Akhir Januari lalu, penulis
menghadiri sebuah acara yang cukup menarik. Pelatihan perilaku hidup bersih dan
sehat untuk pegiat sanitasi dan kelompok rumah tangga pilah sampah. Acaranya di
sebuah hotel di Kecamatan Kalitidu.
Pelatihan itu semakin menarik
karena menghadirkan Denok Marty Astutik. Bagi pegiat sanitasi atau lingkungan
hidup, mungkin tidak asing dengan nama Denok. Wanita asal Solo yang namanya
melambung saat dihadirkan sebagai bintang tamu di acara talk show Kick Andy,
tahun lalu.
Denok adalah koordinator Gropesh, Gerakan
Orang Muda Peduli Sampah, Solo. Denok menjadi sangat terkenal karena keputusan
‘gila’-nya. Denok berani meninggalkan zona nyaman sebagai akuntan perusahaan
otomotif raksasa di Jakarta. Anda tahu? Padahal, posisinya sudah setingkat manajer.
‘Gila’-nya lagi, posisi itu dia
tinggalkan hanya karena ingin mengurusi sampah. Lebih tepatnya sebagai pegiat
olah sampah. Aktivitas yang mungkin akan dianggap ‘gila’, tidak normal untuk
orang sekelas lulusan UI. Namun toh Denok menikmatinya. Malah, Denok
semakin menjiwai. Saat ini dia membina sejumlah warga binaan di Lapas Jakarta,
Solo, dan kota-kota lain.
Namun, bukan itu yang ingin
penulis sampaikan dalam kolom ini. Kalau ingin tahu lebih dalam rekam jejak
Denok, klik saja di youtube. Anda akan menemukan jawabnya. Secara detail.
Bahkan mungkin banyak hal lain yang Anda ketahui.
Penulis sangat tertarik saat Denok
menyinggung soal biopori. Anda tahu biopori kan? Ya, semacam lubang seukuran
pipa paralon yang dibuat dengan kedalaman tertentu. Ditanam di tanah dengan
jarak tertentu. Pipanya diberi pori-pori. Agar air yang masuk dalam pipa bisa
meresap ke lapisan tanah. Istilah sederhananya sumur resapan.
Fungsi utama biopori untuk
menabung air di musim penghujan. Air yang masuk dalam biopori kemudian dapat disimpan
di kedalaman tanah. Kelak di kemudian hari air itu bisa menjadi cadangan atau
tepatnya cadangan air. Tabungan air di musim kemarau.
Rasanya aneh kalau Indonesia,
khususnya Bojonegoro, tidak akrab dengan biopori. Di Singapura saja masyarakatnya sudah akrab
dengan biopori. Singapura memiliki puluhan juta lubang biopori yang tersebar merata
di wilayahnya. Dengan puluhan juta biopori itu, cadangan air Singapura cukup
untuk 50 tahun ke depan!
Anda tahu, luas wilayah negara
kota Singapura ini sangat sangat kecil. Jangankan dengan Indonesia, dengan
Bojonegoro saja masih kalah. Luas wilayah Singapura hanya 716 km2. Bandingkan
dengan luas wilayah Kabupaten Bojonegoro yang mencapai 2.384,02 km2. Tiga kali
lipat dari luas negara Singapura. Tapi toh mereka bisa.
Jepang juga demikian. Luas
wilayahnya kalah jauh dengan Indonesia. Namun, Jepang juga punya puluhan juta
lubang biopori. Sama dengan Singapura, berkat modal biopori, cadangan air
negeri Matahari Terbit ini juga cukup untuk 50 tahun ke depan. Sampai anak cucu
mereka.
Bagaimana dengan Bojonegoro? Sebenarnya
sedang dimulai. Akhir-akhir ini Pemkab Bojonegoro sedang gencar menggelorakan
gerakan menabung air. Konsepnya juga sama, dengan cara membuat biopori. Namun,
kelihatannya belum serempak. Belum menjadi gerakan yang operasional hingga
menyentuh lapisan masyarakat.
Kenapa demikian? Penulis tinggal
di lingkungan perumahan di wilayah kota. Namun, rasa-rasanya imbauan atau
gerakan hingga menyentuh lingkungan RW, RT, atau bahkan tingkat lingkungan, belum
terdengar.
Terus terang, sempat terpikir
dalam hati, jangan-jangan baru sebatas gerakan. Formalitas saja? Mungkin ya,
mungkin juga tidak begitu. Andaikan formalitas, alangkah sayangnya. Padahal,
kita berpeluang besar untuk punya biopori dengan jumlah luar biasa. Itu kalau
bioporinya berbasis rumah.
Hitung-hitungan sederhananya
begini. Jumlah penduduk Kabupaten Bojonegoro 1,4 juta jiwa. Taruhlah ada 500
ribu kepala keluarga. Kalau masing-masing KK membuat dua lubang biopori saja,
akan ketemu satu juta biopori. Biopori yang berbasis rumah atau pekarangannya.
Padahal, idealnya jarak antara
lubang biopori satu dengan lainnya sekitar dua meter. Ini artinya,
masing-masing rumah logikanya bisa membuat dua hingga empat biopori. Toh
bioporinya juga tidak mengganggu pekarangan atau halaman rumah.
Itu belum termasuk biopori yang
dibuat di tegalan, tanah lapang, perkantoran, pematang sawah, atau titik-titik
kawasan tanah lainnya. Tentu akan sangat banyak biopori yang bisa dibuat. Jumlahnya
bisa mencapai belasan bahkan mungkin juta biopori.
Tapi sekali lagi, itu dengan
catatan gerakan menabung air tersebut tidak sebatas formalitas. Hanya menjadi
gerakan, tidak membumi. Tidak operasional. Dan andai benar serius, rasanya
julukan Bojonegoro: nek rendeng gak iso ndodok, nek tigo gak iso cebok
(penghujan tak bisa duduk karena banjir, dan kemarau tak bisa cebok karena tak
ada air), hanya tinggal kenangan. Ayo membuat biopori. (*)
Ujung Blok Lingkar, 12 Februari
2016
*) Tayang di Jawa Pos Radar
Bojonegoro, Edisi Minggu, 14 Februari 2016 Halaman 26