Tuesday, March 13, 2012

Mungkinkah Tepat Waktu?

TERHITUNG mulai Agustus 2011 operator Blok Cepu, Mobil Cepu Ltd. (MCL) memiliki waktu 36 bulan (tiga tahun) untuk mempersiapkan berbagai proyek penunjang untuk mencapai puncak produksi minyak di lapangan Banyuurip. Dihitung mulai Agustus 2011, karena pada saat itulah MCL mengumumkan pemenang tender proyek engineering, procurenment, dan constructing (EPC) I yang dimenangi oleh PT Tripatra Engineers and Constructors.
Secara bertahap hingga awal tahun 2012, MCL juga mengumumkan para pemenang tender untuk EPC II hingga EPC V. Seperti diketahui bersama, dari lima EPC, Kabupaten Bojonegoro akan disinggahi EPC I, EPC V, dan sebagian EPC II. Sedangkan Kabupaten Tuban akan menerima EPC III, EPC IV, dan sebagian EPC II. Dihitung sejak Agustus 2011 lalu, hingga kini peta jalan menuju puncak produksi sudah berkurang lima bulan. Ini berarti waktu yang disediakan untuk mempersiapkan berbagai proyek penunjang untuk mencapai puncak produksi tinggal 30 bulan lagi. Sebuah waktu yang bisa dibilang cukup pendek untuk menyiapkan proyek yang bernilai Rp 40 triliun.
Sekarang, mari berhitung apakah dengan jeda waktu 30 bulan tersebut akan mampu diselesaikan, mengingat begitu banyaknya proyek penunjang Blok Cepu, berikut problem ikutan yang turut menyertainya. Permasalahan pertama yang hingga kini belum tuntas adalah belum terealisasinya enam komitmen yang dijaminkan MCL kepada Pemkab Bojonegoro, sebagai wujud keseriusan untuk membela kepentingan konten lokal, sebagaimana amanat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 23 Tahun 2011 tentang Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah dalam Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi serta Pengolahan Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Kabupaten Bojonegoro.
Enam komitmen itu adalah tukar guling tanah kas desa seluas 13 hektare yang saat ini sudah disewa dan menginjak tahun kedua. Kemudian, proteksi terhadap sumber air sendang, akses Jalan Temlokorejo, Jalan Rajekwesi berupa jalan desa (paving) dan tanggul penahan tanah di Desa Brabuwan, Mojodelik, dan Bonorejo, Kecamatan Ngasem. Serta, pembuatan lapangan sepak bola di Desa Gayam, Kecamatan Ngasem, maupun surat tidak keberatan dari tujuh warga yang tersisa.
Memang saat hearing antara BP Migas, MCL, BUMD, dan Tim Optimalisasi Kandungan Lokal bersama DPRD Bojonegoro beberapa waktu lalu ada kesiapan dari MCL untuk menuntaskan tanggung jawab merealisasikan enam komitmen tersebut. Namun, seberapa jauh target yang dipatok untuk menyelesaikannya belum terpapar secara gamblang. Sebab, sebagai contoh saja, untuk membebaskan tanah kas desa seluas 13 hektare tersebut tentunya bukan hal yang mudah, karena urusan administrasinya bisa sampai ke Kementerian Dalam Negeri.
Di luar persoalan yang menjadi tanggungan operator, problem serupa juga dialami oleh rekanan atau kontraktor pemenang tender. EPC I, misalnya. Hingga kini, PT Tripatra yang menjadi pemenang tender EPC I belum kunjung menyelesaikan tahapan prakualifikasi untuk berbagai paket pekerjaan fisik yang menjadi lingkup EPC I. Belum lagi ada permasalahan tarik menarik antara rekanan lokal yang menginginkan terlibat dalam EPC I yang hingga sekarang belum mencapai konsensus dengan kontraktor utamanya.
Tentu membutuhkan waktu yang tidak pendek untuk membicarakan bagaimana rigit keterlibatan tersebut dituntaskan. Di satu sisi, PT Tripatra menginginkan kriteria dan kualifikasi dalam pengerjaan proyek-proyek EPC I sebagai barang wajib, karena memang demikianlah ada dan seharusnya standar yang wajib dipenuhi kontraktor minyak yang padat risiko dan teknologi tinggi (high risk dan technology).
Di lain sisi, PT Tripatra sejatinya juga menginginkan menggandeng partner lokal, sebagai bentuk komitmennya untuk melaksanakan amanat Perda Konten Lokal. Sekaligus, sebagai upaya untuk menciptakan iklim usaha yang harmonis, sehingga schedule waktu 36 bulan yang dipatok operator dapat dilaksanakan dengan baik. Di saat tenaga, fikiran, dan waktu dicurahkan untuk mencapai konsensus tersebut, di saat bersamaan pula waktu terus berjalan, tenggat waktu pengerjaan EPC I juga semakin dekat. Belum lagi problem-problem sosio-ekonomi yang selalu menyertai dalam industri ekstraktif.
Dari beragam problem di atas, muncul kekhawatiran produksi puncak Blok Cepu yang hingga mencapai 165 ribu barel per hari (bph) pada Agustus 2014 mendatang pun terancam mundur. Ekspektasi tinggi yang dipatok BP Migas agar kapasitas produksi minyak secara nasional pada 2014 mendatang mencapai 1 juta bph, termasuk di dalamnya 165 ribu bph dari lapangan Blok Cepu, membuat banyak kalangan bertanya-tanya sekaligus deg-degan. Mampukah? [*]

No comments:

Post a Comment