Tuesday, May 31, 2011

Mengurai Konflik Indonesia-Malaysia, Meretas Komunikasi Lintas Budaya (Sebuah Tinjauan Komunikasi Sosial Budaya)

Hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia, seolah seperti ditakdirkan untuk tidak pernah ”ketemu”, semenjak pasca 1965 hingga sekarang. Beragam peristiwa budaya acapkali memantik perseteruan kedua bangsa yang sebenarnya dilahirkan dalam rahim yang sama tersebut: Melayu. Dalam era modern, Indonesia sempat digegerkan dengan klaim Negeri Jiran yang mengatakan batik adalah budaya asli Malaysia. Indonesia sempat dibuat kalang kabut dengan klaim tersebut. Atas klaim itu, Indonesia akhirnya melakukan berbagai upaya diplomatik internasional, sehingga hasil akhirnya Unesco (badan PBB yang mengurusi budaya) memutuskan bahwa batik adalah budaya asli Indonesia pada pertengahan 2010 lalu.
Hubungan bilateral antara Indonesia dengan Malaysia berkaitan dengan warisan budaya juga sempat memanas pada 2008. Khususnya saat Malaysia mencoba kembali mengklaim bahwa kesenian/budaya reog Ponorogo diklaim pemerintah Malaysia sebagai kesenian Malaysia. Tentu kita cukup masyghul, bagaimana mungkin, --sebagaimana ditulis Prof. Dr. Sam Abede Pareno dalam opini di Harian Jawa Pos (Edisi 4 Desember 2008), bahwa kesenian itu jelas-jelas ada embel-embel Ponorogo, yang merupakan salah satu wilayah kabupaten di Jawa Timur, Indonesia, bisa-bisanya diklaim sebagai kesenian Malaysia.
Jauh sebelumnya, persisnya kisaran tahun 2002-2003, Indonesia pernah bersinggungan juga dengan Malaysia. Tetapi, tidak berkaitan dengan budaya, melainkan tentang batas-batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Khususnya berkaitan dengan Pulau Sipidan dan Ligatan. Perselisihan hukum internasional mengenai batas-batas teritorial tersebut akhirnya dimenangkan Malaysia, saat kasus itu diputus oleh Mahkamah Internasional. Rangkaian peristiwa-peristiwa di atas cukup menggambarkan betapa hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia, sebenarnya sudah ramai sejak dulu. Persisnya dimulai pada saat Presiden Pertama RI Soekarno pada 1967 melakukan konfrontasi dengan Malaysia, dengan slogannya yang begitu amat masyhur, Ganyang Malaysia. Kenapa perseteruan kedua bangsa yang sebenarnya satu rumpun tersebut acapkali terjadi? Tulisan ini mencoba bermaksud untuk mengkajinya dalam perspektif Ilmu Komunikasi Sosial Budaya atau Komunikasi Lintas Budaya.

Perbedaan Persepsi
Dalam khazanah Ilmu Komunikasi dijelaskan, Komunikasi adalah proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan yang tidak saja dilakukan secara lisan dan tertulis, melainkan melalui bahasa tubuh, atau gaya atau tampilan pribadi, atau hal-hal lain di sekelilingnya yang memperjelas makna. Sedangkan Sosial Budaya ialah budi (moral dan wawasan) serta daya (perilaku dan kemampuan) masyarakat yang setiap masyarakat (komunitas) memiliki budi dan daya masing-masing. Sosial budaya ini dikenal sebagai suatu kebudayaan dan kebudayaan tecermin pada adat, bahasa, kebiasaan, norma yang berlaku dalam masyarakat (bangsa) tertentu.
Dengan demikian, komunikasi sosial budaya adalah komunikasi yang berlangsung di antara mereka yang berbeda latar belakang kebudayaannya. Komunikasi ini melintasi batas-batas kebudayaan suatu masyarakat, suku, ataupun bangsa. Karena itu, setiap kita yang melakukan komunikasi sosial budaya, harus memahami terlebih dahulu kebudayaan komunikator atau sebaliknya kebudayaan komunikan. Salah satu unsur menonjol dari kebudayaan yang harus dipahami ialah bahasa dan juga etika (sopan santun).
Sebuah bangunan komunikasi tak akan tercipta atau menjadi komunikasi yang efektif apabila terjadi hambatan (noice). Gangguan atau kendala yang acapkali terjadi dalam komunikasi sosial budaya kebanyakan berupa perbedaan bahasa, perbedaan persepsi, dan perbedaan simbolik. Sebab, sebagaimana hipotesis yang ada, kian besar derajat perbedaan antarbudaya suatu komponen komunikasi, akan semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif.
Hipotesis tersebut sesuai dengan pendapat De Vito (1997, dalam Alo Liliweri 2009) yang menggolongkan tiga macam gangguan komunikasi. Yaitu, Pertama, fisik berupa intervensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain, misalnya desingan mobil yang lewat. Kedua, psikologis, berupa intervensi kognitif atau mental, misalnya prasangka dan bias pada sumber penerima pikiran yang sempit. Ketiga, Semantik, berupa pembicara dan pendengar memberi arti yang berlainan, misalnya orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, menggunakan jargon atau istilah yang terlalu rumit yang tidak dipahami pendengar. Namun, dalam perspektif komunikasi sosial budaya, gangguan psikologis dan juga semantik lebih menonjol. Oleh karena itu, bila kita melakukan komunikasi sosial budaya, maka kita harus memahami psikologi dan semantik mitra komunikasi kita.
Dalam contoh kasus di atas, yaitu memanasnya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia yang terus menegang dari tahun ke tahun, apabila diteliti lebih jauh, sebenarnya mulai menunjukkan betapa telah ada suatu gangguan komunikasi di antara kedua belah pihak. Perbedaan pemaknaan yang hingga pada akhirnya membuahkan gangguan atau bahkan konflik tersebut adalah berupa perbedaan bahasa, perbedaan persepsi, dan perbedaan simbolik.
Pada sisi perbedaan persepsi, terjadi ketidaksamaan pemahaman/anggapan di antara Indonesia dengan Malaysia, khususnya di dalam memahami identitas kesenian yang meskipun akarnya sama-sama dari Melayu. Dalam kasus konflik ini, sebagaimana dicontohkan oleh Prof. Dr. Sam Abede Pareno adalah kesenian reog Ponorogo. Bisa jadi, Malaysia melihat, --sehingga muncul klaim, bahwa kesenian reog Ponorogo dari sisi asal muasalnya, yakni Melayu. Sehingga, Malaysia merasa benar kalau kemudian akhirnya mengklaim kesenian reog Ponorogo adalah juga miliknya, karena Malaysia satu ras dengan Indonesia dalam rumpun bangsa Melayu.
Di sisi lain, persepsi rakyat Indonesia juga berbeda. Indonesia menganggap kesenian reog Ponorogo adalah kesenian asli Indonesia, bukan dalam konteks serumpun akar bangsa Melayu. Sebab, dengan penyertaan nama Ponorogo dalam kesenian tersebut sudah menunjukkan lokalitas asal muasalnya, yaitu Jawa Timur, Indonesia. Sehingga Indonesia pun bersikukuh, klaim Malaysia tersebut justru menguburkan makna dan substansi dari Melayu itu sendiri. Perbedaan persepsi dalam memahami kesenian inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik diplomatik kedua negara. Bagaimana dengan perbedaan simbolik dan bahasa di antara kedua negara tersebut? Tampaknya tidak sampai menimbulkan gesekan. Sejauh ini, menurut penulis, yang dominan menimbulkan ketegangan lebih karena adanya perbedaan persepsi dalam memaknai akar kebudayaan atau kesenian, --dalam hal ini reog Ponorogo, batik, itu sendiri.

