Friday, February 18, 2011

Mendamba Pendidik Yang Motivator

SUATU hari di sebuah kelas. Andi tampak murung. Dia gelisah. Dari raut mukanya terpancar kekuranggairahan. Matanya memang memandang Ibu Ratnani, guru pelajaran matematika, yang sedang menerangkan tentang logaritma. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ibu Ratnani menangkap bahasa tubuh Andi. Dia mendekatinya. ”Kenapa kamu kurang konsentrasi?” tanya Ibu Ratnani. Andi tidak menjawab. Dia takut. Sikap Andi justru membuat Ibu Ratnani tersinggung. Tanpa basa-basi, dia menghukum Andi. Dia memerintah Andi keluar ruangan kelas.
***
Ilustrasi di atas, jika disikapi secara arif dan bijak, menunjukkan betapa sosok guru hanya memperlakukan muridnya sebagai objek pengetahuan, sedangkan guru adalah figur vital, sentral, sekaligus subjek yang berhak menentukan segalanya atasdiri sang murid. Ditinjau dari sisi pembelajaran, idealnya sang guru tak hanya memperlakukan sang murid sebagai sosok yang pasif, tetapi harus aktif ikut menentukan keaktifannya. Pada saat tahu kondisi psikologis sang murid yang kurang bergariah, seorang pendidik idelnya tidak mengambil tindakan reaktif, tapi justru menyikapinya dengan arif dan bijak. Bahkan, tidak menutup kemungkinan guru harus mampu memberi motivasi kepada sang siswa agar bersemangat mengikuti pelajaran.
Ilustrasi di atas juga menunjukkan kecenderungan betapa peran guru tidak hanya sebatas sebagai pengajar dan pendidik di sekolah. Namun, peran guru sebagai motivator mutlak dibutuhkan. Pemberian motivasi mendesak dilakukan oleh seorang guru agar kemampuan siswa dapat tereksplore secara maksimal. Tak mudah memang untuk melakukannya, tapi inilah tantangan yang harus dihadapi dengan bijak oleh seorang guru, pendidik, di zaman yang masyarakatnya sedemikian dinamis.
Secara teori, motivasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberi energi bagi seseorang (siswa) dan apa yang memberikan arah bagi aktivitasnya. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi, dan insentif. (Gage dan Berliner, 1984).
Dari pengertian motivasi ini, kita dapat mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa. Ada banyak teori tentang motivasi. Namun, secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasar sudut pandangnya yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic, humanistic, social learning, dan social cognition.
Dalam cara pandang Teori Motivasi Abraham Maslow (1943-1970), secara garis besar, manusia, termasuk hal ini peserta didik, mempunyai lima kebutuhan dalam hidupnya. Yaitu, kebutuhan fisiologis (physiological needs) seperti berupa rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya; kebutuhan rasa aman (safety needs), yakni merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya; kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (love needs), berafiliasi dengan orang lain, diterima, dan memiliki; serta kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), pengertiannya butuh berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan, pengakuan; serta, kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs).
Khusus kebutuhan kelima, Maslow membaginya menjadi tiga hal. Yaitu kebutuhan aspek kognitif, dalam arti kebutuhan mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan aspek estetik, mencakup keserasian, keteraturan, dan keindahan; serta kebutuhan aspek aktualisasi diri, upaya mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya. Merujuk Teori Maslow, dari contoh kasus di atas, siswa perlu diberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi dirinya sendiri. Dalam artian, pemberian kesempatan tersebut akan menyebabkan motivasi siswa meningkat, sehingga peserta didik dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Dengan mengacu Teori Maslow, seorang siswa bila tahap kebutuhannya sudah tercukupi, baik dari sisi fisiologis, rasa aman, dan cinta, maka kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri secara tidak langsung akan menjadi capaian berikutnya. Dari gambaran di atas dapat dipahami, guru jika mau memerankan diri sebagai sosok motivator, idealnya dapat menyelidik dengan mencari tahu akar penyebabnya, apakah kebutuhan-kebutuhan fisiologis, rasa aman, hingga cinta, sudah terpenuhi atau belum. Sehingga, guru akan bisa menemukan jawaban kenapa muridnya tidak mempunyai minat/motivasi untuk esteem needs dan self-actualization needs.
Pertanyaannya, apakah lima tahapan yang digariskan Maslow, untuk sekadar memakai satu teori tentang motivasi, sudah dilaksanakan para guru dan sekolah, termasuk kepala sekolah, agar memerankan diri sebagai motivator? Rasanya, tidak perlu dijawab dengan vokal verbal, akan tetapi dilaksanakan dengan tindakan nyata, agar kejadian di SDN 2 Campurrejo, Kecamatan Kota Bojonegoro tempo hari, tidak terulang. (*)

Bawah Titian, 21 Januari 2011
*) Tayang di Radar Bojonegoro Edisi 23 Januari 2011 Halaman 30

No comments:

Post a Comment