Tuesday, May 31, 2011

Mengurai Konflik Indonesia-Malaysia, Meretas Komunikasi Lintas Budaya (Sebuah Tinjauan Komunikasi Sosial Budaya)

Hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia, seolah seperti ditakdirkan untuk tidak pernah ”ketemu”, semenjak pasca 1965 hingga sekarang. Beragam peristiwa budaya acapkali memantik perseteruan kedua bangsa yang sebenarnya dilahirkan dalam rahim yang sama tersebut: Melayu. Dalam era modern, Indonesia sempat digegerkan dengan klaim Negeri Jiran yang mengatakan batik adalah budaya asli Malaysia. Indonesia sempat dibuat kalang kabut dengan klaim tersebut. Atas klaim itu, Indonesia akhirnya melakukan berbagai upaya diplomatik internasional, sehingga hasil akhirnya Unesco (badan PBB yang mengurusi budaya) memutuskan bahwa batik adalah budaya asli Indonesia pada pertengahan 2010 lalu.
Hubungan bilateral antara Indonesia dengan Malaysia berkaitan dengan warisan budaya juga sempat memanas pada 2008. Khususnya saat Malaysia mencoba kembali mengklaim bahwa kesenian/budaya reog Ponorogo diklaim pemerintah Malaysia sebagai kesenian Malaysia. Tentu kita cukup masyghul, bagaimana mungkin, --sebagaimana ditulis Prof. Dr. Sam Abede Pareno dalam opini di Harian Jawa Pos (Edisi 4 Desember 2008), bahwa kesenian itu jelas-jelas ada embel-embel Ponorogo, yang merupakan salah satu wilayah kabupaten di Jawa Timur, Indonesia, bisa-bisanya diklaim sebagai kesenian Malaysia.
Jauh sebelumnya, persisnya kisaran tahun 2002-2003, Indonesia pernah bersinggungan juga dengan Malaysia. Tetapi, tidak berkaitan dengan budaya, melainkan tentang batas-batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Khususnya berkaitan dengan Pulau Sipidan dan Ligatan. Perselisihan hukum internasional mengenai batas-batas teritorial tersebut akhirnya dimenangkan Malaysia, saat kasus itu diputus oleh Mahkamah Internasional. Rangkaian peristiwa-peristiwa di atas cukup menggambarkan betapa hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia, sebenarnya sudah ramai sejak dulu. Persisnya dimulai pada saat Presiden Pertama RI Soekarno pada 1967 melakukan konfrontasi dengan Malaysia, dengan slogannya yang begitu amat masyhur, Ganyang Malaysia. Kenapa perseteruan kedua bangsa yang sebenarnya satu rumpun tersebut acapkali terjadi? Tulisan ini mencoba bermaksud untuk mengkajinya dalam perspektif Ilmu Komunikasi Sosial Budaya atau Komunikasi Lintas Budaya.