Pendekatan Dialog Kultural
Lantas, apa yang harus dilakukan kedua belah pihak, Indonesia dan Malaysia, agar ketegangan serupa tidak terulang di kemudian hari? Dalam perspektif Komunikasi Sosial Budaya, ada beragam pendekatan yang bisa dilakukan untuk membangun jembatan komunikasi lintas budaya kedua negara. Alo Liliweri (2009) mencantumkan beberapa pendekatan komunikasi antarbudaya. Yaitu, pendekatan psikologi sosial, pendekatan interpretatif, pendekatan kritis, pendekatan dialektikal, pendekatan dialog kultural, dan pendekatan kritik budaya.
Dari enam pendekatan ini, merujuk kasus klaim kesenian Indonesia dan Malaysia,
rupa-rupanya pendekatan dialog kultural yang paling pas. Pendekatan ini lebih sering disebut juga sebagai madzhab yang menekankan pada isu-isu internasionalisme dan humanisme. Kedua belah pihak perlu melakukan diskusi dan dialog bersama dengan berangkat dari persamaan akar budaya, yaitu Melayu. Kedua belah pihak perlu sama-sama memahami dan menyadari bahwa reog dan batik juga berkembang dengan pesat di kedua negara.
Karena itu, dalam konteks ini, penulis sepakat dengan apa yang dipaparkan Prof. Sam Abede Pareno bahwa biarlah reog, batik, serimpi, serapang dua belas dan lain-lain itu menjadi milik kita yang pernah atau tetap disebut ”Melayu”, sehingga di kemudian hari tidak ada ketegangan lagi. Biarlah pula wayang kulit dan wayang orang yang sudah berkembang di Malaysia, terutama di Johor Bahru tersebut, menjadi milik kita semua: rumpun bangsa Melayu. Sebab, klaim dan patenisasi bukan ranah kebudayaan, melainkan ranah politik. Dan yang terpenting adalah, sebagaimana disebutkan dalam pendekatan dialog kultural, kedua negara harus sama-sama berkomitmen memberikan kontribusi keilmuannya, budayanya, keseniannya untuk meningkatkan pemahaman tentang dunia.
Di luar pendekatan dialog kultural, untuk mengurangi ketegangan hubungan kedua negara, pendekatan Teori Negosiasi Identitas yang dirumuskan Stella Ting-Toomey, juga bisa dijadikan sebagai rujukan. Menurut teori ini, identitas suatu bangsa, dalam kasus ini Indonesia dan Melayu, dinegoisasi saat berinteraksi dengan negara-negara lain, terutama dalam berbagai budayanya. Sebab, identitas selalu dihasilkan dari interaksi sosial. Identitas atau gambaran diri, dibentuk melalui proses negoisasi ketika suatu bangsa menyatakan, memodifikasi, atau menantang identifikasi diri sendiri atau orang lain. Identitas etnik dan kebudayaan ditandai oleh nilai isi (value content) dan ciri khas (salience). Value content ini dalam ranah praksisnya mempengaruhi anggotanya agar menilai komunitas atau kelompok, termasuk bangsa, lain.
Oleh karena itu, untuk membentuk masyarakat ”Melayu” yang harmonis dan rukun di kemudian hari, diperlukan suatu bangunan komunikasi yang mampu menjadi sarana hubungan yang setara di antara berbagai bangsa. Menurut Stella Ting-Toomey, perlu dibangun sebuah komunikasi yang fokus pada identitas etnik dan kebudayaan, terutama negoisasi yang terjadi ketika berkomunikasi di dalam dan di antara kelompok-kelompok kebudayaan lainnya.
Identitas-identitas yang dibentuk dalam komunikasi tersebut juga harus dari berbagai latar kebudayaan. Individu etnis maupun antarbangsa, yang hidup dalam tatanan dunia multikultural harus mampu melakukan bikulturalisme fungsional (berganti dari satu konteks budaya ke budaya yang lainnya dengan sadar dan mudah). Jika hal itu dilakukan, maka kita mencapai keadaan pengubah kebudayaan (cultural transformer). Untuk mencapai derajat tersebut, pemimpin kedua negara (Indonesia dan Malaysia) harus mempunyai jiwa lintas budaya (intercultural competence), lintas etnis, dan agama yang terdiri atas tiga komponen. Yaitu, pengetahuan (knowledge), kesadaran (mindfulness), dan kemampuan (skill).
Pengetahuan mencakup tentang pemahaman pentingnya identitas etnik, kebudayaan, agama dan bangsa. Kemampuan melihat apa yang penting bagi orang lain. Sedangkan kesadaran secara sederhana berarti menyadari pentingnya menghormati identitas etnik dan bangsa lain. Menyadari adanya penggunaan perspektif baru. Serta, kemampuan mengacu kepada kemampuan untuk menegoisasi identitas melalui observasi yang diteliti, menyimak, empati, kepekaan nonverbal, kesopanan, dan sebagainya. (*)

*) Tugas Mata Kuliah Komunikasi Sosial Budaya

GENCARNYA PEMBERITAAN VIDEO ASUSILA DI MEDIA MASSA (DALAM KAJIAN FILSAFAT KOMUNIKASI)

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam beberapa pekan terakhir ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan terkuaknya sekaligus beredarnya tayangan video asusila yang pelakunya mirip dengan artis papan atas Indonesia, yaitu mantan vokalis group band papan atas Ariel Peterpan, dengan dua presenter kondang tanah air, yaitu Luna Maya, dan Cut Tari. Dengan cepat, ”bocornya” tayangan video asusila ini menyebar ke segenap penjuru. Di mana-mana orang, tua maupun muda, lelaki dan perempuan, banyak mengunduh tayangan tersebut di media internet. Tayangan tersebut lantas dikoleksi oleh sebagian besar masyarakat baik di telepon genggam (HP) maupun dikemas dalam kepingan VCD maupun DVD.
Beredar luasnya tayangan video asusila itu juga langsung memantik respons sebagian masyarakat untuk memburu, menggandakan, sekaligus memperjualbelikan VCD/DVD yang berisi gambar-gambar adegan dan cuplikan video asusila tersebut secara bebas di pasaran. Ironisnya, DVD dan VCD yang memuat tayangan video asusila itu laku keras di pasaran. (Kompas, 15 Juni 2010). Bahkan, bukan hanya di dalam negeri, di luar negeri pun efek peredaran video asusila juga sangat terasa. Sebuah koran cukup ternama di Afrika Selatan, yang ketika itu sedang disibukkan menjadi host (tuan rumah) World Cup (Piala Dunia) 2010, ikut-ikutan menurunkan berita tentang beredarnya tayangan video dengan pelaku mirip artis papan atas Indonesia tersebut. Bahkan, efek dari beredarnya tayangan video asusila dengan pelaku mirip artis papan atas tersebut bersaing dengan berita skandal perselingkuhan yang melibatkan pejabat teras di Afrika Selatan. (Jawa Pos, 16 Juni 2010)
Beredarnya tayangan video tersebut juga disambut dengan gegap gempita oleh media massa di Indonesia, khususnya media massa televisi lewat tayangan-tayangan infotainment, dan media cetak hiburan. Hampir setiap waktu, mulai pagi, siang, sore, hingga malam hari, selama tiga pekan terakhir (Juni 2010) ini, infotainment media televisi berlomba-lomba memberitakan beredar luasnya tayangan video asusila itu. Seolah-olah, sudah tidak ada lagi batas-batas antara ruang private dengan ruang publik. Tayangan video asusila yang seharusnya hanya menjadi konsumsi kalangan terbatas tersebut berubah menjadi konsumsi publik, yang tidak hanya ditonton oleh masyarakat dewasa, tetapi juga oleh anak-anak yang dalam konteks tertentu dianggap belum waktunya untuk menerima informasi secara vulgar tersebut. Akan tetapi, yang terjadi pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak begitu diabaikan. Bagi awak media massa televisi, berita tersebut layak untuk ditampilkan karena dari sisi bobot berita, perkembangan kasus video asusila tersebut sangat ditunggu-tunggu kehadirannya oleh masyarakat. Media televisi berasumsi, semakin tinggi tingkat kepenasaranan publik terhadap sebuah tayangan, semakin tinggi pula ratingnya. Semakin tinggi rating yang didapat, semakin banyak pemasukan iklan, yang berarti semakin menggunung pula pendapatan (uang) yang akan didapat.
Gencarnya pemberitaan tentang beredarnya tayangan video asusila tersebut juga mulai memunculkan dampak negatif. Efek dari beredarnya tayangan video asusila itu bahkan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan seksual dengan korban anak di bawah umur, sebagaimana yang terjadi di Bojonegoro, belum lama ini. Kepada polisi yang menangani perkaranya tersebut, tersangka mengaku melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak SD beberapa saat setelah melihat tayangan asusila dengan pelaku mirip artis papan atas tersebut di atas. (Radar Bojonegoro, 16 Juni 2010).
Terlepas kasus itu tidak dapat dijadikan sebagai generalisasi efek ataupun dampaknya secara langsung, yang jelas pada titik ini efek konatif atau behavioral komunikasi, meskipun sebagian besar efeknya cenderung ke arah yang negatif, telah berlangsung. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mengapa media massa, khususnya media televisi melalui tayangan infotainment-nya, sedemikian gencar memberitakan beredarnya tayangan video asusila yang pelakunya mirip dengan artis papan atas tanah air? Apakah gencarnya pemberitaan itu sudah mempertimbangkan aspek-aspek yang menjadi landasan dalam filsafat komunikasi? Dan bagaimana sebaiknya media televisi bersikap dan bertindak kalau menghadapi berita yang serupa? Makalah ini akan mencoba mengkaji permasalahan di atas dari sudut pandang filsafat komunikasi.

