekutif dan legislatif. Artinya, pelanggaran konstitusi serius dan sengaja dilakukan oleh aparatur pemerintahan daerah. 
Selagi masih ada kesempatan, sudah saatnya ada perencanaan yang cermat dan terstruktur dalam penyusunan APBD. Justru dengan waktu yang masih panjang eksekutif maupun legislatif harus komitmen dan bersinergi untuk konsisten dengan kalender anggarannya. Sebab, terlambat dalam menyelesaikan APBD, dampaknya sangat fatal bagi publik. (*)    

Ujung Blok Lingkar, 16 Juni 2013
*) Tayang di Harian Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 17 Juni 2013, halaman 36.

Monday, April 15, 2013

Rindu Pendidikan Budi Pekerti


Kisah kelam pelajar menjelang ujian nasional (UN) terjadi belum lama ini. Sebagaimana dilansir Jawa Pos Radar Bojonegoro (10/4/2013), Hr, 17, seorang pelajar SMKN terjerat kasus pencurian kendaraan bermotor (curanmor) di Bojonegoro. Akibat perbuatannya, Hr ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Bojonegoro.
Beruntung, Dinas Pendidikan (Disdik) Bojonegoro bertindak bijak. Hr masih dapat mengikuti UN, meski di Lapas. Sehingga, Hr masih mempunyai kesempatan menatap masa depannya agar lebih baik dengan menyelesaikan studi jenjang SLTA. Namun, tetap saja peristiwa ini memprihatinkan semua pihak, khususnya para praktisi pendidikan. Sebab, ada kecenderungan angka kriminalitas yang melibatkan anak-anak mengalami tren peningkatan.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, sebanyak 2.008 tindak kriminalitas sepanjang kuartal pertama 2012, dilakukan anak usia sekolah (7-18 tahun). Menurut Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, angka kriminalitas tersebut cenderung meningkat setiap tahunnya. Dari data yang diperoleh Komnas PA, pada 2010 terjadi 2.413 tindak kriminal anak usia sekolah. Dan pada 2011 meningkat sebanyak 2.508 tindak kriminal. (yustisi.com, 12 Mei 2012)
Masih tingginya angka kriminalitas yang melibatkan anak-anak dalam usia sekolah, tentu saja mengkhawatirkan semua pihak. Bukan saja membahayakan masa depan anak didik itu, tapi juga stakeholders terkait. Praktisi pendidikan di sekolah, orang tua, institusi sosial, hingga institusi keagamaan. Pertanyaannya adalah mungkinkah ini merupakan dampak dari output sistem pendidikan kita yang lebih mengandalkan kompetensi di bidang kognitif?

Hantu Bernama UN
Selama ini kita melihat bahwa pemerintah, instansi pendidikan, maupun guru-guru di sekolah hanya menekankan kemampuan intelektual anak didik dalam penguasaan mata pelajaran. Karena itu, diberlakukanlah standar ujian nasional (UN) yang passing grade-nya setiap tahun selalu naik.
Penulis tidak menyalahkan penerapan standar UN dalam sistem pembelajaran di SLTP dan SLTA selama ini. Hanya, alangkah idealnya jika standar UN itu tidak menjadi satu-satunya indikator kelulusan siswa. Jika kita sadari, mereka sekarang ini tidak ubahnya robot yang hanyanya melakukan tindakan sesuai dengan yang diprogramkan, dalam konteks ini adalah standar UN. Anak-anak didik kita belum diisi”program” yang lebih memunculkan perasaan manusiawi, lebih menghargai perbedaan pendapat, dan menghormati hak-hak orang lain. 
Penulis menyadari bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/IPM) Indonesia tahun 2012 turun drastis pada peringkat ke-124 dari tahun 2010 yang berada pada peringkat ke-108 dari 187 negara. IPM Indonesia 2012 jauh di bawah Malaysia yang berada di peringkat 61, Brunei 33, Singapura 26, Thailand 103, dan Filiphina 112. Angka IPM kita trennya juga menurun dibanding tahun sebelumnya. Yakni, peringkat 107 pada tahun 2007-2008, dan peringkat 108 dari 177 negara di dunia pada tahun 2006 -2007. IPM ditentukan dari tiga sektor utama. Yaitu, pendidikan, pendapatan, dan kesehatan.
Namun, kenapa kita juga tidak mencoba menekankan kompetensi perilaku atau performance dalam sistem pendidikan kita? Pemerintah perlu mendorong agar guru, dosen, dan pendidik di lembaga-lembaga pendidikan selalu membimbing, berkomunikasi, dan menumbuhkan semangat belajar siswa dengan tidak hanya berpangku pada bidang kognitif. Agar sumber daya manusia (SDM) bangsa kita tak hanya cakap di bidang keilmuan, namun juga tangguh di bidang mental. Dan, pendekatan ini tidak hanya ditentukan melalui bidang koginitif.
Penelitian Daniel Goleman, psikolog Harvard University menyebutkan, tingkat intelegensi tinggi tidak menjamin gengsi, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesuksesan hidup. Ada kecerdasan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan emosional (EQ), (Maksum, 2004).
Daniel Goleman memaparkan hasil penelitiannya dari dua mahasiswanya. Seorang mahasiswa yang berintelegensi tinggi dalam meniti karir kehidupannya harus menerima kegagalan hidup karena rendahnya kecerdasan emosional yang dimilikinya. Seorang mahasiswa lainnya tergolong berintelegensi rata-rata, namun dalam meniti karir kehidupan, dia mampu menggapai puncak karir dan berhasil dalam meniti masa depan yang baik. Hal itu disebabkan karena dia berkecerdasan emosional yang tinggi.

