Tuesday, March 13, 2012

Senjakala di Hari Jadi

TEPAT tanggal 20 Oktober 2011 mendatang, Kabupaten Bojonegoro akan merayakan Hari Jadi Ke-334 tahun. Konon kabarnya penetapan hari jadi Kabupaten Bojonegoro pada setiap tanggal 20 Oktober tidak murni berdasarkan ketentuan administratif yang sebelumnya diawali dengan prosedur pemerintahan yang obyektif dan sesuai dengan kesejarahan faktual Kabupaten Bojonegoro. Melainkan lebih karena peran dominan dan absolut dari pemegang tampuk kekuasaan negara saat itu. Rupanya benar, pemegang kekuasaan adalah pencipta sekaligus penentu sejarah sebuah bangsa, negara, dan daerah. Terlepas prasangka ini benar atau tidak, sejarawan dan peminat kajian sejarahlah yang mungkin berwenang untuk mengusutnya hingga tuntas dan benar.
Mengapa penelusuran jejak kesejarahan Bojonegoro tersebut penting untuk dibuka ulang, bahkan bila perlu ditelusuri ulang, karena sekitar 20 tahun silam ada penemuan penting yang perlu diperhatikan dengan serius. Sekitar 20 tahun silam, di Desa Mayanggeneng, Kecamatan Kalitidu pernah ditemukan Prasasti Adan-Adan oleh seorang petani dari desa setempat.
Konon kabarnya, Prasasti Adan-Adan yang wujud aslinya disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya tersebut menyimpan data penting kesejarahan Bojonegoro. Terlepas benar atau tidak, seorang peminat sejarah Bojonegoro pernah bercerita, dalam Prasasti Adan-Adan disebutkan, dulunya saat zaman Kerajaan Majapahit, status tanah Bojonegoro adalah pardikan, sebuah daerah/wilayah yang dibebaskan membayar pajak oleh Kerajaan Majapahit. Kuat dugaan, status tanah pardikan diberikan karena Bojonegoro bisa jadi pernah dianggap berjasa oleh Kerajaan Majapahit. Sekali lagi konon, nama Bojonegoro sudah disebut-sebut dalam prasasti yang replikasinya akan diberikan kepada Museum Rajekwesi tersebut.
Kalau memang dugaan tersebut benar, berarti nama Bojonegoro sudah disebut sejak lama, tidak lagi hanya 334 tahun silam. Sebab, jika merunut kesejarahan, masa Kerajaan Majapahit adalah tahun 1200 – 1300 an, yang kalau benar berarti usia Bojonegoro jauh lebih tua. Terlepas dugaan ini benar atau salah, tetapi dalam Ilmu Sejarah, cerita rakyat dan rerasanan yang berkembang di masyarakat (apalagi bila benar tercatat dalam prasasti) bisa merupakan data permulaan untuk lebih menggali kebenaran sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Penelusuran jejak sejarah menjadi penting, karena dengan menelusuri kesejarahan masa lampu bisa dijadikan sebagai referensi dalam pemerintahan. Penelusuran sejarah juga penting, karena di dalamnya akan terungkap nilai-nilai sosial masa lampu, hingga kultur yang dikembangkan oleh peradaban masa lampau. Referensi kultur dan peradaban masa lampau juga penting sebagai pijakan untuk menerapkan pembangunan agar kebijakan yang diambil sesuai dengan kultur dan peradaban yang berkembang di masyarakat.
Referensi kultur dan peradaban sangat penting agar kebijakan yang diambil benar-benar telah menyuarakan kepentingan dan pemenuhan hak dasar rakyatnya. Apalagi, berbicara soal pemenuhan hak dasar masyarakat, di usianya yang ke-334, Kabupaten Bojonegoro belum dapat memenuhinya secara 100 persen. Alih-alih 100 persen, pada kisaran 80 persen pun belum tentu sampai.
Sebab faktanya, berbicara soal hak dasar, pada hak dasar pendidikan, kesehatan, dan pangan saja mungkin kebijakan yang diambil masih belum sesuai dengan kehendak dan kebutuhan masyarakat Bojonegoro. Tengoklah masih ada ribuan warga miskin (Miskin) yang belum tercover dalam Jamkesmas maupun Jamkesda. Padahal, berbicara soal kesehatan, adalah kewajiban negara menanggung jaminan kesehatan warganya, khususnya dari kalangan Maskin.
Belum lagi pendidikan, yang ada kecenderungan mempraktikkan kapitalisasi pendidikan, komersialisasi pendidikan, hingga berujung pada kastanisasi pendidikan. Siapa punya uang banyak, dialah yang berpeluang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan baik. Lagi-lagi masyarakat yang tak terlalu memiliki modal besar, akan terpinggirkan oleh sistem pendidikan yang dibangun. Kesan bahwa pendidikan baik adalah mahal adalah tidak salah. Kesan bahwa orang miskin dilarang pintar juga tidak salah, karena akses untuk anak miskin teramat minim porsinya. Itupun belum lagi kebijakan untuk petani yang masih kurang tampak memihak. Kalau semua itu dibiarkan berlarut-larut, benarlah kiranya bahwa senjakala mulai menggelayut di langit Bojonegoro, di hari jadi. [*]

No comments:

Post a Comment