Perbedaan Persepsi
Dalam khazanah Ilmu Komunikasi dijelaskan, Komunikasi adalah proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan yang tidak saja dilakukan secara lisan dan tertulis, melainkan melalui bahasa tubuh, atau gaya atau tampilan pribadi, atau hal-hal lain di sekelilingnya yang memperjelas makna. Sedangkan Sosial Budaya ialah budi (moral dan wawasan) serta daya (perilaku dan kemampuan) masyarakat yang setiap masyarakat (komunitas) memiliki budi dan daya masing-masing. Sosial budaya ini dikenal sebagai suatu kebudayaan dan kebudayaan tecermin pada adat, bahasa, kebiasaan, norma yang berlaku dalam masyarakat (bangsa) tertentu.
Dengan demikian, komunikasi sosial budaya adalah komunikasi yang berlangsung di antara mereka yang berbeda latar belakang kebudayaannya. Komunikasi ini melintasi batas-batas kebudayaan suatu masyarakat, suku, ataupun bangsa. Karena itu, setiap kita yang melakukan komunikasi sosial budaya, harus memahami terlebih dahulu kebudayaan komunikator atau sebaliknya kebudayaan komunikan. Salah satu unsur menonjol dari kebudayaan yang harus dipahami ialah bahasa dan juga etika (sopan santun).
Sebuah bangunan komunikasi tak akan tercipta atau menjadi komunikasi yang efektif apabila terjadi hambatan (noice). Gangguan atau kendala yang acapkali terjadi dalam komunikasi sosial budaya kebanyakan berupa perbedaan bahasa, perbedaan persepsi, dan perbedaan simbolik. Sebab, sebagaimana hipotesis yang ada, kian besar derajat perbedaan antarbudaya suatu komponen komunikasi, akan semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif.
Hipotesis tersebut sesuai dengan pendapat De Vito (1997, dalam Alo Liliweri 2009) yang menggolongkan tiga macam gangguan komunikasi. Yaitu, Pertama, fisik berupa intervensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain, misalnya desingan mobil yang lewat. Kedua, psikologis, berupa intervensi kognitif atau mental, misalnya prasangka dan bias pada sumber penerima pikiran yang sempit. Ketiga, Semantik, berupa pembicara dan pendengar memberi arti yang berlainan, misalnya orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, menggunakan jargon atau istilah yang terlalu rumit yang tidak dipahami pendengar. Namun, dalam perspektif komunikasi sosial budaya, gangguan psikologis dan juga semantik lebih menonjol. Oleh karena itu, bila kita melakukan komunikasi sosial budaya, maka kita harus memahami psikologi dan semantik mitra komunikasi kita.
Dalam contoh kasus di atas, yaitu memanasnya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia yang terus menegang dari tahun ke tahun, apabila diteliti lebih jauh, sebenarnya mulai menunjukkan betapa telah ada suatu gangguan komunikasi di antara kedua belah pihak. Perbedaan pemaknaan yang hingga pada akhirnya membuahkan gangguan atau bahkan konflik tersebut adalah berupa perbedaan bahasa, perbedaan persepsi, dan perbedaan simbolik.
Pada sisi perbedaan persepsi, terjadi ketidaksamaan pemahaman/anggapan di antara Indonesia dengan Malaysia, khususnya di dalam memahami identitas kesenian yang meskipun akarnya sama-sama dari Melayu. Dalam kasus konflik ini, sebagaimana dicontohkan oleh Prof. Dr. Sam Abede Pareno adalah kesenian reog Ponorogo. Bisa jadi, Malaysia melihat, --sehingga muncul klaim, bahwa kesenian reog Ponorogo dari sisi asal muasalnya, yakni Melayu. Sehingga, Malaysia merasa benar kalau kemudian akhirnya mengklaim kesenian reog Ponorogo adalah juga miliknya, karena Malaysia satu ras dengan Indonesia dalam rumpun bangsa Melayu.
Di sisi lain, persepsi rakyat Indonesia juga berbeda. Indonesia menganggap kesenian reog Ponorogo adalah kesenian asli Indonesia, bukan dalam konteks serumpun akar bangsa Melayu. Sebab, dengan penyertaan nama Ponorogo dalam kesenian tersebut sudah menunjukkan lokalitas asal muasalnya, yaitu Jawa Timur, Indonesia. Sehingga Indonesia pun bersikukuh, klaim Malaysia tersebut justru menguburkan makna dan substansi dari Melayu itu sendiri. Perbedaan persepsi dalam memahami kesenian inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik diplomatik kedua negara. Bagaimana dengan perbedaan simbolik dan bahasa di antara kedua negara tersebut? Tampaknya tidak sampai menimbulkan gesekan. Sejauh ini, menurut penulis, yang dominan menimbulkan ketegangan lebih karena adanya perbedaan persepsi dalam memaknai akar kebudayaan atau kesenian, --dalam hal ini reog Ponorogo, batik, itu sendiri.

