Dalam beberapa pekan terakhir, kita mungkin
sering mendengar dan menyaksikan sejumlah iklan di media massa, cetak maupun
elektronik, yang memajang lowongan pendaftaran calon anggota legislatif (caleg)
dari sejumlah partai politik. Iklan yang terpasang beragam. Tak hanya untuk
iklan lowongan caleg pusat (DPR RI), melainkan juga caleg untuk daerah (DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota).
Iklan yang dipasang bukan merupakan
satu-satunya instrumen yang digunakan oleh parpol untuk menjaring caleg. Di
luar strategi menggunakan iklan, melalui mekanisme internal parpol juga membuka
lowongan pendaftaran caleg untuk running
Pemilu 2014 terhadap kader dan anggota parpol. Pendek kata, pemasangan iklan di
media massa dengan tujuan menggaet eksternal parpol, sedangkan mekanisme
internal menjaring kader dan anggota parpol sendiri.
Dari sisi konten, format iklan yang dipasang
di media massa cukup beragam. Ada yang berisikan statemen figur sentral parpol,
disertai ajakan untuk bergabung dengan cara mendaftar sebagai caleg. Ada pula
yang menampilkan testimoni figur caleg disertai argumentasi yang mendasarinya
bergabung. Ringkas kalimat, berbagai pendekatan dilakukan semenarik dan
sekreatif mungkin, dengan harapan semakin banyak warga yang tertarik dan
kemudian bergabung.
Mekanisme
Semu?
Kesediaan parpol membuka pendaftaran caleg
secara terbuka kepada publik, menurut penulis, setidaknya mencirikan dua hal.
Pertama, kerelaan dan ke-mau-an parpol memberi ruang kepada publik (non-kader)
untuk menjadi caleg menimbulkan kesan positif. Dalam artian, kebijakan itu
dapat dipahami sebagai sebuah kesadaran parpol untuk mempersilahkan warga yang
berpotensi mengemban amanat rakyat maju sebagai caleg. Ada keterbukaan dan
inklusivitas politik, dan ini perlu diapresiasi.
Tetapi di sisi lain, kerelaan parpol membuka
pendaftaran bagi publik (non-kader) sekaligus juga menimbulkan tanya.
Jangan-jangan ini mekanisme semu dan seolah-olah. Argumentasinya, bukankah
parpol adalah medium mencetak kader-kader dan pemimpin yang kelak
berpartisipasi dalam pemerintahan? Lantas mengapa sampai membuka pendaftaran
untuk publik (non-kader)?
Kesimpulan awal yang muncul, kerelaan parpol
membuka pendaftaran bagi khalayak non-kader, bisa jadi karena sistem maupun
mekanisme pengkaderan dan rekrutmen di internal parpol tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Dampaknya, output
dan outcome yang diharapkan terjadi
tidak berkelindan dengan platform atau visi besar partai.
Alih-alih mampu meningkatkan kepercayaan
publik, yang terjadi justru sebaliknya. Kepercayaan publik terhadap partai lambat
laun menurun. Survei Centre for strategic
and International Studies (CSIS) pada 16-24 Januari 2012 menunjukkan, dari
2.117 responden yang diambil secara acak di 33 provinsi di Indonesia, hanya
22,4 persen yang menyatakan kinerja parpol telah baik, sementara 70 persen
lebih menilai sebaliknya. Penyebabnya, karena parpol tak lagi menjadi corong
aspirasi publik kepada pemerintah, parpol justru menjadi alat elit-elit politik
untuk mencapai kekuasaan dan menguasai sumber daya yang ada.
Yang lebih baru, riset LSI (Lingkaran Survei
Indonesia) yang dirilis pada 19 November 2012 menunjukkan, 56,43 persen dari
1.200 responden di seluruh Indonesia tak menginginkan anak-anaknya menjadi
anggota DPR. Hasil ini berbanding terbalik dengan hasil riset pada 2008. Kala
itu, 59,22 persen responden mendambakan anaknya menjadi anggota dewan.
Harus
Diawasi
Dua data di atas seolah mengonfirmasi mengapa
tingkat partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu selalu menurun. Sebagai
perbandingan, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Pemilu 1999, tingkat
partisipasi pemilih masih mencapai angka yang sangat tinggi, yakni 93,3 persen.
Namun, pada Pemilu 2004 turun menjadi 84,9 persen. Bahkan, pada Pemilu 2009
tingkat partisipasi pemilih merosot menjadi 70,99 persen. Bagaimana dengan
Pemilu 2014, dengan kondisi parpol yang sedemikian carut marut? Menarik untuk
ditunggu.
Akan tetapi, apapun kondisi parpol yang ada
sekarang, kita tidak boleh pesimis. Kita tetap harus menaruh respek dan angkat
topi dengan kemauan parpol untuk membuka diri, mengundang pihak eksternal
bergabung sebagai caleg. Tentu saja dengan catatan semoga semua itu dilakukan
dengan tulus, bukan hanya sekadar menggaet simpati publik, yang ujung-ujungnya
dicampakkan setelah memperoleh dukungan.
Publik non-kader harus benar-benar diberi
ruang yang sama dengan kader dan anggota dalam hal pelaksanaan fungsi-fungsi
legislasi kelak jika terpilih. Di saat yang bersamaan pula, peningkatan
kapasitas caleg, dedikasi tugas pokok dan fungsi yang tinggi, kinerja bagus,
hingga integritas moral berikut penerapan sanksi yang tegas, harus benar-benar
dijalankan dengan serius.
Sepanjang demokrasi prosedural masih menjadi
satu-satunya mekanisme dalam pembentukan pemerintahan, partai akan selalu ada.
Keberadaannya tidak bisa ditolak, tetapi juga tidak bisa seenaknya bergerak.
Semua pihak harus ikut mengawasi, mengawal, bila perlu mengkritik, demi
kebaikan semua. Itu jika partai memang serius ingin mengembalikan kepercayaan
publik!. (*)
Ujung
Blok Lingkar, 16 Maret 2013
*) Tayang di Jawa Pos
Radar Bojonegoro Edisi 18 Maret 2013, Halaman 26