Kurang lebih satu bulan
lagi rakyat Kabupaten Bojonegoro akan merasakan puncak dari segala hiruk pikuk
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada). Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bojonegoro menetapkan hari “H” coblosan kepala
daerah jatuh pada tanggal 10 November 2012. Pada hari inilah bulat lonjong
maupun arah kemudi konsolidasi demokrasi Bojonegoro untuk lima tahun ke depan terbentuk dengan jelas,
apakah pendatang yang menang atau petahana yang berjaya?
Terlepas dari apapun
hasilnya nanti, kita semua bersepakat bahwa momentum suksesi, apakah ia Pemilu,
Pemilukada, Pilpres, ataupun strata yang lebih kecil lagi, Pilkades, adalah
peristiwa politik yang mempunyai dua paras sekaligus yang antara satu sisi
dengan sisi lainnya bertolak belakang: sebagai bentuk dukungan (support), sekaligus hukuman (punishment) bagi siapapun aktor-aktor
yang terlibat di dalamnya.
Suksesi dapat
menampilkan paras politik menawan manakala publik memberikan dukungan
maksimalis melalui vote’s sebagai
manifestasi dari kepercayaan (trust).
Fenomena Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta, yang mampu menghantarkan
pasangan Jokowi-Ahok meraih kursi Jakarta 1, adalah eksaminasi penting dan paling
dekat yang dapat dijadikan sebagai kaca benggala betapa publik bisa dua
menampilkan dua wajah sekaligus.
Pemberian
kepercayaan publik Jakarta
terhadap pasangan Jokowi-Ahok sekaligus merupakan hukuman bagi pasangan Fauzi
Bowo-Nara. Dengan mantra ”Fokoke Jokowi” aura personal Jokowi-Ahok mampu
menembus dinding-dinding mayoritas dan oligarki partai yang selama ini
mendukung penuh pasangan sang petahana.
Publik memberikan
hukuman dengan memberikan suara mayoritasnya kepada pasangan Jokowi-Ahok,
karena pasangan petahana dianggap merupakan simbolisasi pemerintahan yang
bercirikan penguasa, bukan pemimpin, elitis dan tidak pro terhdap problem wong cilik. Di sisi lain, Jokowi-Ahok
dipandang sebagai sosok pemimpin dengan segala atribut kebersahajaannya. Figur
yang mencirikan apa adanya, tanpa polesan lipstik pencitraan.
Sekalipun
sosiokultural dan sosiopsikologis publik Jakarta
dan Bojonegoro tidak dapat disamakan (generalisasi),
akan tetapi fenomena politik di Ibu Kota RI setidaknya bisa dijadikan sebagai bahan
referensi untuk menentukan keputusan politik untuk Bojonegoro ke depan. Agar
keputusan lima menit yang diambil dalam bilik
suara tidak berujung pada penyesalan untuk lima tahun ke depan.
Dalam Pemilukada
Bojonegoro, sang petahana (Suyoto dan Setyo Hartono) yang diusung PAN,
Gerindra, dan Demokrat dikepung empat penantang. Yakni, pasangan M
Thalhah-Budiyanto (Golkar dan PKPB), M Choiri-Untung Basuki (PKNU, PPP, Hanura,
PNBKI, PKS, PKB serta didukung PDI Perjuangan), dan juga dua pasangan dari
perseorangan (independen), yakni Sarif Usman-Syamsiah Rahim, dan Andromeda
Qomariyah-Sigit Budi.
Dalam
kesejarahannya, publik Bojonegoro telah berulangkali pula memberikan punishment politik di setiap momentum
suksesi. Sejak era reformasi bergulir, publik Bojonegoro beberapa kali pula
berandil memberikan kepercayaan sekaligus hukuman. Pada Pemilu (langsung) 1999,
misalnya, publik memberi kepercayaan kepada PDI Perjuangan sehingga menang di wilayah
Kabupaten Bojonegoro.
Namun, lima tahun kemudian
(Pemilu 2004), PDI Perjuangan ditumbangkan oleh PKB. Pun pada Pemilu 2009, giliran
Golkar yang berjaya, menumbangkan PKB. Dengan kata lain, tidak pernah ada satupun
partai politik yang back to back,
mampu mempertahankan prestasinya pada Pemilu setelahnya.
Capaian kerja
politik kepartaian pada Pemilu yang tidak pernah back to back juga berbanding lurus di level Pemilukada yang
kebanyakan lebih bercirikan personal. Pada Pemilukada langsung pertama di
Bojonegoro (2007), bupati incumbent
ketika itu, M Santoso, yang berpasangan dengan Budi Irawanto, justru tumbang
oleh pendatang baru (Suyoto-Setyo Hartono) yang dalam Pemilukada 2012 ini
giliran menjadi petahana.
Akankah pada
Pemilukada 2012 nanti petahana akan berjaya, sekaligus mencetak sejarah sebagai
”tim” pertama yang meraih back to back
dalam kesejarahan politik di Bumi Angling Dharma? Ataukah sebaliknya, sejarah
pula akan terulang (dejavu), petahana
kembali menerima ”kutukan” bagi incumbent
yang tidak akan mampu mengulang kemenangan serupa dalam periode setelahnya?
Jawabnya tinggal sebulan lagi. [*]
No comments:
Post a Comment