Tuesday, March 13, 2012

Kont(r)ak Politik

DALAM setiap momentum pemilihan umum (pemilu), apakah pemilu presiden-wakil presiden, pemilu legislatif, maupun pemilu kepala daerah, kontrak politik lazim dilakukan oleh seorang calon untuk menggaet dukungan luas dari massa pemilih atau konstituennya. Kontrak politik juga menjadi seperti persyaratan keseriusan dari seorang calon, demi meyakinkan dan mempengaruhi kognisi dan afeksi pemilih agar bertindak (behavioral), mengambil keputusan untuk memilih calon yang telah menyiapkan kontrak politik.
Kontrak politik pula yang pada Pilkada Bojonegoro 2007 silam dilakukan oleh pasangan Suyoto-Setyo Hartono (Toto) untuk menggalang dukungan massa. Faktanya, dalam hal keberanian Toto membuat kontrak politik, berikut variannya seperti surat cinta dari Kang Yoto, mampu menarik simpati publik. Keberanian untuk menampilkan diferensiasi atau perbedaan dibanding dengan calon yang lain, menjadikan Toto sebagai alternatif calon yang dinilai memberikan warna lain. Endingnya, terlepas ada permasalahan pilkada yang saat itu melingkupinya, Toto dinyatakan sebagai pemenang, dan menjadi bupati-wakil bupati hingga kini.
Kalaupun saat ini publik menganggap ternyata masih banyak janji dari kontrak politik Toto yang belum terlaksana hingga kini, itulah riilnya dendang sumbang yang sekarang bergaung di ranah publik. Janji untuk memperbaiki dan menghaluskan infrastruktur jalan di Bojonegoro, faktanya hingga tahun terakhir pemerintahannya (2012) terlalu banyak jalan yang rusak dan tidak layak untuk dilintasi.
Bisakah Toto digugat secara hukum atas pengingkaran terhadap kontrak politik yang dibuatnya pada tahun 2007 silam? M. Hadi Shubhan (2009), dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengatakan, kontrak politik yang sering dilakukan para kandidat dibuat dengan bahasa umum, tanpa suatu klasifikasi tertentu dan bukan dengan bahasa dan klasifikasi hukum. Karena dibuat dengan bahasa yang abstrak dan tidak memiliki makna hukum, dapat dipastikan kontrak politik tidak dapat ditegakkan dalam ranah hukum (non enforceable). Karena kontrak politik tidak memiliki implikasi yuridis, selembar kontrak politik hanyalah seonggok kertas yang tidak bermakna apa pun.
Kalaupun dalam kontrak politiknya sebuah pasangan calon melibatkan seorang notaris dengan maksud agar tercipta suatu persepsi bahwa kontrak politik itu adalah suatu dokumen hukum dan dapat dijadikan pegangan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, ini juga tidak bisa dijadikan pegangan. Sebab, keterlibatan notaris dalam kontrak politik biasanya hanya untuk melegalisasi atau melakukan warwerken (pencatatan tanggal). Jika yang dilakukan seperti itu, surat yang dilegalisasi atau di-warmerk tersebut tidak bisa menjadi suatu akta otentik, melainkan tetap menjadi sebuah surat biasa.
Sebab, kontrak politik bukanlah sebuah peraturan perundang-undangan, karena bukan dibuat oleh sebuah lembaga yang memiliki otoritas. Kontrak politik juga bukan sebuah kontrak hukum bagi para pihak yang dapat dituntut pemenuhannya melalui sebuah lembaga hukum yang berbentuk pengadilan. Hal ini karena isi dan ruang lingkup kontrak politik sangat umum dan abstrak, sedangkan kontrak hukum haruslah detail. Ini karena hukum pada hakikatnya adalah perdetailan. Tanpa ketentuan yang detail, akan sangat sulit men-judgment bahwa yang menandatangani kontrak telah melakukan wanprsetasi.
Dari paparan Shubhan di atas, dapat dipahami mengapa pasangan Toto tidak bisa dituntut dan dimintai pertanggungjawabannya secara hukum, bilamana janji kampanyenya tidak bisa direalisasikan saat menjalankan pemerintahan. Kalaupun saat ini publik menganggap janji perbaikan jalan yang didengungkan Toto belum terlaksana sesuai kampanyenya, toh tetap tak bisa dipermasalahkan secara hukum. Karena, kontrak politik yang dibuat terlalu abstrak, dan konstruksinya tidak memungkinkan untuk dibuat secara detail. Dengan kata lain, kontrak politik yang dibuat pasangan Toto, bisa dikatakan hanya sebatas sebagai kontak komunikasi dan politik kepada konstituennya.
Satu-satunya pertanggungjawaban yang bisa dilakukan oleh publik adalah sanksi moral dan sanksi politik. Sebab, dua hal itulah yang memungkinkan menjerat seseorang yang secara politik di mata publiknya telah melakukan wanprestasi. Sanksi politik dilakukan saat momentum-momentum suksesi. Sedangkan sanksi moral, kendati ukurannya juga tetap abstrak, tetaplah penting karena disitulah ukuran komitmen seseorang akan bisa dijaga dan diketahui. Apakah seseorang tersebut ingkar janji, komitmen, jujur, ataukah suka mengobral janji.
Kini, semua berpulang kepada publik. Apakah bisa merawat dan menjaga ingatan agar tidak lupa terhadap dendang sumbang kontrak politik. Ataukah semua akan kembali seperti semula, bahwa publik kita selalu mudah lupa terhadap berbagai pengingkaran yang selama ini dialaminya. [*]

No comments:

Post a Comment