BAB II
KAJIAN TEORI

Secara elementer, komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain atau oleh seorang komunikator kepada komunikan/komunikate. Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek, yaitu isi pesan (the content of the message) dan lambang (symbol). Isi pesan adalah pikiran, tetapi ada kalanya juga perasaan, dan lambang umumnya adalah bahasa. Lambang bisa dipahami dengan verbal, nonverbal, vokal, dan nonvokal, serta visual (gambar).
Dalam hubungannya komunikasi dengan proses filsafat komunikasi, Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss dalam bukunya yang berjudul Theories of Human Communication, membagi proses filsafat komunikasi menjadi empat tema. Yaitu, epistemology (pertanyaan mengenai pengetahuan), ontology (pertanyaan mengenai eksistensi), dan axiology (pertanyaan mengenai nilai-nilai). Menurut Littlejohn, proses berfikir, bertindak, dan berkomunikasi yang menggunakan landasan-landasan yang filosofis membawa kepada pemahaman, dan pemahaman tersebut akan membawa kepada tindakan yang lebih layak dan manusiawi. (Littlejohn: 2009)

a. Aspek Epistemologi
Adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Metode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang dan mapan, sistematis dan logis.
Epistemologi juga bersangkutan dengan metode dan prosedur dalam menguji dugaan-dugaan sementara. Serta, mengkaji instrumen dan teknik dalam rangka melakukan verifikasi sebagai penilaian yang objektif.

b. Aspek Ontologi
Adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui keberadaannya. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial. Menurut Littlejohn, ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi, ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.
Menurut Onong, ontologi adalah cabang filsafat mengenai sifat wujud (nature of being) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial, ontologi terkait dengan sifat interaksi sosial. Tema ontologi mencakup cara mengkonseptualisasikan komunikasi bergantung pada bagaimana pandangannya terhadap komunikator. (Onong: 2003)

c. Aspek Aksiologi
Adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, logika atau agama. Littlejohn menyebutkan bahwa aksiologi merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (nilai-nilai). Mengenai nilai-nilai ini, dalam tema aksiologi ada tiga persoalan. Pertama, apakah pengetahuan itu bebas nilai. Kedua, sejauh mana pengaruh praktik penyelidikan terhadap objek yang dipelajari, dan yang ketiga, sejauh mana pengetahuan berupaya mencapai perubahan sosial.
Dari tiga persoalan di atas, pada tema aksiologi terdapat dua posisi umum. Yaitu, pertama, ilmu yang sadar nilai (value conscious) mengakui pentingnya nilai bagi penelitian dan teori dan secara bersama berupaya mengarahkan nilai-nilai itu kepada tujuan positif. Kedua, ilmu yang bernilai netral (value-neutral) percaya bahwa ilmu menjauhkan diri dari nilai-nilai, atau dengan kata lain ilmu itu bebas nilai.

Di luar tiga aspek di atas paham filosofis yang banyak menginspirasi perkembangan pemikiran hingga saat ini, khususnya dalam ilmu komunikasi adalah ethos, pathos, dan logos. Paham ini dengan tokoh sentral Plato dan Aristoteles. Ethos, terkait dengan rambu-rambu normatif, sumber kepercayaan atau kompeten; pathos, terkait dengan unsur afeksi, emosi/rasa dalam diri manusia, atau kemampuan dalam membangkitkan semangat/rasa; logos, terkait pertimbangan-pertimbangan nalar dan rasional dalam pengambilan keputusan. Komponen penting lain dari filsafat adalah etika, logika, dan estetika. Komponen-komponen ini akan bersinergi satu sama lainnya dengan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi, sehingga melahirkan poros berfikir filsafat. Artinya, sebuah tindakan dapat dianggap mencerminkan poros berfikir filsafat selama mencerminkan aspek-aspek dan komponen di atas.

BAB III
PEMBAHASAN

Sebagaimana disinggung dalam Bab II, suatu proses komunikasi dapat dianggap telah berlandaskan filosofis kalau mengacu pada landasan-landasan atau aspek filosofis. Aspek filosofis sendiri ada tiga, yaitu epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Masih ada hubungannya dengan kerangka berfikir dan berkomunikasi secara filsafati adalah ethos, pathos, dan logos, serta logika, etika, dan estetika. Baiklah mari kita kaji satu per satu, apakah gencarnya pemberitaan tayangan video asusila tersebut sudah cukup mempertimbangkan aspek-aspek filsafat komunikasi atau belum.

a. Aspek Epistemologi
Adalah menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan yang bersangkutan dengan kriteria penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi adalah cara bagaimana pengetahuan disusun. Epistemologi juga bersangkutan dengan metode dalam menguji dugaan-dugaan sementara. Serta, mengkaji instrumen dan teknik dalam rangka memverifikasi sebagai penilaian yang objektif. Dalam pemberitaan kunci utamanya adalah fakta, kejadian nyata. Namun, dalam ranah jurnalistik juga dikenal dengan istilah news value (nilai-nilai berita). Selain faktual, news value yang lainnya adalah aktual, menarik, penting, serta menarik. (Romli: 2002)
Dalam hubungannya dengan pemberitaan video asusila oleh media massa (sebagai komunikator), bila dilihat dari sisi unsur menarik, berangkali ada. Namun, apakah berita itu fakta, ini yang masih menjadi perdebatan, karena masih membutuhkan verifikasi untuk bisa mendapatkan penilaian yang objektif. Dan faktanya, kajian instrumen dan teknik dalam memverifikasi data belum ada, tetapi pemberitaannya sudah gencar, sehingga ada kesan pelaku memang sebagaimana yang dituduhkan (meski pembuktian harus melalui lembaga penegak hukum).

b. Aspek Ontologi
Adalah berkaitan dengan sifat (wujud) atau keberadaannya dalam interaksi sosial. Dalam hubungannya dengan pemberitaan video asusila di atas adalah bagaimana keberadaan media massa, dalam hal ini televisi di ruang publik. Keberadaan berita di ranah publik dalam interaksi sosial adalah untuk menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), dan untuk mempengaruhi (to influence).
Mengacu pada contoh kasus di atas, dari sisi mendidik, khususnya apabila kita menggunakan pendekatan efek prososial sebagaimana digagas oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi, maka gencarnya tayangan video asusila tidak dapat dikatakan sebagai to educate. Faktanya, implikasi dari berita tersebut gencar di ranah publik membuat sebagian masyarakat terobsesi untuk bertindak kekerasan seksual, sebagaimana yang diungkapkan dalam Bab I di atas. Dilihat dari sisi menginformasikan, benar ada, tetapi implikasinya tidak prososial. Begitu pula dari aspek menghibur, serta mempengaruhi, keberadaannya justru tak mencerminkan ketertiban sosial. Jadi, dalam kajian atau ranah ontologi gencarnya pemberitaan tentang tayangan video asusila tidak terpenuhi.

c. Aspek Aksiologi
Adalah yang berkaitan dengan nilai-nilai dari pengetahuan tersebut. Selain nilai, aspek lain yang masuk dalam kajian aksiologi adalah logika, etika, estetika, atau agama. Dari kajian ini, dilihat dari aspek logika, sebagaimana dikutip oleh Onong Uchyana Effendy dari tulisan A. Ridwan Halim yang dimuat di majalah Optimis Nomor 42, pemberitaan bertujuan untuk mencari kebenaran, nilainya antara benar dan salah. Tetapi faktanya, gencarnya pemberitaan sudah seperti justifikasi bahwa pelakunya adalah artis yang dimaksud, meski kebenarannya belum terbukti. Hal ini ditandai dengan penyebutan nama artis dimaksud, tanpa mempertimbangkan asas hukum seperti praduga tak bersalah.
Dari aspek etika, tujuannya adalah untuk mencari kecocokan, dengan ukuran nilai baik atau buruk. Faktanya, dari etika, gencarnya pemberitaan tak terpenuhi, karena kurang mempertimbangkan efek dan dampak yang ditimbulkan bagi komunikan/ komunikate, khususnya anak-anak yang belum waktunya mengkonsumsi berita dengan model seperti itu. Kejadian kekerasan seksual dengan korban anak-anak di Bojonegoro sebagaimana disinggung di Bab I adalah salah satu buktinya.
Sedangkan dari sisi estetika, tujuannya adalah mencari keindahan, dengan nilai-nilai indah dan jelek. Faktanya, gencarnya pemberitaan mengenai video asusila, terkesan vulgar, terlalu menyudutkan, dan tidak mengindahkan atau menggunakan kaidah bahasa yang baik dan benar. Apalagi kalau dilihat dari sisi agama, jelas hal itu bertentangan karena sudah menaruh prasangka buruk kepada orang lain yang prasangkanya tidak disertai dengan bukti-bukti formal, semisal saksi atau pengakuan langsung dari pelakunya. Sehingga, gencarnya penayangan video asusila dengan pelaku mirip artis papan atas, dikaji dalam ranah aksiologi dengan mengacu aspek, logika, etika, estetika, sekaligus agama juga tidak dapat dibenarkan.

d. Aspek Ethos, Pathos, dan Logos
Dilihat dari aspek yang lain, seperti ethos, pathos, dan logos, gencarnya berita soal video asusila, juga belum berkelindan. Dari sisi ethos, media massa televisi sudah mengabaikan rambu-rambu normatif yang berkembang di masyarakat, baik dari sisi hukum legal formal negara maupun norma atau aturan-aturan sosial. Selain itu, pada ranah sumber kepercayaan atau kompetensi yang juga menjadi sentral kajian aspek ethos, tidak terpenuhi juga karena dalam penayangannya media televisi, khususnya yang dikemas dalam program infotainment, tidak mencerminkan prinsip-prinsip cover both side (keberimbangan dalam penayangan berita yang ditandai dengan tercovernya dua pihak yang terkait dengan berita).
Dari sisi pathos, yakni yang berkaitan dengan unsur afeksi, kemampuan membangkitkan semangat/rasa, efek pemberitaan tersebut cenderung lebih banyak mengarah kepada hal-hal yang berbau negatif. Komunikan/komunikate seolah digiring untuk mempunyai rasa kepenasaranan, kecewa, sedih, saat menangkap atau mencerna pemberitaan tersebut. Sedangkan dari aspek logos, yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan nalar maupun rasional di dalam pengambilan keputusan untuk penayangan berita tentang video syur, juga tidak rasional. Sebab, penayangan juga dilakukan pada jam-jam atau waktu (jam favorit) di saat anak-anak masih terjaga.
Komunikator, dalam hal ini media televisi, kurang mempunyai pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang rasional, khususnya yang berkaitan dengan dampak yang mungkin terjadi apabila berita tersebut ditayangkan secara terus menerus. Dengan demikian, aspek logos juga teramat penting untuk menjadi bahan pertimbangan komunikator agar proses komunikasinya dianggap mampu memberikan manfaat, sebagaimana yang digambarkan oleh Jalaluddin Rakhmat sebagai efek prososial dari media massa.