Miniatur Sosial
Penulis teringat sistem penerapan pendidikan orang tua-orang tua kita dulu. Mereka begitu santun, beradab, dan menghormati orang-orang yang berjasa terhadap perkembangan keilmuannya. Ternyata, hal itu terjadi karena orang tua-orang tua kita diajari cara bagaimana belajar berbudi pekerti. Dampak dari pelajaran ini para siswa mampu menumbuhkan nilai-nilai penghormatan, santun, dan berbudi pekerti, tapi tetap berintelegensia tinggi. Pembelajaran ini yang sekarang tidak ada di generasi kita. Karena itu, Indonesia perlu me-redesain konsep pendidikan yang tidak hanya berbasis kesehatan fisik, fikiran, tetapi juga kesehatan mental.
Rumusan WHO (World Health Organization/Badan Kesehatan Dunia) tentang kesehatan mental adalah orang yang mempunyai sifat antara lain: berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong, merasa lebih puas memberi dari pada menerima, memperoleh kepuasan dari perjuangannya, menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pelajaran di hari depan, mengarahkan sikap permusuhan menjadi perbuatan yang kreatif dan membangun, orang yang jiwanya sehat, mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
Pembudayaan budi pekerti bisa dilakukan dengan melibatkan warga sekolah, terlebih khusus kepala sekolah, kalangan guru dan insan sekolah lainnya. Unsur inilah yang harus mampu menciptakan suasana yang mendukung kehidupan berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Guru mengarahkan murid berbudi pekerti luhur, bersopan santun, melalui keteladanan. Pegawai tata usaha sekolah dapat membantu secara administratif, pembinaan murid untuk berdisiplin, jujur dan taat peraturan sekolah
Selain itu, orang tua siswa melalui Komite Sekolah dapat turut membantu pembinaan murid berbudi luhur. Begitu juga organisasi kesiswaan, dapat membina warganya sesuai dengan tujuan pendidikan budi pekerti. Keteladanan, merupakan kunci dalam pembudayaan budi pekerti. Secara berjenjang kepala sekolah memberi teladan kepada guru, guru kepada murid, kakak kelas kepada adik kelas.
Namun, pembudayaan budi pekerti di sekolah ini harus ditunjang dengan pembumian di lingkungan, minimal keluarga. Selain menekankan unsur ketakwaan, keluarga harus didorong untuk menanamkan kejujuran kepada anak-anaknya. Penanaman perilaku tidak berbohong, tidak curang, rela berkorban demi kebenaran, berani mengakui kesalahan, harus ditumbuh kembangkan sehingga menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Penanaman suasana demokratis, seperti menghargai hak-hak orang lain dalam menyampaikan pendapat, saran, berkreasi, dan lain lain, harus senantiasa didorong juga oleh keluarga. Jika dibiasakan dan menjadi budaya yang mengikat, dengan sendirinya siswa akan membiasakannya tidak hanya di lingkup sekolah, melainkan juga di masyarakat. Pada akhirnya, pembiasaan berbudi pekerti ini kelak akan jadi benteng tangguh terhadap inflitrasi dekadensi moral yang berpengaruh terhadap mentalitasnya di masa depan.
Penanaman dan pendalaman pembelajaran seperti ini akan kian menemukan akselerasinya jika diterapkan dalam lingkungan sekolah yang menerapkan model pembelajaran life-in, tinggal, ala pondok pesantren. Subkultur pendidikan model demikian dapat menjalankan dua peran sekaligus. Sebagai laboratorium yang berfungsi mengkaji dan mendalami kajian teoritis dan akademik, sekaligus miniatur sosial karena ada ruang untuk mempraktikkan pendidikan budi pekerti di kawasan pondok. Sehingga, cita-cita mewujudkan anak didik yang cerdas, tetapi berpekerti adiluhung dan bermental tangguh bukan pekerjaan yang sulit. Semoga. (*)

*) Dikontribusikan untuk Majalah Alfatimah, Edisi April 2013