Tuesday, March 13, 2012

Saatnya Menimbang Paras

BILA tidak ada halangan yang serius, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Bojonegoro akan diselenggarakan pada bulan November 2012 mendatang. Secara resmi, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro baru akan menjalankan tahapan Pemilukada Bojonegoro enam bulan sebelumnya, atau tepatnya pada bulan Juni 2012.
Sekalipun demikian, suhu politik menjelang Pemilukada Bojonegoro sudah mulai terasa. Menu Pemilukada sudah menjadi pembahasan hangat masyarakat dari berbagai strata sosial. Sesekali cobalah buka situs jejaring sosial (social networking) seperti facebook, yang riuh rendah suksesi Pemilukada Bojonegoro sudah sedemikian kuat dan kentara. Sejumlah grup yang berlabelkan seperti Pilkada Bojonegoro 2012, Ayo Pilkada Bojonegoro 2012, atau lainnya, sudah muncul. Bahkan, bisa dibilang munculnya sudah cukup lama.
Dalam konteks pembelajaran politik, keberadaan grup-grup tersebut bisa kita pandang sebagai sesuatu yang positif untuk memberikan referensi bagi masyarakat, khususnya yang mempunyai akun facebook. Selama grup tersebut bertujuan untuk membangun tujuan (goal) yang sama untuk pembelajaran demokrasi dalam track yang konstruktif, tentu tidak ada masalah.
Akan tetapi jika grup-grup dalam situs jejaring sosial tersebut justru dijadikan sebagai media dan alat propaganda untuk menyampaikan manuver negative campaign atau black campaign, tentu memprihatinkan. Sebab, bukan tidak mungkin status dan komentar yang ditayangkan dalam grup tersebut bernada menyerang yang sangat berpotensi terhadap perlawanan hukum.
Muncul pula grup yang mengatasnamakan personel yang santer diberitakan running dalam Pemilukada Bojonegoro 2012. Kontennya juga sudah mengarah pada unsur-unsur kampanye, melebihkan sisi-sisi bakal calon yang didukung, sembari sesekali menyindir kelemahan bakal calon lain. Dalam bingkai komunikasi politik dan branding, penggunaan media ini terkadang cukup efektif untuk mengangkat pencitraan bakal calon.
Penggunaan situs jejaring sosial untuk kampanye Pemilukada, dalam konteks tertentu memang cukup efektif. Setidaknya opini untuk mempengaruhi nalar kognisi anggota grup dan anggota situs jejaring sosial yang terkonek, akan terpapar. Suka atau tidak suka, diterima ataupun tidak, opini tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi ruang bawah sadar anggota grup.
Di luar gegap gempita suhu politik menjelang Pemilukada di dunia maya, aksi-aksi yang lebih konkret juga dilakukan oleh para bakal calon. Bahkan, sejumlah bakal calon sudah disebut-sebut menggalang dukungan. Seorang bakal calon dari jalur independen (perorangan), bahkan sempat diberitakan media ini, sudah menggalang dukungan dalam bentuk fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) hingga 45 ribu.
Geliat dan manuver running Pemilukada Bojonegoro 2012 juga sudah dilakukan partai politik (parpol). Ada yang sudah mulai membuka pendaftaran bakal calon. Ada pula yang bermanuver dengan road show ke kantung-kantung masyarakat maupun organisasi kemasyarakatan (ormas) berbasis agama. Tidak sedikit pula yang masih malu-malu dengan berlindung di balik menunggu keputusan DPP, hingga hasil survey dari lembaga yang ditunjuk oleh DPP.
Dari manuver beragam yang dilakukan oleh bakal calon, tim sukses, hingga parpol tersebut, yang harap diingat adalah kesadaran untuk menjadikan Pemilukada tidak semata-mata sebagai pesta demokrasi, sangatlah penting. Sebab, jamak diketahui bahwa selama ini Pemilukada diasumsikan sebagai pesta demokrasi yang konotasinya adalah pesta berbagai hal. Pesta uang dari calon, hingga pesta janji-janji manis calon yang muluk-muluk, tetapi minim realisasi.
Masyarakat pemilih harus cerdas menyikapinya, agar tidak lagi menjadikan uang sebagai penentu keputusan untuk memilih. Waktu lima menit untuk menentukan sikap dalam memilih calon memang pendek. Tetapi, kriteria dan reasoning untuk memilih harus ditimbang panjang, mengingat lima menit menentukan akan menentukan masa depan dan faktor-faktor politik dan non-poitik bagi Kabupaten Bojonegoro lima tahun kemudian. Sekaranglah saat yang tepat untuk mulai mengamati nama-nama yang mulai muncul, sebagai referensi untuk mengambil keputusan November mendatang.
Sebab, sebagaimana dikatakan Juan J. Linz dan Alfred Stephen (1996), pemilihan umum bukan satu-satunya factor dalam konsolidasi demokrasi. Namun, demokrasi amat berkaitan erat dengan factor-faktor non politik seperti komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil society), konstitusi (rule of game), norma-norma birokrasi yang sah rasional (state apparatus), serta tradisi pasar (economic society). Siapkah kita? [*]

No comments:

Post a Comment