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan kajian sebagaimana dipaparkan di atas, gencarnya pemberitaan video asusila di media massa, apabila dikaji dalam wilayah filsafat komunikasi, yang terdiri dari aspek epistemologi, ontologi, dan aksiologi, serta komponen lain seperti logika, etika, estetika, serta ethos, pathos, dan logos, tidak memenuhi unsur-unsur atau aspek-aspek yang menjadi domain filsafat. Yang terjadi justru media massa lebih mempertimbangkan cara berfikir yang pragmatis, dengan indikasi mengejar rating, menambah iklan dan pemasukan, dari gencarnya pemberitaan tentang beredarnya tayangan video asusila. Media massa dalam mengambil keputusan soal pemberitaan beredarnya video asisula tersebut tidak berlandaskan cara berfikir dan bertindak filosofis.
Oleh karena itu, ada beberapa masukan agar bagaimana baiknya media massa menyikapi kasus-kasus semacam itu. Pertama, hendaknya media massa, secara khusus televisi, selektif dalam memilih jam tayang program acara yang hendak ditayangkan, karena bila tidak anak-anak akan terkena dampak dari program tersebut. Kedua, hendaknya media televisi tidak hanya mengejar rating dan iklan dalam pembuatan programnya, namun juga mempertimbangkan dampak negatif yang akan ditimbulkan dari gencarnya pemberitaan tersebut terhadap masyarakat secara lebih luas. Ketiga, dalam penayangan berita tentang kasus-kasus serupa, hendaknya media massa televisi, khususnya program infotainment, mengacu pada standar-standar resmi jurnalistik, agar pemberitaan yang disampaikan tidak ada kesan bias, dan menjadi penghakiman terhadap objek dan subjek berita.
Bila hal-hal sebagaimana dijabarkan dalam Bab II dan Bab III tersebut dijalankan, maka keberadaan berita di ranah publik dalam proses interaksi sosial, yang ditayangkan oleh media massa televisi, akan menemukan tujuannya. Yaitu,
menginformasikan (to inform) yang benar, mendidik (to educate) dengan baik, menghibur (to entertain) yang tidak menyesatkan, dan untuk mempengaruhi (to influence) menuju perubahan yang lebih baik. Hal ini selaras dengan tujuan dari filsafat, termasuk filsafat komunikasi itu sendiri, yang mendorong seseorang untuk mencari kebenaran, baik hubungannya dengan sesama manusia, dengan Tuhan, dan dengan alam. (*)


DAFTAR PUSTAKA


Little John., Stephen W., dan Karen A. Foss, 2009, Theories of Human Communication, Edisi Sembilan, Salemba Humanika, Jakarta.
Muhtadi, Asep Saeful, 1999, Jurnalistik: Pendekatan Teoritis dan Praktis, Logos, Jakarta.
Rakhmat, Jalaluddin, 2005, Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.
Romli, Asep Syamsul M., 2003, Jurnalistik Terapan: Pedoman Kewartawanan dan Kepenulisan, Batic Press, Bandung
Tankard Jr, James W., dan Severin, J. Werner, 2005, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Prenada Media, Jakarta.
Uchjana, Effendy Onong, 2003, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sumber Lain :
Makalah Kuliah Filsafat Komunikasi, Oleh Prof. Dr. Asep S. Muhtadi, Tanggal 24-25 April dan 23-24 Mei 2010.
Surat Kabar Harian Jawa Pos, Edisi 16 Juni 2010.
Surat Kabar Harian Kompas, Edisi 15 Juni 2010.
Surat Kabar Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group), Edisi 11 Juni 2010.

*) Tugas Makalah Filsafat Komunikasi

PENGARUH GENCARNYA PEMBERITAAN VIDEO ASUSILA DI MEDIA MASSA TERHADAP PERILAKU MASYARAKAT (KAJIAN PSIKOLOGI KOMUNIKASI)

BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan media massa, khususnya media televisi, di Indonesia akhir-akhir ini kian marak. Kehadiran televisi di mata sebagian besar masyarakat Indonesia memberikan nilai lebih dibanding dengan media massa lain seperti surat kabar, majalah, atau tabloid. Bagi masyarakat, televisi tidak hanya mampu memberikan informasi, berita, dan literasi yang selama ini diperankan oleh media massa cetak. Namun, televisi juga mampu menawarkan beragam program alternative lainnya, seperti hiburan, musik, bahkan infotainment yang dapat disaksikan atau dinikmati secara lebih cepat, dan langsung (live). Kecepatan dalam penyajian inilah yang tidak dapat dijawab oleh media massa cetak.
Karena begitu menggiurkannya prospek bisnis media televisi, berbagai kalangan dunia usaha berlomba-lomba untuk masuk ke area komunikasi massa itu untuk menjadikannya sebagai dunia industri. Dimulai dari RCTI, yang berdiri pada tahun 1989, selanjutnya berbagai televisi swasta terus bermunculan. Hingga tahun 2010, tercatat puluhan saluran televisi swasta yang berhimpun dalam holding company-nya masing-masing.
Di antaranya, MNC Group yang memiliki RCTI, Global TV, dan TPI. Kemudian, Trans Group dengan Trans TV dan Trans 7; Media Group, melalui Metro TV; Jawa Pos Group dengan JTV, MK TV, RTV Pekan Baru, Batam TV, dan SBO; serta yang terakhir adalah Bakri Group yang memiliki ANTV dan TV One, yang merupakan reinkarnasi dari stasiun televisi lama Lativi. Selain melebarkan segmentasi pangsa pasar dengan mendirikan banyak media massa televisi, holding company masing-masing group di atas juga melebarkan jaringan medianya dengan mendirikan atau membentuk media massa cetak, baik berupa surat kabar harian, majalah, maupun tabloid dengan beragam tema dan sasaran targetnya. Misalnya, Media Group yang mendirikan Media Indonesia; MNC yang memiliki Seputar Indonesia (SINDO); maupun Jawa Pos Group yang memiliki media cetak harian Jawa Pos dan jaringan Jawa Pos News Network (JPNN).
Semakin berjubelnya stasiun televisi swasta kian menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung menyukai budaya menonton televisi daripada membaca ataupun menulis. Ini dibuktikan dengan adanya survei Ac Nielsen di tahun 1999 bahwa, 61 % sampai 91 % masyarakat Indonesia suka menonton televisi. Hasil tersebut lebih lanjut menjelaskan, bahwa hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar di Indonesia lebih memilih menonton televisi setiap hari. Sedangkan 4 dari 10 orang lebih memilih atau lebih suka mendengarkan radio. (Media Indonesia: 19 November 1999)
Survei Ac Nielsen diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2006 yang memaparkan fakta bahwa, budaya membaca masyarakat Indonesia hanya 23,5 persen. Padahal, prasyarat terpenuhinya masyarakat literasi adalah bila budaya membaca berada di kisaran 80 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding menonton televisi yang mencapai 70 persen lebih. (BPS: 2006)
Menjamurnya stasiun televisi, pada satu sisi menggembirakan, karena alternatif hiburan untuk masyarakat menjadi semakin beragam. Sehingga, pemilik televisi dituntut untuk lebih selektif menciptakan program agar disukai dan diminati oleh masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain banyaknya stasiun televisi tersebut justru menciptakan kesamaan tema tayangan yang disajikan kepada masyarakat. Ironisnya, kesamaan tema program-program tersebut berdampak negatif terhadap kondisi psikis masyarakat, yang tidak saja berdampak terhadap moralitasnya, akan tetapi juga terimplementasi dalam tindakan/perilaku nyata.
Contoh yang terbaru adalah saat terkuak adanya video asusila yang pelakunya mirip artis papan atas. Seluruh stasiun televisi ramai-ramai memberitakannya, mem-blow up¬-nya secara besar-besaran berita tersebut. Sampai-sampai, sejak pagi hingga malam hari, berita itu terus ditayangkan, seolah ruang dan waktu pemirsa dijejali dengan tayangan-tayangan yang diformat dalam program infotainment tersebut. Pertanyaannya adalah seberapa besar dampak atau efek komunikasi pesan yang disampaikan oleh media massa televisi (komunikator) melalui pemberitaan tentang beredarnya video asusila tersebut terhadap masyarakat (komunikan/komunikate)? Inilah yang menarik untuk dikaji.


