Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur (Pilgub) Jawa Timur usai sudah. Kendati hasilnya masih harus
menunggu perhitungan secara manual (real count) oleh KPUK masing-masing
daerah dan KPU Provinsi Jawa Timur, kita mungkin sudah dapat menebak siapa yang
akan menjadi pemenang dalam Pilgub 2013, mengacu referensi quick count
sejumlah lembaga survei tempo hari.
Terlepas siapa pun
pemenangnya, hal yang cukup memprihatinkan untuk dicermati dalam Pilgub kemarin
adalah masih cenderung tingginya angka golongan putih alias golput. Lihat saja
statistik golput di tiga kabupaten ini.
Di Kabupaten Lamongan,
berdasar rilis yang disampaikan Panwaskab setempat, masyarakat yang tidak
menggunakan hak pilihnya dalam Pilgub lalu mencapai 39 persen (Jawa Pos
Radar Bojonegoro, 1 September 2013).
Angka golput lebih
memprihatinkan tecermin di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban. Di Bojonegoro, warga
yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pilgub mencapai 41 persen. Sementara
di Tuban lebih tragis, 47,9 persen!
Dibandingkan dengan Pilgub
2008, khususnya putaran pertama, angka golput di Tuban pada Pilgub 2013
mengalami peningkatan. Karena, pada Pilgub 2008 putaran pertama golputnya 38,98
persen. Pada Pilgub 2008 putaran kedua angka golputnya lebih tinggi, 50,17
persen.
Bagaimana dengan
Bojonegoro? Tak jauh berbeda. Pada putaran pertama Pilgub 2008, angka golput mencapai
37 persen. Sedangkan putaran kedua Pilgub 2008 angka golput 43 persen.
Mengacu data tersebut, hampir
separo masyarakat Tuban dan Bojonegoro tak menggunakan hak politiknya dalam
pilgub. Ini artinya pula siapapun gubernur dan wakil gubernur terpilih nanti
hanya dipilih oleh separo lebih sedikit masyarakat Tuban dan Bojonegoro.
Lebih dramatis lagi kalau
perolehan pasangan cagub-cawagub dibandingkan dengan jumlah angka golput. Di
Tuban misalnya, tercatat angka golputnya 48 persen, sementara perolehan paslon
tertinggi di Tuban “hanya” 43 persen. Sebuah angka yang jomplang.
Masalah Klasik
Tren terus meningkatnya
angka golput sebenarnya bukan barang baru. Bahkan, bisa dibilang hal klasik
yang nyaris selalu terulang dalam setiap momentum suksesi atau kontestasi
politik di daerah maupun pusat.
Kalau kita perhatikan, jauh
sebelum pilgub digelar, terekam aneka rupa dan macam komentar publik. Beberapa warga
mengaku tak akan memilih karena tidak ada ‘sesuatu’ (baca: uang)-nya.
Sebagian lagi mengaku tidak
menggunakan hak pilihnya karena merasa tak mengenal dengan calon, tidak
mempunyai hubungan ideologis dan spesifik dengan kandidat, tidak tahu akan ada
pilgub hingga yang lebih ekstrim lagi, abai dengan politik dan acuh terhadap
pilgub.
Semula kita berharap
beragam komentar dan persepsi itu akan memudar dan berbalik menjadi partisipasi
politik publik seiring mulai gencarnya penyelenggara pilgub melakukan sosialisasi
dan aktifnya pasangan calon mengenalkan diri. Namun toh, sikap acuh tak acuh
publik terhadap pilgub tetap saja cukup tinggi.
Kecenderungan ini tidak
jauh berbeda dengan even pemilu anggota legislatif (Pileg). Penulis enam bulan
silam pernah membeber data angka golput dalam kontestasi politik di Indonesia.
Sebagai penyegar ingatan saja, berdasar data KPU, pada Pemilu 1999, tingkat
partisipasi pemilih masih mencapai angka yang sangat tinggi, yakni 93,3 persen.
Namun, pada Pemilu 2004 turun menjadi 84,9 persen. Bahkan, pada Pemilu 2009
tingkat partisipasi pemilih merosot menjadi 70,99 persen. Bagaimana dengan
Pemilu 2014? Menarik untuk ditunggu.
Pemimpin Bukan Penguasa
Ada banyak faktor yang
menyebabkan mengapa golput menjadi pilihan seksi dan, terkadang menjadi pilihan
”akal sehat”. Tentu kita tidak menyalahkan penyelenggara pemilu yang mungkin
dianggap kurang maksimal dalam melakukan sosialisasi.
Karena faktanya pemilu
memang bukan hanya domain penyelenggara pemilu, tetapi juga seluruh komponen
stakeholders lainnya. Termasuk publik dan media massa. Jangan dikira media
massa, yang meminjam terminologi Antonio Gramsci tergolong sebagai masyarakat
politik, tidak memiliki tanggung jawab terhadap kebersinambungan pemilu.
Karena, satu di antara
beberapa fungsi media massa adalah mengedukasi publik untuk ikut menggunakan
hak pilihnya dalam demokrasi prosedural. Tentu saja selain sebagai penyebar
informasi dan sosial kontrol.
Masalahnya, penyebab
tingginya angka golput adalah kompleks. Ibarat tubuh, ada kerancuan sistemik
yang jika terputus salah satunya akan menghambat seluruh jaringan sel yang ada
dalam tubuh. Jaringan sel yang dimaksud adalah mulai elit penguasa, partai, pemerintahan,
publik hingga pengampu kepentingan lainnya.
Di antara sel yang terputus
itu adalah menipisnya kepercayaan publik terhadap pemimpin di pemerintahan. Semula
publik niatnya memilih pemimpin, tetapi yang lahir penguasa. Petikan persepsi
publik berikut seakan mengkonfirmasi kebenaran asumsi di atas.
Coba dengar apa kata mereka
saat tidak mencoblos. Sebagian besar bilang,”Paling-paling kalau sudah jadi juga
lupa”. Kalimat ini dapat kita konklusikan sebagai krisis kepercayaan (distrust),
krisis teladan.
Dalam sebuah kesempatan,
Yonki Karman, pengajar di Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta, menulis, jangan
sampai rakyat memilih pemimpin tetapi yang muncul penguasa. Hitung-hitungan
politik yang memenuhi benak penguasa adalah bagaimana melunasi utang untuk
ongkos membiayai perjalanannya menuju singgasana kekuasaan. Saat memerintah pun
ia tak merasa terganggu dengan korupsi birokrasi sejauh kepentingan dirinya tidak
terganggu.
Padahal seharusnya, pemimpin
adalah amanah yang tugas pokoknya mengayomi dan menyejahterakan rakyatnya tanpa
pandang bulu. Ia membangun karena dipercaya oleh rakyat, membangun bersama dan
untuk rakyat. Pemerintahan tidak diskriminatif dalam kebijakan ataupun
implementasi.
Apakah karakteristik penguasa
itu sudah menjalar ke tubuh pemimpin kita? Anda pasti bisa merabanya sendiri,
bukan? Bagaimana pendapat Anda? (*)
Ujung
Blok Lingkar, 1 September 2013
*)
Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi Senin, 2 September 2013, Halaman 28
No comments:
Post a Comment