Sunday, February 12, 2012

Staf Ahli dan Politik Akomodasi

Sejumlah fraksi di DPRD Tuban akhir-akhir ini disibukkan dengan seleksi dan interview calon staf ahli fraksi lembaga wakil rakyat. Masing-masing fraksi mengusulkan seorang nama untuk memenuhi kuota staf ahli fraksi. Ada tujuh fraksi di DPRD Tuban. Tujuh fraksi itu adalah Fraksi Golkar Bersatu, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi PDIP, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Gerindra, Fraksi Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Amanat Bulan Bintang. Dengan demikian, akan ada tujuh staf ahli yang membantu tugas fraksi dalam hal budgetting (penganggaran), legislating (pembahasan perda), hingga controlling (pengawasan) kinerja Pemerintah Kabupaten Tuban. Selama menjalankan tugas sebagai staf ahli, mereka akan digaji oleh APBD.
Rekrutmen tujuh orang staf ahli fraksi DPRD Tuban boleh dibilang cukup terlambat dibanding dengan tetangga sebelah, DPRD Bojonegoro. DPRD Bojonegoro telah merekrut staf ahli untuk menunjang sekaligus membantu tugas-tugas fraksi di DPRD dalam tiga tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya itu, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 292 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Terlepas tujuan utama staf ahli untuk membantu tugas fraksi-fraksi dewan, ada beberapa catatan yang mungkin perlu diperhatikan dengan seksama agar rekrutmen staf ahli tidak sekadar sebagai politik akomodasi personal dan kader sebuah partai. Pertama, dari sisi keanggotaan, staf ahli kebanyakan berasal dari anggota partai yang tergabung dalam fraksi tertentu (fraksi gabungan partai), ataupun anggota partai itu sendiri.
Anggota yang diusulkan menjadi staf ahli kebanyakan kader partai. Bahkan, dalam banyak kasus anggota yang diusulkan menjadi staf ahli adalah mantan calon anggota legislatif (caleg) yang gagal menjadi anggota dewan dalam Pemilu Legislatif (Pilleg) 2009. Ada nuansa politik akomodasi, dan pertimbangan kemanusiaan (baca: iba) yang lebih diterapkan dalam merekrut seseorang menjadi staf ahli. Akan tetapi, semoga analisis penulis tidak benar. Bahwa, staf ahli itu direkrut memang karena berdasar kapasitas dan kapabilitasnya yang memadai.
Kedua, dari sisi kinerja, kebanyakan staf ahli lebih banyak bekerja sebagai penyusun laporan kerja-kerja fraksi, seperti laporan pemandangan umum (PU) fraksi, tanggapan fraksi, hingga pandangan akhir (PA) atas laporan kinerja pemerintahan kabupaten, baik berkaitan dengan raperda, APBD, maupun pertanggungjawaban kinerja bupati.
Sejauh pengamatan penulis, amat jarang (untuk mengatakan tidak ada sama sekali) kerja-kerja staf ahli fraksi DPRD yang berhubungan dengan serap aspirasi yang berbasis daerah pemilihan (dapil) dari fraksi yang diwakilinya. Dulu, saat awal-awal DPRD Bojonegoro mengesahkan staf ahli fraksi, penulis sempat membayangkan staf ahli fraksi melakukan pemetaan sosial (social mapping) dan riset aksi skala kecil yang bertujuan untuk menghimpun aspirasi masyarakat di dapil masing-masing, untuk kemudian disuarakan melalui fraksi-fraksi di lembaga dewan.
Suara-suara yang dihasilkan dari social mapping dan riset aksi tersebut kemudian dituangkan dalam PU, hingga PA yang disuarakan secara formal politik oleh fraksinya. Dengan kata lain, suara yang disampaikan fraksi, yang berbasis social mapping dan riset aksi yang dilakukan oleh staf ahli berbasis konstituen dan dapil, tentunya akan lebih sesuai dengan kebutuhan realitas, bukan hanya berbasis persepsi dan estimasi subyektif fraksi. Tetapi, sekali lagi semoga saja kekhawatiran penulis tidak benar. Staf ahli yang sekarang bekerja sudah menerapkan cara itu.
Berkaca pada pengalaman yang sudah terjadi, idealnya staf ahli bukan hanya berbasis fraksi, tetapi juga komisi-komisi, sebagai alat kelengkapan DPRD. Hemat penulis, staf ahli berbasis komisi-komisi lebih berimplikasi secara langsung terhadap peningkatan kinerja lembaga dewan. Sekurang-kurangnya, masing-masing komisi berisi dua staf ahli. Praksisnya, staf ahli komisilah yang bertugas menganalisis kerja-kerja satuan kerja pemerintahan daerah (SKPD) yang menjadi mitra komisi. Hasil analisis staf ahli kemudian disuarakan secara politik oleh komisi atas kinerja satuan kerja dari pemerintah kabupaten.
Model ini mungkin sedikit banyak akan mengurangi gap atau disparitas kapasitas yang selama ini lebar antara komisi-komisi dewan dengan satker. Staf ahli berbasis komisi mutlak dibutuhkan karena bidang kerja komisi-komisi DPRD, dapat dibilang overload. Sebagai perbandingan, satu komisi yang beranggotakan 9-11 orang, rata-rata membidangi 10 SKPD eksekutif. Bandingkan dengan eksekutif yang setiap SKPD masih ditunjang dengan kepala dinas/kantor/bagian/badan, subdinas/kantor/bagian/badan, hingga jajaran Kasi (kepala seksi). Sedangkan komisi-komisi di DPRD, cukup anggota ditambah staf teknis dari sekretariat DPRD. Jelas sebuah perbandingan yang tidak ideal. Dengan staf ahli berbasis komisi, fraksi, dan pimpinan dewan (yang sampai saat ini belum jelas), semoga mekanisme check and balances pemerintahan daerah akan terwujud, setidak-tidaknya akan lebih baik daripada sebelumnya. (*)

Ujung Blok Lingkar, 5 Februari 2012
*) Tayang di Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) Halaman 26, Edisi 6 Februari 2012.

No comments:

Post a Comment