BAB II
KAJIAN TEORI

Komunikasi adalah proses pernyataan antarmanusia. Yang dinyatakan adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan memakai bahasa sebagai alat penyalurnya. Komunikasi juga mempunyai pemahaman proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikate (orang/pihak yang diajak komunikasi) dan komunikan (orang/pihak-pihak lain yang terlibat dalam komunikasi). Pesan dari komunikasi terdiri atas dua aspek. Pertama, isi pesan (the content of the message), dan kedua, lambang (symbol). Konkretnya, isi pesan komunikasi adalah pikiran atau perasaan, serta lambang lebih mempunyai makna ke dalam bahasa.
Proses komunikasi sendiri ada dua perspektif, yaitu perspektif psikologis dan perspektif mekanistis. Proses komunikasi perspektif psikologis menitikberatkan pada bagaimana proses penyampaian pesan tersebut terjadi pada diri komunikator dan atau komunikan/komunikate. Ketika seorang komunikator berniat menyampaikan sesuatu pesan kepada komunikan, maka dalam dirinya terjadi proses. Apabila komunikan mengerti atau memahami akan isi pesan atau pikiran komunikator, maka komunikasi di antara dua pihak telah terjadi. Namun sebaliknya, bila komunikan dan komunikate tidak mengerti terhadap pesan komunikasi yang disampaikan, maka komunikasi yang dimaksud tidak terjadi.
Sedangkan pada perspektif mekanistis, proses komunikasi berlangsung saat komunikator melemparkannya dengan bibir kalau lisan, atau tangan/visual/gambar apabila tulisan atau tayangan pesannya sampai ditangkap komunikan. Bila komunikannya adalah satu orang, maka disebut dengan komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi. Apabila komunikannya banyak, termasuk terdiri dari berbagai kelompok dan membutuhkan sarana atau media, maka komunikasi tersebut disebut dengan komunikasi massa. (Onong: 2003)
Dari sisi teoritis, model komunikasi dari Harold Lasswell dianggap oleh para pakar komunikasi sebagai salah satu teori komunikasi yang paling awal dalam perkemban gan teori komunikasi. Lasswell menyatakan, cara yang terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah menjawab pertanyaan: who says what in which channel to whom with what effect (siapa mengatakan apa melalui saluran apa kepada siapa dengan efek apa? Jawaban bagi pertanyaan paradigmatic Lasswell itu merupakan unsur-unsur proses komunikasi. Yaitu, communicator (komunikator), message (pesan), chanel (media), receiver (komunikan/komunikate/penerima), dan effect (efek). Teori ini kemudian dikenal dengan istilah S-M-C-R. Teori ini juga lazim digunakan oleh media massa, termasuk televisi, untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasinya.
Teori lain yang lazim digunakan untuk media massa adalah S-O-R Theory (Teori S-O-R). Teori yang merupakan singkatan dari stimulus-organism-respons ini berasal dari psikologi. Kalau kemudian menjadi teori komunikasi, tak mengherankan karena objek material dari psikologi dan ilmu komunikasi adalah sama, yaitu manusia yang jiwanya meliputi komponen-komponen: sikap, opini, perilaku, kognisi, afeksi, dan konatif/behavioral. Teori ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan stimulus respons. Menurut stimulus respons ini, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang bisa mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Jadi, unsur dalam model ini adalah: pesan (stimulus, S), komunikan (organism, O), dan efek (response, R).
Di sisi lain, dalam ranah ilmu komunikasi, khususnya komunikasi massa juga berkembang teori media. Awalnya, teori ini berkembang pada 1960 an. Namun, mengalami perkembangan yang sangat pesat pada tahun 1980 an dan 1990 an. Dalam bukunya yang berjudul Theories of Human Communication, Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss mengatakan, teori media adalah produksi media yang merespons terhadap berbagai perkembangan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat. Perkembangan itu cukup mempengaruhi perkembangan sosial. Adanya jenis media tertentu seperti televisi mempengaruhi bagaimana kita berpikir tentang dan merespons dunia. Sementara media bekerja dalam berbagai cara untuk segmen masyarakat yang berbeda, audiens, dalam hal ini komunikan dan komunikate tidak semuanya terpengaruh, akan tetapi mereka berinteraksi dalam cara yang khusus dengan media.
Littlejohn membagi teori media ini menjadi dua: teori media klasik dan teori media baru. Teori media klasik dikembangkan oleh Marshall McLuhan pada tahun 1960 an. Tesis McLuhan adalah, manusia beradaptasi terhadap lingkungan melalui keseimbangan atau rasio pemahaman tertentu dan media utama dari massa itu menghadirkan rasio pemahaman tertentu yang mempengaruhi persepsi. McLuhan memandang, setiap media sebagai sebuah perpanjangan pikiran manusia. Sedangkan teori media baru (the second media age) dikembangkan oleh Mark Poster pada tahun 1990. Titik fokus teori ini desentralisasi produksi, komunikasi dua arah, di luar kendali situasi, demokratisasi, serta mengangkat kesadaran individu, dan orientasi individu. (Littlejohn: 2009)
Dalam ranah praksisnya, teori-teori tentang pers juga mengalami dinamisasi. Severin dan Tankard membagi teori pers di era modern menjadi empat bagian. Yaitu, teori otoriter, liberal, tanggung jawab sosial, dan totaliter Soviet. Empat teori itu merupakan ”teori normative” yang berasal dari pengamatan, bukan dari hasil uji dan pembuatan hipotesis dengan menggunakan metode ilmu sosial. (Werner J. Severin, dan James W. Tankard Jr: 2005). Dan kebanyakan, media massa di Indonesia, lebih khususnya lagi media televisi, lebih mengadopsi teori liberal. Sehingga, dalam ranah praksisnya terkadang meniadakan pertimbangan-pertimbangan sosial, akan tetapi lebih bersifat penerapan paradigma positivistik.
Berkaitan dengan penyampaian pesan komunikasi, khususnya komunikator dari media massa kepada komunikannya, dianggap telah terjadi atau berlangsung bila menimbulkan dampak/efek atau pengaruh. Efek dari pesan yang disebarkan oleh komunikator melalui media massa tersebut timbul pada komunikan sebagai sasaran komunikasi. Oleh karena itu, efek yang melekat pada khalayak merupakan akibat dari perubahan psikologis. Efek komunikasi sendiri ada tiga macam, yaitu efek kognitif (cognitive effect), efek afektif (affective effect), dan efek konatif atau yang juga biasa disebut dengan efek behavioral (behavioral effect).

a. Efek Kognitif
Berhubungan dengan pikiran atau penalaran, sehingga khalayak yang semula tidak tahu, yang tadinya tidak mengerti, yang tadinya bingung menjadi merasa jelas setelah menerima pesan (message) yang disampaikan oleh komunikator. Contoh pesan komunikasi melalui media massa televisi yang menimbulkan efek kognitif antara lain berita, dialog, talkshow, dan lain-lain. Contoh lain dari pesan komunikasi adalah berita di media cetak, yang sebelumnya orang tidak mengerti tentang informasi yang berkembang, menjadi tahu.

b. Efek Afektif
Efek komunikasi afektif adalah efek komunikasi yang berhubungan dengan perasaan yang dirasakan, ataupun yang dialami oleh komunikan atau komunikate setelah menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator. Misalnya, akibat membaca surat kabar, mendengarkan radio, melihat televisi atau film di gedung bioskop, maka timbul perasaan-perasaan tertentu pada khalayak komunikan atau komunikate. Perasaan yang timbul pun juga bermacam-macam. Misalnya, sedih, senang, tertawa, kecewa, takut, penasaran dan lain-lain. Perasaan itu kemudian mempengaruhi kondisi kejiwaan manusia atau komunikan dan komunikate.

c. Efek Konatif/Behavioral
Efek komunikasi yang bersangkutan dengan niat, tekad, upaya, usaha/upaya, yang cenderung menjadi suatu tindakan atau kegiatan-kegiatan. Karena berbentuk perilaku, maka efek konatif sering juga disebut dengan efek behavioral. Efek konatif/behavioral tidak langsung timbul seketika sebagai akibat terpaan media massa. Melainkan, didahului oleh efek kognitif dan atau efek afektif yang telah berlangsung sebelumnya. Efek komunikasi ini sekaligus menjadi indikator atau tolok ukur keberhasilan dari proses penyampaian pesan komunikasi dari pihak komunikator kepada komunikan.

Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya Psikologi Komunikasi, menambahkan sisi prososial sebagai efek-efek lain dari komunikasi massa. Namun, efek prososial yang dimaksudkan oleh Jalaluddin Rakhmat tersebut lebih mengarah pada hal-hal yang bertujuan positif, memberi manfaat bagi penerima pesan komunikasi yang dimaksud tersebut. Efek prososial ini mencakup pada semua aspek, baik aspek kognitif, afektif, maupun konatif/behavioral.
Menurut Jalaluddin, media massa (televisi, radio, dan surat kabar) disebut telah memberi efek prososial bilamana mengabarkan atau memberi nila-nilai yang bermanfaat bagi atau yang dikehendaki masyarakat. Bila televisi memberi anda mengerti tentang Bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka televisi tersebut telah memberikan efek-efek prososial kognitif. Bila majalah memberitakan tentang penderitaan rakyat miskin dalam memperjuangkan hidup dan mencari makan di pedesaan, dan hati anda kemudian tergerak, maka media itu telah menghasilkan efek prososial afektif. Dan bila majalah atau suatu media massa membuka dompet peduli terhadap korban bencana alam, dan kita ikut tergerak untuk membantu para korban bencana alam tersebut, maka majalah atau media massa itu telah menghasilkan efek prososial behavioral. (Rakhmat: 2005)


BAB III
PEMBAHASAN

Sebagaimana telah dijabarkan dalam Bab II mengenai Kajian Teori, merujuk pada teori yang dikembangkan oleh Harold Lasswell, proses komunikasi itu terdiri atas communicator (komunikator), message (pesan), media/chanel (media), receiver (komunikan/ komunikate/penerima), dan effect (efek), atau S-M-C-R. Dalam hubungannya dengan gencarnya pemberitaan mengenai video asusila, pembahasannya dapat dijelaskan sebagai berikut. Comunikator adalah televisi, message diwakili oleh isi berita/pemberitaan, kemudian media/chanel-nya berupa program infotainment yang dimiliki oleh media massa televisi yang menyiarkannya, lalu receiver adalah penonton/komunikan/komunikate, dan effect-nya juga telah terpenuhi. Khusus soal efek komunikasi dari contoh di atas tersebut, akan diterangkan pada bagian akhir dari Bab III ini.
Apabila dilihat berdasarkan teori S-O-R, permasalahan mengenai gencarnya pemberitaan tentang tayangan video asusila juga dapat digambarkan secara jelas. Bahwa, pesan (stimulus, S) diidentikkan dengan berita atau pemberitaan tentang beredarnya tayangan video asusila. Sedangkan, komunikan (organism, O) dalam hal ini adalah khalayak/penonton yang menyaksikan berita tentang beredarnya tayangan video asusila tersebut. Sementara efek (response, R) dari gencarnya pemberitaan itu yang mencakup sisi kognitif, afektif, dan konatif/behavioral, akan dijelaskan dalam bagian lain di bab III ini.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa penyampaian pesan komunikasi, termasuk apabila komunikatornya berasal dari media massa (televisi), dianggap telah terjadi atau sudah berlangsung apabila menimbulkan dampak/efek atau pengaruh terhadap diri penerima (komunikator) pesan tersebut. Efek dari pesan yang disebarkan oleh komunikator melalui media massa timbul pada komunikan sebagai sasaran komunikasi. Efek komunikasi tersebut ada tiga macam, yaitu efek kognitif (cognitive effect), efek afektif (affective effect), dan efek konatif atau juga biasa disebut dengan efek behavioral (behavioral effect).
Mengacu fakta realitas yang ditayangkan oleh media massa televisi melalui gencarnya pemberitaan tentang video asusila dengan pelaku mirip artis sebagaimana disinggung di bagian akhir Bab I di atas, sejatinya telah terjadi atau memberikan efek-efek terhadap komunikan/komunikate, dalam hal ini adalah penonton secara umum, lebih khusus lagi kalangan pemuda. Efek tersebut tidak hanya terjadi pada sisi kognitif, melainkan juga afektif dan konatif/behavioral. Adapun mengenai efek dari proses komunikasi tersebut, berikut penjelasannya.

a. Efek Kognitif
Berhubungan dengan pikiran atau penalaran, jadi khalayak yang semula tidak tahu, yang tadinya tidak mengerti, menjadi tahu dan mengerti. Dalam kaitannya dengan contoh di atas, pemberitaan tentang beredarnya video asusila dengan pelaku mirip artis membuat pemirsa/masyarakat yang semula tidak tahu tentang beredarnya video asusila tersebut menjadi tahu. Yang semula tidak mengerti kalau seseorang yang disangka artis (yang bisa jadi merupakan artis idola komunikan) ternyata melakukan tindakan-tindakan asusila, sebagaimana yang digambarkan atau diberitakan. Dan tindakan tersebut telah menyebar secara luas melalui media massa televisi.
Kemengertian pemirsa atau masyarakat semakin tertanam dengan kuat, karena pemberitaan itu tidak hanya bersifat atau berlangsung sekali atau dua kali. Melainkan berulang-ulang. Tidak hanya di satu media massa saja, dalam hal ini televisi, melainkan juga diberitakan di media massa cetak, baik surat kabar, majalah, maupun tabloid. Fenomena ini dapat kita lihat, dimana-mana orang heboh membicarakan video asusila tersebut. Di titik inilah efek kognitif dari pemberitaan media massa terjadi.

b. Efek Afektif
Efek komunikasi media massa yang berhubungan dengan perasaan komunikan atau komunikate. Mengacu contoh kasus di atas, akibat membaca surat kabar atau tabloid yang gencar memberitakan video asusila dengan pelaku mirip artis, akibat
melihat televisi yang secara terus menerus memberitakan atau menayangkan video asusila tersebut, timbul perasaan tertentu pada komunikan/komunikate. Perasaan yang muncul dari gencarnya pemberitaan itu adalah rasa kepenasaranan, kecewa, sekaligus sedih pada diri komunikan/masyarakat pemirsa/pembaca.
Komunikan mengalami perasaan sedih sekaligus kecewa, karena bisa jadi mereka sangat menyayangkan mengapa artis (meski belum tentu pelakunya adalah artis yang dimaksud) yang dipuja sampai melakukan tindakan asusila dan beredar luas di masyarakat. Komunikan juga merasa penasaran, apakah benar pemeran dalam video tersebut adalah artis yang sedang populer tersebut. Komunikan juga mengalami kebingungan, kenapa (kalau memang benar pelakunya adalah artis yang diidolakan) tindakan tersebut dilakukan tidak hanya pada satu orang, namun juga artis yang lain. Di titik inilah efek afektif dari penyampaian pesan melalui tayangan berita oleh komunikator (televisi) telah terjadi.

c. Efek Konatif/Behavioral
Efek komunikasi media massa ketiga adalah bersangkutan dengan niat, tekad, upaya, usaha/upaya, yang cenderung menjadi suatu tindakan atau kegiatan dalam diri komunikan. Mengacu contoh di atas, jelaslah bahwa gencarnya pemberitaan terhadap beredarnya video asusila mirip artis telah mempengaruhi komunikan untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan kelanjutan dari dua proses efek sebelumnya. Jamak yang tahu bahwa di mana-mana orang penasaran dengan mencari, men-download di dunia internet, untuk mengkoleksi rekaman video dengan pelaku mirip artis tersebut.
Efek komunikasi behavioral tersebut juga telah terjadi, karena sejumlah orang mengambil celah bisnis, dengan menggandakan video asusila dengan pelaku mirip artis itu dalam jumlah yang banyak berupa VCD dan DVD. Bahkan, dampak luasnya lagi, DVD porno tayangan mirip artis papan atas Indonesia ini laku keras di pasaran di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. (Pojok Kompas, Edisi 15 Juni 2010)
Lebih ironis lagi, efek dari beredarnya tayangan video asusila dengan pelaku mirip artis papan atas tersebut telah mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan seksual dengan korban anak di bawah umur, sebagaimana yang terjadi di Bojonegoro, belum lama ini. Kepada polisi yang memeriksanya, tersangka pelaku kekerasan mengaku, bahwa dirinya tega melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak SD tersebut beberapa saat setelah melihat tayangan asusila dengan pelaku mirip artis, yang beredar luas akhir-akhir ini. Pada titik ini efek konatif atau behavioral dari proses komunikasi media massa tersebut, meskipun sebagian besar dari efeknya cenderung ke arah yang negatif, telah berlangsung. (Radar Bojonegoro, 16 Juni 2010)



BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Dari pembahasan Bab III di atas, dapat disimpulkan gencarnya pemberitaan tentang beredarnya tayangan video asusila dengan pelaku mirip artis tersebut, telah memberikan efek kognitif, afektif, dan konatif/behavioral. Efek kognitifnya dapat dilihat dari banyaknya orang yang tahu mengenai beredarnya tayangan tersebut. Efek afektifnya dapat dilihat banyaknya orang yang penasaran, ingin tahu, ingin melihat, tayangan tersebut. Dan, efek konatif/behavioral-nya dapat dilihat dari tingginya minat masyarakat untuk men-download tayangan, membeli DVD tayangan, serta munculnya tindakan kekerasan seksual di masyarakat, contoh kasus dalam aspek ini adalah yang terjadi di Bojonegoro.
Mengacu perkembangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pers, dalam hal ini termasuk media massa televisi, selain menganut teori media sebagaimana dibeberkan oleh Littlejohn, juga menganut teori liberal pers. Merujuk Milton, Locke, dan Mill, selain mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi jalannya pemerintah, media juga memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan yang diukur dengan meningkatnya rating dan derasnya iklan/pemasukan yang masuk ke perusahaan media massa. (Werner J. Severin, dan James W. Tankard Jr: 2005)
Karena itu, diperlukan upaya-upaya pembatasan supaya efek komunikasi dari media massa tidak mengarah ke hal-hal negatif, yang dapat merusak perkembangan psikis dan moral masyarakat. Sebab, gencarnya pemberitaan tentang video asusila dengan pelaku mirip artis, akan berakibat buruk terhadap masyarakat, khususnya anak-anak. Ada dua jenis potensi bahaya yang mengancam anak-anak dengan berita itu. Pertama, sensivitas masyarakat terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak menumpul sehingga bisa menurunkan upaya perlindungan anak-anak. Padahal, menurut Deklarasi Hak Anak 1959, anak-anak adalah manusia yang tidak matang jasmani dan mentalnya, sehingga memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus. Kedua, pertumbuhan psikologis anak-anak terganggu akibat terinspirasi isi berita, bahkan dapat terdorong mempraktikkan kekerasan seksual di kemudian hari. (Jurnal Thesis UI: Januari-April 2005). Oleh karena itu, media massa perlu memberikan nilai manfaat kepada masyarakat/komunikan atau pemirsa dan pembacanya. (*)


DAFTAR PUSTAKA

Little John., Stephen W., dan Karen A. Foss, 2009, Theories of Human Communication, Edisi Sembilan, Salemba Humanika, Jakarta.
Rakhmat, Jalaluddin, 2005, Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.
Tankard Jr, James W., dan Severin, J. Werner, 2005, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Prenada Media, Jakarta.
Effendy, Onong Uchjana, 2003, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sumber Lain :
Badan Pusat Statistik, 2006, Jakarta
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, 2005, Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi ”Thesis”, Volume IV/No. 1 Januari-April, Jakarta.
Surat Kabar Harian Kompas, edisi 15 Juni 2010.
Surat Kabar Harian Media Indonesia, Edisi 16 November 1999.
Surat Kabar Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group), Edisi 11 Juni 2010.

*) Tugas Makalah Psikologi Komunikasi

Sunday, May 22, 2011

Apakah Iklan TV Sudah Kehilangan Daya, Leader Yang Mulai Terancam

Perkembangan media massa, khususnya media TV, di Indonesia akhir-akhir ini kian marak. TV tidak hanya mampu memberikan informasi, berita, dan literasi yang selama ini diperankan oleh media massa cetak. Namun, TV juga mampu menawarkan beragam program alternative lainnya, seperti hiburan, musik, dan lainnya yang dapat disaksikan lebih cepat, dan langsung (live). Kecepatan dalam penyajian inilah yang tak dapat dijawab oleh media massa cetak. Hingga tahun 2010, tercatat puluhan saluran TV swasta yang berhimpun dalam holding company-nya masing-masing.
Di antaranya, MNC Group yang memiliki RCTI, Global TV, dan TPI. Kemudian, Trans Group dengan Trans TV dan Trans 7; Media Group, melalui Metro TV; Jawa Pos Group dengan JTV, MK TV, RTV Pekan Baru, Batam TV, dan SBO; serta yang terakhir adalah Bakri Group yang memiliki ANTV dan TV One, yang merupakan reinkarnasi dari stasiun televisi lama Lativi. Selain melebarkan segmentasi pangsa pasar dengan mendirikan banyak media massa televisi, holding company masing-masing group di atas juga melebarkan jaringan medianya dengan mendirikan atau membentuk media massa cetak, baik berupa surat kabar harian, majalah, maupun tabloid dengan beragam tema dan sasaran targetnya. Misalnya, Media Group yang mendirikan Media Indonesia; MNC yang memiliki Seputar Indonesia (SINDO); maupun Jawa Pos Group yang memiliki media cetak harian Jawa Pos dan jaringan Jawa Pos News Network (JPNN).

Karakteristik TV
Semakin berjubelnya stasiun TV menunjukkan masyarakat Indonesia masih cenderung menyukai budaya menonton daripada membaca ataupun menulis. Ini dibuktikan dengan adanya survei AC Nielsen pada tahun 1999, bahwa 61 % sampai 91 % masyarakat Indonesia suka menonton televisi. Hasil ini lebih lanjut menjelaskan, hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar di Indonesia lebih memilih menonton TV setiap hari. Sedangkan 4 dari 10 orang lebih memilih atau lebih suka mendengarkan radio. (Media Indonesia: 19 November 1999). Hasil survei AC Nielsen diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2006 yang memaparkan fakta bahwa, budaya membaca masyarakat Indonesia hanya 23,5 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibanding menonton TV yang mencapai 70 persen lebih. (BPS: 2006).
Tingginya animo masyarakat Indonesia untuk menyaksikan televisi, karena berdasarkan karakteristik media, TV dianggap merupakan media yang lebih komunikatif dan memiliki efektivitas tertinggi dalam penyampaian pesan atau informasi dibandingkan media komunikasi lainnya. Giblin (2001) mendukung pernyataan ini dengan hasil penelitiannya tentang bagaimana kita mengingat informasi. Hasil penelitiannya menyebutkan, bahwa 10 % informasi diingat dari apa yang kita baca, 20 % dari apa yang kita dengar, 30 persen dari apa yang kita lihat, 50 persen dari apa yang kita lihat dan dengar, 70 persen dari apa yang kita katakana saat berbicara, dan 90 persen dari apa yang kita katakan dengan melakukan sesuatu.

TV dan Iklan
Tingginya animo masyarakat menyaksikan TV dibandingkan media massa lainnya merupakan salah satu modal penting untuk media kampanye produk atau iklan. Apalagi, menurut survey yang dilakukan P3I (Perhimpunan Perusahaan Periklanan Indonesia) pada 2006, 90% penduduk Indonesia memiliki televisi. Hal tersebut merupakan dasar pertimbangan bagi para pemasar untuk menggunakan media iklan tradisional sebagai media komunikasi pemasarannya. (Jaffe: 2006). Keluasan jangkauan dan kemudahan dalam menerima pesan (suara yang bisa didengar dan gambar yang dapat dilihat) inilah yang menjadikan televisi, pada hari ini, masih menjadi media massa primadona dalam menyampaikan iklan kepada khalayak masyarakat. Sebab, tujuan utama disiarkannya iklan di media TV adalah untuk mengacu terhadap tiga perspektif psikologi komunikasi, yaitu efek kognitif, afektif, dan konatif (behavioral).
Dengan demikian, secara umum perusahaan memasang produknya untuk diiklankan di TV bertujuan untuk, (1) menyadarkan komunikan (khalayak umum) dan member (pelanggan loyal) informasi tentang suatu barang dan jasa atau ide (efek kognitif). (2) Menimbulkan dalam diri komunikan suatu perasaan suka akan barang dan jasa ataupun ide yang disajikan dengan memberi prefensi kepadanya (efek afektif). Dan, (3) Meyakinkan komunikan akan kebenaran tentang apa yang dianjurkan dalam iklan dan karenanya menggerakkan untuk berusaha memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang dianjurkan (efek konatif/behavioral).
Berdasar pendekatan psikologi komunikasi, komunikasi pemasaran, maupun marketing public relation, iklan di TV pada hari ini, masih mempunyai daya dan efektif untuk menggaet calon pembeli, sekaligus memelihara loyalitas pelanggan lama (member) untuk membeli produk barang dan jasa di khalayak. Menurut survey P3I pada tahun 2003, stasiun TV masih merupakan media iklan favorit pilihan pemasar di dalam mengkomunikasikan produk-produknya sebesar 61,1% dari total porsi belanja iklan nasional di Indonesia. Sedangkan koran merupakan media iklan tradisional favorit urutan kedua dengan 25,9 %. Sementara sisa porsi 13 % ditempati oleh media radio, billboard, majalah, dan tabloid.
Sementara, belanja iklan di media massa tahun lalu (2009) mencapai Rp 48,573 triliun atau meningkat 16 persen dibandingkan 2008 dengan angka Rp 41,708 triliun. Mengacu data yang dirilis perusahaan survei, Nielsen Company Indonesia, share iklan koran di media harian meningkat menjadi 34 persen dari 2008 sebesar 33 persen. Sementara, pengiklan di media TV masih menjadi leader, meski ada kecenderungan menurun. Pada tahun 2000, share iklan di TV mencapai 70 persen, namun pada 2009 berkurang menjadi 62 persen, namun tetap terbanyak daripada pemasukan iklan di media cetak, maupun online. Mengacu data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa TV, pada hari ini, masih menjadi media massa yang lebih efektif daripada media cetak (koran, majalah, maupun tabloid) dan media elektronik alternative seperti online dan internet. Meskipun demikian, ada kecenderungan pendapatan iklan media massa TV mengalami penurunan, sementara di sisi lain pendapatan iklan oleh media online meningkat. Gejala ini mulai disikapi dengan kewaspadaan oleh media TV dengan menciptakan media-media online sebagai media alternative untuk mendapatkan pemasukan iklan, sebagaimana dilakukan oleh Metro TV, SCTV, RCTI, dan lainnya. (*)

