Sunday, October 14, 2012

Melawan Kutukan Sejarah


Kurang lebih satu bulan lagi rakyat Kabupaten Bojonegoro akan merasakan puncak dari segala hiruk pikuk Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada). Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bojonegoro menetapkan hari “H” coblosan kepala daerah jatuh pada tanggal 10 November 2012. Pada hari inilah bulat lonjong maupun arah kemudi konsolidasi demokrasi Bojonegoro untuk lima tahun ke depan terbentuk dengan jelas, apakah pendatang yang menang atau petahana yang berjaya?
Terlepas dari apapun hasilnya nanti, kita semua bersepakat bahwa momentum suksesi, apakah ia Pemilu, Pemilukada, Pilpres, ataupun strata yang lebih kecil lagi, Pilkades, adalah peristiwa politik yang mempunyai dua paras sekaligus yang antara satu sisi dengan sisi lainnya bertolak belakang: sebagai bentuk dukungan (support), sekaligus hukuman (punishment) bagi siapapun aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.
Suksesi dapat menampilkan paras politik menawan manakala publik memberikan dukungan maksimalis melalui vote’s sebagai manifestasi dari kepercayaan (trust). Fenomena Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta, yang mampu menghantarkan pasangan Jokowi-Ahok meraih kursi Jakarta 1, adalah eksaminasi penting dan paling dekat yang dapat dijadikan sebagai kaca benggala betapa publik bisa dua menampilkan dua wajah sekaligus.
Pemberian kepercayaan publik Jakarta terhadap pasangan Jokowi-Ahok sekaligus merupakan hukuman bagi pasangan Fauzi Bowo-Nara. Dengan mantra ”Fokoke Jokowi” aura personal Jokowi-Ahok mampu menembus dinding-dinding mayoritas dan oligarki partai yang selama ini mendukung penuh pasangan sang petahana.       
Publik memberikan hukuman dengan memberikan suara mayoritasnya kepada pasangan Jokowi-Ahok, karena pasangan petahana dianggap merupakan simbolisasi pemerintahan yang bercirikan penguasa, bukan pemimpin, elitis dan tidak pro terhdap problem wong cilik. Di sisi lain, Jokowi-Ahok dipandang sebagai sosok pemimpin dengan segala atribut kebersahajaannya. Figur yang mencirikan apa adanya, tanpa polesan lipstik pencitraan.       
Sekalipun sosiokultural dan sosiopsikologis publik Jakarta dan Bojonegoro tidak dapat disamakan (generalisasi), akan tetapi fenomena politik di Ibu Kota RI setidaknya bisa dijadikan sebagai bahan referensi untuk menentukan keputusan politik untuk Bojonegoro ke depan. Agar keputusan lima menit yang diambil dalam bilik suara tidak berujung pada penyesalan untuk lima tahun ke depan.
Dalam Pemilukada Bojonegoro, sang petahana (Suyoto dan Setyo Hartono) yang diusung PAN, Gerindra, dan Demokrat dikepung empat penantang. Yakni, pasangan M Thalhah-Budiyanto (Golkar dan PKPB), M Choiri-Untung Basuki (PKNU, PPP, Hanura, PNBKI, PKS, PKB serta didukung PDI Perjuangan), dan juga dua pasangan dari perseorangan (independen), yakni Sarif Usman-Syamsiah Rahim, dan Andromeda Qomariyah-Sigit Budi.  
Dalam kesejarahannya, publik Bojonegoro telah berulangkali pula memberikan punishment politik di setiap momentum suksesi. Sejak era reformasi bergulir, publik Bojonegoro beberapa kali pula berandil memberikan kepercayaan sekaligus hukuman. Pada Pemilu (langsung) 1999, misalnya, publik memberi kepercayaan kepada PDI Perjuangan sehingga menang di wilayah Kabupaten Bojonegoro.
Namun, lima tahun kemudian (Pemilu 2004), PDI Perjuangan ditumbangkan oleh PKB. Pun pada Pemilu 2009, giliran Golkar yang berjaya, menumbangkan PKB. Dengan kata lain, tidak pernah ada satupun partai politik yang back to back, mampu mempertahankan prestasinya pada Pemilu setelahnya.
Capaian kerja politik kepartaian pada Pemilu yang tidak pernah back to back juga berbanding lurus di level Pemilukada yang kebanyakan lebih bercirikan personal. Pada Pemilukada langsung pertama di Bojonegoro (2007), bupati incumbent ketika itu, M Santoso, yang berpasangan dengan Budi Irawanto, justru tumbang oleh pendatang baru (Suyoto-Setyo Hartono) yang dalam Pemilukada 2012 ini giliran menjadi petahana.
Akankah pada Pemilukada 2012 nanti petahana akan berjaya, sekaligus mencetak sejarah sebagai ”tim” pertama yang meraih back to back dalam kesejarahan politik di Bumi Angling Dharma? Ataukah sebaliknya, sejarah pula akan terulang (dejavu), petahana kembali menerima ”kutukan” bagi incumbent yang tidak akan mampu mengulang kemenangan serupa dalam periode setelahnya? Jawabnya tinggal sebulan lagi. [*]     


No comments:

Post a Comment