Pendekatan Dialog Kultural
Lantas, apa yang harus dilakukan kedua belah pihak, Indonesia dan Malaysia, agar ketegangan serupa tidak terulang di kemudian hari? Dalam perspektif Komunikasi Sosial Budaya, ada beragam pendekatan yang bisa dilakukan untuk membangun jembatan komunikasi lintas budaya kedua negara. Alo Liliweri (2009) mencantumkan beberapa pendekatan komunikasi antarbudaya. Yaitu, pendekatan psikologi sosial, pendekatan interpretatif, pendekatan kritis, pendekatan dialektikal, pendekatan dialog kultural, dan pendekatan kritik budaya.
Dari enam pendekatan ini, merujuk kasus klaim kesenian Indonesia dan Malaysia,
rupa-rupanya pendekatan dialog kultural yang paling pas. Pendekatan ini lebih sering disebut juga sebagai madzhab yang menekankan pada isu-isu internasionalisme dan humanisme. Kedua belah pihak perlu melakukan diskusi dan dialog bersama dengan berangkat dari persamaan akar budaya, yaitu Melayu. Kedua belah pihak perlu sama-sama memahami dan menyadari bahwa reog dan batik juga berkembang dengan pesat di kedua negara.
Karena itu, dalam konteks ini, penulis sepakat dengan apa yang dipaparkan Prof. Sam Abede Pareno bahwa biarlah reog, batik, serimpi, serapang dua belas dan lain-lain itu menjadi milik kita yang pernah atau tetap disebut ”Melayu”, sehingga di kemudian hari tidak ada ketegangan lagi. Biarlah pula wayang kulit dan wayang orang yang sudah berkembang di Malaysia, terutama di Johor Bahru tersebut, menjadi milik kita semua: rumpun bangsa Melayu. Sebab, klaim dan patenisasi bukan ranah kebudayaan, melainkan ranah politik. Dan yang terpenting adalah, sebagaimana disebutkan dalam pendekatan dialog kultural, kedua negara harus sama-sama berkomitmen memberikan kontribusi keilmuannya, budayanya, keseniannya untuk meningkatkan pemahaman tentang dunia.
Di luar pendekatan dialog kultural, untuk mengurangi ketegangan hubungan kedua negara, pendekatan Teori Negosiasi Identitas yang dirumuskan Stella Ting-Toomey, juga bisa dijadikan sebagai rujukan. Menurut teori ini, identitas suatu bangsa, dalam kasus ini Indonesia dan Melayu, dinegoisasi saat berinteraksi dengan negara-negara lain, terutama dalam berbagai budayanya. Sebab, identitas selalu dihasilkan dari interaksi sosial. Identitas atau gambaran diri, dibentuk melalui proses negoisasi ketika suatu bangsa menyatakan, memodifikasi, atau menantang identifikasi diri sendiri atau orang lain. Identitas etnik dan kebudayaan ditandai oleh nilai isi (value content) dan ciri khas (salience). Value content ini dalam ranah praksisnya mempengaruhi anggotanya agar menilai komunitas atau kelompok, termasuk bangsa, lain.
Oleh karena itu, untuk membentuk masyarakat ”Melayu” yang harmonis dan rukun di kemudian hari, diperlukan suatu bangunan komunikasi yang mampu menjadi sarana hubungan yang setara di antara berbagai bangsa. Menurut Stella Ting-Toomey, perlu dibangun sebuah komunikasi yang fokus pada identitas etnik dan kebudayaan, terutama negoisasi yang terjadi ketika berkomunikasi di dalam dan di antara kelompok-kelompok kebudayaan lainnya.
Identitas-identitas yang dibentuk dalam komunikasi tersebut juga harus dari berbagai latar kebudayaan. Individu etnis maupun antarbangsa, yang hidup dalam tatanan dunia multikultural harus mampu melakukan bikulturalisme fungsional (berganti dari satu konteks budaya ke budaya yang lainnya dengan sadar dan mudah). Jika hal itu dilakukan, maka kita mencapai keadaan pengubah kebudayaan (cultural transformer). Untuk mencapai derajat tersebut, pemimpin kedua negara (Indonesia dan Malaysia) harus mempunyai jiwa lintas budaya (intercultural competence), lintas etnis, dan agama yang terdiri atas tiga komponen. Yaitu, pengetahuan (knowledge), kesadaran (mindfulness), dan kemampuan (skill).
Pengetahuan mencakup tentang pemahaman pentingnya identitas etnik, kebudayaan, agama dan bangsa. Kemampuan melihat apa yang penting bagi orang lain. Sedangkan kesadaran secara sederhana berarti menyadari pentingnya menghormati identitas etnik dan bangsa lain. Menyadari adanya penggunaan perspektif baru. Serta, kemampuan mengacu kepada kemampuan untuk menegoisasi identitas melalui observasi yang diteliti, menyimak, empati, kepekaan nonverbal, kesopanan, dan sebagainya. (*)

*) Tugas Mata Kuliah Komunikasi Sosial Budaya

No comments:

Post a Comment