Monday, March 18, 2013

Dicari: Calon Anggota Legislatif

Dalam beberapa pekan terakhir, kita mungkin sering mendengar dan menyaksikan sejumlah iklan di media massa, cetak maupun elektronik, yang memajang lowongan pendaftaran calon anggota legislatif (caleg) dari sejumlah partai politik. Iklan yang terpasang beragam. Tak hanya untuk iklan lowongan caleg pusat (DPR RI), melainkan juga caleg untuk daerah (DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota).
Iklan yang dipasang bukan merupakan satu-satunya instrumen yang digunakan oleh parpol untuk menjaring caleg. Di luar strategi menggunakan iklan, melalui mekanisme internal parpol juga membuka lowongan pendaftaran caleg untuk running Pemilu 2014 terhadap kader dan anggota parpol. Pendek kata, pemasangan iklan di media massa dengan tujuan menggaet eksternal parpol, sedangkan mekanisme internal menjaring kader dan anggota parpol sendiri.
Dari sisi konten, format iklan yang dipasang di media massa cukup beragam. Ada yang berisikan statemen figur sentral parpol, disertai ajakan untuk bergabung dengan cara mendaftar sebagai caleg. Ada pula yang menampilkan testimoni figur caleg disertai argumentasi yang mendasarinya bergabung. Ringkas kalimat, berbagai pendekatan dilakukan semenarik dan sekreatif mungkin, dengan harapan semakin banyak warga yang tertarik dan kemudian bergabung.

Mekanisme Semu?
Kesediaan parpol membuka pendaftaran caleg secara terbuka kepada publik, menurut penulis, setidaknya mencirikan dua hal. Pertama, kerelaan dan ke-mau-an parpol memberi ruang kepada publik (non-kader) untuk menjadi caleg menimbulkan kesan positif. Dalam artian, kebijakan itu dapat dipahami sebagai sebuah kesadaran parpol untuk mempersilahkan warga yang berpotensi mengemban amanat rakyat maju sebagai caleg. Ada keterbukaan dan inklusivitas politik, dan ini perlu diapresiasi.
Tetapi di sisi lain, kerelaan parpol membuka pendaftaran bagi publik (non-kader) sekaligus juga menimbulkan tanya. Jangan-jangan ini mekanisme semu dan seolah-olah. Argumentasinya, bukankah parpol adalah medium mencetak kader-kader dan pemimpin yang kelak berpartisipasi dalam pemerintahan? Lantas mengapa sampai membuka pendaftaran untuk publik (non-kader)?
Kesimpulan awal yang muncul, kerelaan parpol membuka pendaftaran bagi khalayak non-kader, bisa jadi karena sistem maupun mekanisme pengkaderan dan rekrutmen di internal parpol tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dampaknya, output dan outcome yang diharapkan terjadi tidak berkelindan dengan platform atau visi besar partai.
Alih-alih mampu meningkatkan kepercayaan publik, yang terjadi justru sebaliknya. Kepercayaan publik terhadap partai lambat laun menurun. Survei Centre for strategic and International Studies (CSIS) pada 16-24 Januari 2012 menunjukkan, dari 2.117 responden yang diambil secara acak di 33 provinsi di Indonesia, hanya 22,4 persen yang menyatakan kinerja parpol telah baik, sementara 70 persen lebih menilai sebaliknya. Penyebabnya, karena parpol tak lagi menjadi corong aspirasi publik kepada pemerintah, parpol justru menjadi alat elit-elit politik untuk mencapai kekuasaan dan menguasai sumber daya yang ada.
Yang lebih baru, riset LSI (Lingkaran Survei Indonesia) yang dirilis pada 19 November 2012 menunjukkan, 56,43 persen dari 1.200 responden di seluruh Indonesia tak menginginkan anak-anaknya menjadi anggota DPR. Hasil ini berbanding terbalik dengan hasil riset pada 2008. Kala itu, 59,22 persen responden mendambakan anaknya menjadi anggota dewan.

Harus Diawasi
Dua data di atas seolah mengonfirmasi mengapa tingkat partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu selalu menurun. Sebagai perbandingan, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Pemilu 1999, tingkat partisipasi pemilih masih mencapai angka yang sangat tinggi, yakni 93,3 persen. Namun, pada Pemilu 2004 turun menjadi 84,9 persen. Bahkan, pada Pemilu 2009 tingkat partisipasi pemilih merosot menjadi 70,99 persen. Bagaimana dengan Pemilu 2014, dengan kondisi parpol yang sedemikian carut marut? Menarik untuk ditunggu.
Akan tetapi, apapun kondisi parpol yang ada sekarang, kita tidak boleh pesimis. Kita tetap harus menaruh respek dan angkat topi dengan kemauan parpol untuk membuka diri, mengundang pihak eksternal bergabung sebagai caleg. Tentu saja dengan catatan semoga semua itu dilakukan dengan tulus, bukan hanya sekadar menggaet simpati publik, yang ujung-ujungnya dicampakkan setelah memperoleh dukungan.
Publik non-kader harus benar-benar diberi ruang yang sama dengan kader dan anggota dalam hal pelaksanaan fungsi-fungsi legislasi kelak jika terpilih. Di saat yang bersamaan pula, peningkatan kapasitas caleg, dedikasi tugas pokok dan fungsi yang tinggi, kinerja bagus, hingga integritas moral berikut penerapan sanksi yang tegas, harus benar-benar dijalankan dengan serius.        
Sepanjang demokrasi prosedural masih menjadi satu-satunya mekanisme dalam pembentukan pemerintahan, partai akan selalu ada. Keberadaannya tidak bisa ditolak, tetapi juga tidak bisa seenaknya bergerak. Semua pihak harus ikut mengawasi, mengawal, bila perlu mengkritik, demi kebaikan semua. Itu jika partai memang serius ingin mengembalikan kepercayaan publik!. (*)

Ujung Blok Lingkar, 16 Maret 2013
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 18 Maret 2013, Halaman 26