Monday, November 7, 2011

Mahalnya Sebuah Perda

MENJELANG akhir 2011, DPRD Bojonegoro, khususnya Badan Legislasi (Banleg) membuat capaian cukup penting dengan membahas dan mengesahkan lima di antara 10 rancangan peraturan daerah (Raperda) menjadi peraturan daerah (Perda). Lima Perda itu adalah Perda tentang pemekaran kecamatan dan pembentukan kecamatan baru; Perda tentang percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dalam pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi migas; Perda perubahan atas Perda 19/1990 tentang PDAM; Perda tentang wajib pajak cabang/lokasi dalam pengadaan barang dan jasa di Bojonegoro; dan Perda kesejahteraan lanjut usia.
Sedangkan lima raperda lainnya ditunda. Lima raperda itu, Raperda tentang transparansi tata kelola pemerintahan di bidang industri ekstraktif migas; Raperda tentang penanggulangan bencana; raperda tentang sistem penyelenggaraan pendidikan daerah; Raperda tentang pengelolaan barang milik pemkab; dan Raperda tentang tata cara perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah. Khusus Raperda yang disebut terakhir dipending, karena sudah ada aturan tersendiri yang mengaturnya.
Dengan disahkannya lima Raperda itu, di satu sisi DPRD Bojonegoro telah menjalankan amanat UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD, dan DPRD, khususnya pasal 78. Pasal tersebut menyebutkan adanya hak konstitusi yang besar yang dimiliki lembaga wakil rakyat. Hak itu berupa kewenangan ikut mengatur jalannya roda pemerintahan. Ketiga hak konstitusi tersebut, legislating (membuat Perda), budgeting (menyusun anggaran), dan controlling (turut mengawasi kebijakan eksekutif).
Sayangnya, peran legislating ini belum berjalan dengan baik. Indikasinya tampak dengan kasat mata. Sebab, empat Raperda yang dipending ternyata semua adalah merupakan hak inisiatif DPRD Bojonegoro. Logikanya, kalau benar Raperda itu memang diusulkan berdasarkan hak inisiatif anggota DPRD, secara matematis akan cukup mulus disahkan menjadi Perda. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Sejak masih dibahas di panitia khusus (Pansus) saja sudah memicu perdebatan hingga kemudian berujung tak disahkan di tingkat paripurna DPRD. Tentu ada persoalan lain yang sulit untuk dipahami sehingga kenapa empat Raperda tersebut tidak disahkan menjadi Perda.
Salah satu Raperda inisiatif yang sejak dulu muter-muter, hampir selalu dimasukkan di dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) DPRD Bojonegoro adalah Raperda tentang sistem penyelenggaraan pendidikan daerah. Raperda ini bahkan, seingat penulis, adalah merupakan `warisan` anggota DPRD Bojonegoro periode 2004-2009. Penulis masih ingat persis, menjelang berakhirnya masa jabatan anggota DPRD periode lalu, persisnya paro 2009, paripurna dewan merekomendasikan agar raperda tentang sistem penyelenggaraan pendidikan ini menjadi pilot project anggota dewan periode 2009-2014.
Tapi apa mau dikata? Alih-alih disahkan menjadi Perda, hingga sekarang (dua tahun kemudian) Raperda tersebut masih simpang siur, dan tidak kunjung disahkan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah memang tidak ada kesinkronan di antara internal anggota dewan dan pemkab, sehingga Raperda itu tidak pernah tuntas dibahas dan disahkan? Ataukah ada kendala teknis di konteks mekanisme penyusunan Raperdanya menjadi Perda? Ataukah justru ada kendala ’something’ yang sulit untuk diterjemahkan dengan bukti formil materiil, tetapi sangat bisa dirasakan dan dibaui?
Kalau yang pertama dan ketiga, rasanya penulis tidak mampu menjawabnya, karena mungkin eksekutif serta legislatif, (dan Tuhan tentunya) yang tahu. Tetapi dari sisi teknis mekanisme pengusulan Raperda menjadi Perda, rasanya memang ada yang kurang fair dibuka ke ranah publik. Sebab, merunut perspektif kebijakan publik, untuk membuat sebuah Raperda menjadi Perda, perlu ada sebuah daftar identifikasi masalah (DIM) dari suatu sasaran atau objek yang akan dijadikan bahan membuat regulasi.
DIM inilah yang kemudian dijabarkan sebagai draf naskah akademik, yang biasanya dipercayakan kepada perguruan tinggi sebagai representasi pengembangan keilmuan atau lembaga kredibel lainnya. Naskah akademik menjelaskan tentang batang tubuh Raperda, yang berisikan tentang hal-hal apa yang harus diatur, hingga sanksi yang akan diterapkan jika dilanggar.
Dalam naskah akademik pulalah landasan-landasan filosofis, sosiologis-kultural, dan hukum dikaji secara rigid dan detail agar saat Perda itu dilembar-daerahkan tidak memicu masalah, melainkan menyelesaikan masalah (problem solving). Dalam naskah akademik juga diatur landasan-landasan yang menjadi konsideran agar Perda yang diterbitkan tidak bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya. Baru masuk di ranah Prolegda hingga pengesahan oleh DPRD dan revisi gubernur.
Penulis berbaik sangka, (mungkin) hal itu sudah dilakukan. Tetapi, sejauh ini penulis belum pernah melihatnya dibuka secara transparan ke publik lewat public hearing misalnya. Seolah-olah, Perda menjadi barang mahal dan wajib disembunyikan. Rupanya sampai detik ini transparansi memang masih sebatas jargon yang semu! (*)

Blok Lingkar, 5 November 2011

*) Tayang di Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group), Edisi Minggu, 6 November 2011, Halaman 30.