Thursday, March 3, 2011

OMS dan Urgensi Fund Rising

ADA pertanyaan yang menarik manakala kita berdiskusi tentang fund rising. Benarkah lembaga swadaya masyarakat (LSM) kalah bersaing dengan organisasi kemasyarakatan (Ormas) maupun organisasi kepemudaan (OKP)? Untuk menjawabnya, tidak mudah. Butuh argumentasi yang tidak saja panjang, tetapi juga komprehensif. Baiklah, penulis ingin mengawali tulisan ini dengan mencari dulu perbedaan OMS (saya lebih senang menyebutnya demikian daripada LSM), dengan Ormas. Sebab, dengan menelusuri akar masalahnya terlebih dahulu, kita bisa membedakan kenapa gerakan dua lembaga itu tidak sama. Sehingga, pada akhirnya dapat diketahui kenapa fund rising ormas cenderung lebih berhasil daripada badan usaha yang dibangun oleh OMS.

Ideologisasi Ormas
Diskusi ontologi mengenai hakikat dan substansi kedua institusi ini penting ditekankan, karena hakikinya antara ormas dan OMS memang beda, meski dalam titik-titik tertentu dapat dicari benang merahnya. Berdasar basis anggota atau massa, setidaknya menurut penulis, ada perbedaan yang cukup signifikan antara ormas atau OKP dan OMS. Ormas cenderung mempunyai basis massa yang lebih ”jelas” dan ”riil” dibandingkan dengan OMS. Kejelasan dan keriilan basis ormas/OKP ini, dikarenakan beberapa faktor. Selain ideologis dan hierarki/strukturalisasi, historisitas (kesejarahan) terhadap lahirnya sebuah ormas juga dapat mempengaruhi masifitas dan loyalitas (fanatisme sempit?) sekelompok anggota terhadap ormas yang diikutinya.
Sebagai contoh, ormas semacam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, mungkin lebih mempunyai massa anggota yang lebih ”riil” dan ”jelas” dibandingkan, misalnya dengan OMS tertentu. Massa NU dan Muhammadiyah dalam hal-hal tertentu lebih solid, karena mereka diikat sebuah buhul yang disebut ideologi (garis perjuangan). Ideologi ini pada akhirnya memunculkan energi yang terejawantahkan dalam sebuah, meminjam term Max Weber, tindakan sosial dalam realitas sistem sosial. Realisasi dari ideologi ini pada akhirnya pula menciptakan militansi, yang dalam proses tertentu melahirkan kesadaran untuk memberikan sesuatu (baca: sumbangsih, dedikasi) kepada ormas yang diikutinya.
Sehingga, menjadi tidak mengherankan kalau kemudian anggota ormas/persyarikatan Muhammadiyah rela menyisihkan sebagian hartanya untuk dihibahkan kepada organisasi, yang kemudian dikelola menjadi fund rising (badan usaha) seperti SPBU ataupun rumah sakit, untuk menghidupi operasionalisasi organisasi. Demikian pula halnya dengan NU, karena terpaan ideologisasi dan nilai-nilai organisasi, massanya menjadi militan dan pada akhirnya terdorong untuk melakukan tindakan sosial. Tindakan tersebut terejawantahkan dalam amal usaha seperti rumah sakit, lembaga pendidikan, atau usaha ekonomi lainnya, untuk kesinambungan organisasi.
Selain ideologisasi, faktor lain yang mendorong massa organisasi dengan rela, selain juga dibungkus dengan kerja-kerja profesional, militan dalam mengembangkan amal usaha itu adalah adanya hirarki yang jelas atau struktural. Meskipun juga, dalam titik-titik tertentu struktural organisasi belum tentu menjadi faktor yang dominan dalam terwujudnya suatu badan usaha.
Artinya begini, dengan adanya jaringan hierarki dari daerah hingga pusat, secara tidak langsung menjadi modal sosial ormas tersebut. Sebagai contoh, hal-hal yang tak mampu
dijalankan ormas di kota A atau kabupaten B dalam mengembangkan badan usaha, dapat
ditopang atau dibantu dengan kelebihan-kelebihan yang sudah dimiliki ormas tertentu di kota C, misalnya. Relasi organisasi ini hanya dapat dilakukan, sepanjang ada hubungan hirarki, ideologi, dan kesamaan kesejarahan. Faktor-faktor inilah yang menurut penulis, pada akhirnya mendorong massa organisasi mau dan rela (?) mengembangkan fund rising demi sustainabilitas kerja-kerja organisasi.