*) Tugas Mata Kuliah Marketing Public Relations

Tuesday, May 3, 2011

Urgensi Blok Bojonegoro

SALAH satu isu penting dan hangat di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, akhir-akhir ini adalah gagasan mengganti Blok Cepu, ladang minyak yang dikelola ExxonMobil melalui anak perusahaannya Mobil Cepu Ltd (MCL), menjadi Blok Bojonegoro. Pemkab Bojonegoro, selaku pengusul, serius dengan gagasan ini. Usulan ini tertuang dalam surat bupati tertanggal 15 Maret 2011, dengan nomor 541/239/412.15/2011. Usulan merubah nama dari Blok Cepu menjadi Blok Bojonegoro ditujukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan tembusan kepada Presiden dan Wakil Presiden RI, Komisi VII DPR RI, dan sejumlah instansi penting lain, termasuk kepada Vice President MCL di Jakarta.
Ada empat alasan utama yang diajukan Pemkab Bojonegoro, kenapa Blok Cepu penting diubah jadi Blok Bojonegoro. Pertama, alasan administratif. Area pertambangan migas Blok Cepu 90 persen lebih berada di wilayah Bojonegoro. Sekarang ini eksplorasi yang berjalan 100 persen dari wilayah Bojonegoro. Eksplorasi minyak saat ini sudah mencapai
22.000 barel per hari dari tujuh sumur di antara total 48 sumur yang berada di Blok Cepu. Jika produksi minyak mencapai full scale pada 2014, diperkirakan bisa mencapai 165.000 barel per hari. Jumlah itupun, tak satu barel minyak pun yang berasal dari wilayah Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Diperkirakan, Blok Cepu sendiri mengandung 600 juta barel minyak, dan gas 1,7 triliun hingga 2 triliun kaki kubik (TCF). (Gatra, 25 Maret 2006, lihat juga Tempo, 2 April 2006).
Kedua, merujuk ketentuan yang diatur pada UU Otonomi Daerah dan Keputusan Menteri Keuangan tentang bagi hasil migas. Ketiga, sebagai langkah antisipatif menghindari soal kesalahpahaman yang bisa berpotensi mengganggu eksplorasi Blok Cepu, terutama saat berhubungan dengan masyarakat lokal. Kempat, dirubahnya Blok Cepu menjadi Blok Bojonegoro diharapkan bisa memperkuat rasa kepemilikan seluruh elemen masyarakat Bojonegoro yang sehari-hari berhubungan langsung dengan kegiatan eksplorasi. Selain juga sebagai kebanggaan, image positif, dan identitas, dalam rangka pembangunan spirit jaringan dan kepercayaan diri.

Branding
Terlepas mengenai siapa yang mengusulkan, ditinjau dari perspektif ilmu marketing dan ilmu komunikasi, usulan perubahan nama dari Blok Cepu menjadi Blok Bojonegoro menjadi urgen. Dari perspektif komunikasi pemasaran, usulan Blok Cepu menjadi Blok Bojonegoro, adalah bagian dari proses penyusunan komunikasi terpadu yang dilakukan oleh Pemkab Bojonegoro dengan tujuan memberikan informasi mengenai barang atau jasa, dalam hal ini kandungan minyak di wilayah Bojonegoro, untuk menarik perhatian dari customer (nasional dan internasional).
Sebagai bagian dari upaya untuk jualan dan memasarkan produk andalan daerah (migas), dibutuhkan sebuah branding yang kuat. Brand sendiri adalah sebuah nama, istilah, simbol ataupun hal-hal lain yang dapat menjadi sebuah identitas, termasuk identitas kedaerahan. Brand juga dapat membedakan suatu daerah dengan daerah lain yang memiliki keahlian serupa. Dengan mengubah karakter identitas, dari Blok Cepu menjadi Blok Bojonegoro, sebenarnya Pemkab Bojonegoro sedang berupaya menciptakan sebuah identitas nan khas, yang dapat membedakannya dengan daerah lain.
Pembedaan dan penegasan identitas ini menjadi penting, karena menurut Peter Montoya dalam The Brand Called You (2005), branding adalah proses dari menciptakan sebuah identitas yang dikaitkan dengan persepsi, emosi, dan perasaan tertentu terhadap identitas tersebut. Dengan menamakan diri Blok Bojonegoro, diharapkan tercipta sebuah persepsi dari customer (investor) nasional dan internasional tentang Bojonegoro yang potensial dengan migas. Persepsi ini penting untuk mengail investor masuk.
Hermawan Kartajaya, pakar marketing dunia asal Surabaya, mengungkapkan, brand is the umbrella of the products, yang bisa langsung memunculkan persepsi tentang sebuah produk (jualan). Bagi Hermawan Kartajaya, brand juga bisa menciptakan satu marketing value. Marketing tak akan punya added value, kalau tidak punya brand kuat. Brand yang diingat, sudah merupakan poin yang penting untuk mendapatkan sesuatu. Keuntungan selanjutnya, mulai peluang investasi di bidang migas, ekonomi, wisata, dan yang lainnya, hanya soal waktu, selama brand diperkuat. Tahapan tersebut sudah dilakukan Bojonegoro melalui brand vision-nya, dengan mengusulkan Blok Cepu menjadi Blok Bojonegoro. Brand yang ingin dimunculkan pemkab di mata investor adalah, Bojonegoro merupakan blok yang kaya akan minyak..!!

Positioning
Selain sebagai branding potensi daerah, yang juga tidak kalah pentingnya, usulan Blok Cepu menjadi Blok Bojonegoro juga merupakan bagian dari upaya positioning. Menurut Philip Kotler, positioning adalah suatu tindakan atau langkah-langkah produsen, dalam hal ini adalah Pemkab Bojonegoro, untuk mendesain citra dan penawaran nilai, dimana konsumen di dalam suatu segmen tertentu (khususnya dalam investasi) bisa mengerti dan menghargai apa yang dilakukan suatu segmen tertentu, mengerti dan menghargai apa yang dilakukan suatu institusi, dibandingkan dengan pesaing lainnya. Jadi, positioning merupakan usaha untuk menemukan sebuah celah di benak konsumen agar konsumen punya image khusus terhadap produk atau merek produk atau bahkan perusahaan.
Menurut Hermawan Kartajaya, positioning harus dipersepsikan secara positif oleh para dan calon pelanggan (investor) dan menjadi reason to buy mereka. Positioning harus bisa mendeskripsikan value yang paling diunggulkan dan value ini benar-benar suatu aset bagi mereka. Usulan perubahan dari Blok Cepu menjadi Blok Bojonegoro, dalam kaitannya positioning adalah Pemkab Bojonegoro ingin menegaskan dan menawarkan jualan kans investasi yang berhubungan dengan industrialisasi minyak berikut variannya, sebagai diferensiasi dengan daerah yang lain. Sasaran konsumen baru dan pelanggannya adalah negara maupun kaum pemodal dalam negeri yang berminat untuk melakukan investasi di Bojonegoro. Disinilah letak urgennya mengapa Blok Cepu perlu diubah menjadi Blok Bojonegoro.
Bagi masyarakat di luar Bojonegoro, termasuk pengambil kebijakan di pusat yang tidak merasakan efek psikologis langsung, bisa jadi usulan perubahan nama blok minyak ini, tidak terlalu penting, bahkan terlalu remeh dan dangkal. Apa arti sebuah nama, demikian William Shakespeare. Toh, bunga mawar akan tetap wangi, meskipun diberi nama lain. Akan tetapi, bagi rakyat Bojonegoro penamaan Blok Bojonegoro menjadi penting, karena diyakini inilah salah satu cara untuk melakukan jualan ”produk” ke investor dalam dan luar negeri. Usulan ini, memang mengandung konsekuensi yang tidak gampang, semisal perubahan administratif dalam pemerintahan, hingga kemungkinan adanya rekontraktual yang sudah ditandatangani antara pemerintah pusat dengan operator minyak. Bukankah pilihan selalu mengundang risiko? Sekarang, bola di tangan Kementerian ESDM, apakah lebih memilih abai dan membiarkan saja nama Blok Cepu tetap seperti saat ini, atau mengakomodasi kemauan daerah untuk secepatnya mengakhiri ketidakadilan migas yang selama ini lazim diterima daerah-daerah penghasil tambang, termasuk Bojonegoro? (*)

Blok Lingkar, 28 April 2011

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) Edisi 1 Mei 2011, Halaman 30