Massa Cair OMS
Bagaimana dengan OMS? Mari mengukurnya dengan empat hal di atas ideologi, hierarki, basis massa, dan historisitas. Dari sisi ideologi, kalau kita mau jujur, tidak banyak jumlah OMS yang mempunyai ideologi yang ”jelas” dan tegas. Sebagian besar OMS (untuk tidak sebagai justifikasi) lebih berorientasi pada hal-hal yang bersifat pragmatis, alih-alih filosofis.
Padahal, bila mengacu paradigma awal kenapa sebuah sistem sosial membutuhkan peran dan fungsi OMS adalah demi terciptanya sebuah pranata sosial yang tangguh dan solid. Ada banyak paradigma yang selama ini dikembangkan NGO yaitu selain CO (community organizer), CD (comunity development) dan sublimasi (perpaduan) kedua paradigma tersebut, CO-CD. Pertanyaannya adalah apakah konsepsi itu sudah benar-benar tegas dipilih oleh sebuah OMS untuk menjadi sebuah landasan ideologis dalam menjalankan aktifitasnya, baik isu pendidikan, ekonomi, lingkungan, politik, dan lainnya? Rasanya, kalau kita mau jujur mengakui, belum benar-benar dilakukan.
Akibat ketidakjelasan kelamin ideologis inilah yang pada akhirnya menyumirkan gerakan OMS untuk memperteguh dan merealisasikannya dalam sebuah mandat sosial (social mandatory). Ketidakjelasan ideologis ini pada akhirnya juga menyebabkan basis massa sebuah NGO menjadi cair, tidak terikat utuh dan berkelindan dalam sebuah tata nilai yang dibangun melalui sandaran ideologis.
Kalaupun ada basis massa, kebanyakan sifatnya hanya berupa dampingan, namun tidak mempunyai ikatan ideologis yang kuat dan mengikat. Kalaupun ada keterikatan, hal itu hanya berhubungan dengan program-program yang sedang dijalankan dan sifatnya hanya tentatif-temporal. Sehingga, menjadi tidak mengherankan kalau kemudian OMS (untuk tidak mengatakan semuanya) sulit untuk merealisasikan sebuah fund rising lembaganya, untuk menunjang operasionalisasi OMS dalam mengemban dan menjalankan amanat dari mandat sosial yang disandangnya.
Di sisi lain, hierarki OMS juga tidak terlalu tampak, dan bahkan sangat jarang. Kalaupun ada hubungan antara OMS satu dengan lainnya, hal itu lebih bersifat pada jejaring sosial (social network) yang tidak diikat dalam satu komitmen tertentu yang massif. Jejaring itu lebih bersifat membangun solidaritas, dan adanya suatu kesamaan isu bangunan gerakan. Bahkan, dalam titik-titik tertentu jaringan tersebut berpotensi menjadi batu sandungan dan kompetitor, saat menyuarakan kepentingan yang tidak berbeda. Faktor-faktor inilah yang menurut penulis, yang pada akhirnya menjadi alibi utama mengapa OMS amat sulit membangun badan usaha.

Kapal Dagang Usaha
Uraian dan analisis peta ormas dan OMS di atas bukan berarti sebagai justifikasi, bahwa OMS tak perlu membuat badan usaha, karena adanya perbedaan basis massa, historisitas, ideologisasi, dan hierarki. Tetapi justru sebaliknya dan sudah seharusnya, hambatan itu dijadikan sebagai tantangan agar OMS memiliki badan usaha agar gerakan-gerakan yang dibangun dapat independen, otonom, dan mengakar.
Sebab faktanya, banyak OMS yang telah mampu membangun badan usaha, sehingga bisa menunjang kerja-kerja sosial lembaganya. Sebut saja LkiS Jogjakarta. LKiS ini awalnya hanya OMS yang mengkhususkan diri pada kajian diskursus/wacana tentang keislaman, demokrasi, agama, dan sosial. Dalam perkembangannya, LKiS mampu membangun suatu fund rising melalui penerbitan yang komersil. Sehingga, pada akhirnya LKiS juga dikenal sebagai penerbit buku yang menerbitkan buku-buku berkualitas. Hal sama dilakukan oleh LP3ES. Selain sebagai lembaga kajian dan riset ilmiah, kini LP3ES juga dikenal sebagai penerbit buku-buku berkualitas.
Dalam merintis fund rising atau badan usaha, ada dua model, dari beberapa langkah yang bisa dilakukan OMS di Bojonegoro dan sekitarnya. Pertama, dengan mendirikan ”kapal dagang” yang irama gerakannya mungkin berbeda dengan paradigma atau garis gerakan OMS yang mengindukinya. Kapal dagang OMS ini dapat berorientasi pada sisi komersil dan profit, tetapi tetap mengedepankan paradigma OMS yang menjunjung tinggi nilai-nilai transparansi, demokrasi, dan akuntabilitas dalam praksisnya.
Kedua, badan usaha OMS bisa dibangun dengan melakukan kerja-kerja konsultatif yang tidak jauh-jauh dari nilai-nilai gerakan yang dibangun OMS dimaksud. Misalnya, OMS di bidang pendidikan, bisa saja mendirikan badan usaha yang mengarah pada pelatihan-pelatihan yang mengarah pada capacity building (penguatan kapasitas). Tetapi, model ini dibangun dalam kerangka komersil dan profit. Menurut penulis, model ini lebih elegan, daripada membuat badan usaha melalui kerja-kerja politik-pragmatis yang justru sangat kontraproduktif dengan nilai-nilai yang diperjuangkan.
Di luar dua model di atas, peran pemda dalam memfasilitasi agar OMS tidak bergantung dan terlalu ”menyusu” pada APBD mutlak dilakukan. Selain bisa dilakukan dengan cara menyelenggarakan pelatihan entrepreneurship yang dapat membuka cakrawala baru bagi pegiat OMS, pemda juga bisa memberikan akses yang luas kepada OMS untuk berkiprah di ranah praksis. Namun, semua itu harus tetap dibingkai dalam ranah-ranah transparan, akuntabel, dan demokratis. (*)

Bawah Titian, 18 Februari 2011

*) Tayang di Majalah GEMA, Edisi 05/Th II/Jan-Feb/2011

No comments:

Post a Comment