Tuesday, September 28, 2010

Iqra` dan Teologi Baca

Rasanya, setiap Ramadan tiba, kita senantiasa mengisinya dengan pelbagai ibadah ritual dan sosial (mungkin?) yang senantiasa berulang ulang dari tahun ke tahun. Dan rasanya, setiap Ramadan hadir, kita senantiasa tidak pernah lupa bahwa di dalamnya, persisnya setiap tanggal 17 Ramadan, umat Islam pada umumnya memperingati nuzulul quran, momentum turunnya wahyu/ayat pertama Alquran yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Wahyu pertama itu adalah QS Al Alaq 1-5, yang diterima Nabi Muhammad SAW pada 17 Ramadan (6 Agustus 610 M). Wahyu ini memiliki makna pembatas strata sosial yang tegas antara strata kebodohan dan keagungan ilmu, karena berintikan perintah untuk membaca (iqra`).
Akan tetapi, apakah substansi teologi iqra` (baca dan tulis) tersebut sudah membekas di hati kaum muslimin? Rasa-rasanya belum maksimal (untuk tak mengatakan tidak sama sekali). Kita mungkin bisa mengukurnya. Tengoklah betapa IPM (indeks pembangunan manusia/human development index), yang salah satu dari tiga indikasinya tersebut adalah pendidikan, termasuk dalam hal ini pendidikan yang bersifat baca dan tulis, justru masih menempatkan Indonesia di peringkat 107 (tahun 2007-2008) dari 177 negara di dunia. Peringkat Indonesia masih di bawah negara-negara miskin Asia lainnya.
Hari ini kita juga bisa merefleksi, betapa meski wahyu itu sudah diturunkan sejak 1.400 tahun yang silam, budaya membaca masih lemah di negeri kita, Indonesia. Hal itu dapat kita lihat dalam rilis data yang dibeber Badan Pusat Statistik 2006, yang memaparkan fakta bahwa budaya membaca masyarakat Indonesia hanya 23,5 persen (!). Padahal, idealnya 80 persen. Budaya membaca, jauh lebih rendah dibanding menonton televisi yang mencapai 70 persen lebih, yang pada titik-titik tertentu memiliki dampak negatif yang sangat cukup signifikan dalam memperburuk moralitas anak muda, melalui tayangan-tayangan yang kurang mendidik. Padahal, kata para pujangga bijak, dengan membacalah kunci menguasasi dunia. Dengan membacalah, jendela dunia terbuka. Dan dengan membacalah, awal dari segala kesuksesan hidup, dunia dan akhirat.
Salah satu hal yang mungkin (setidaknya menurut penulis) belum tuntas kita laksanakan adalah bahwa teks-teks keagamaan, dalam hal ini ayat-ayat yang terkandung dalam kitab suci Alquran, baru sebatas dipahami dan diimani sebagai landasan ritual, bukan sebagai teks yang membutuhkan kontekstualisasi ayat yang dihubungkan dengan realitas sosial. Perintah membaca sebatas dipahami sebagai perintah untuk membaca teks-teks/ayat-ayat Alquran secara ansich. Akan tetapi, belum dipahami sebagai perintah untuk membaca dan mengkaji dalam banyak hal.
Padahal sebenarnya (sekali lagi menurut penulis), kalau kita pahami, dengan Tuhan menjadikan iqra` sebagai ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi SAW, mengandung maksud bahwa Tuhan sejatinya tidak ingin hamba-hamba-Nya tidak menguasai ilmu, dan acap dikungkung dengan kemiskinan pengetahuan. Tuhan tegas-tegas memprioritaskan tentang kedalaman intelektualitas dengan memperbanyak membaca segala hal yang telah diciptakan-Nya, dibandingkan dengan intensitas ibadah ritual semata. Hal ini dapat kita lihat mengapa bukan perintah salat, zakat, puasa, dan haji yang didahulukan oleh Allah SWT untuk diwahyukan kepada Rasulullah SAW, melainkan justru lebih pada perintah membaca (iqra`).
Reinterpretasi teks-teks keagamaan inilah yang sekiranya perlu dipertajam lagi, sehingga terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, dan menjadi rahmatan lilalamin. Apabila mengacu pada perspektif Hassan Hanafi, pemikir Islam kontemporer, sejatinya teks iqra` itu mengandung makna-makna demokratisasi, egalitarianisme, persamaan hak seluruh manusia, membebaskan dari ketertindasan, ketidakberdayaan, serta kemiskinan pada diri manusia. Tentunya melalui membaca (ilmu).
Rasanya kita perlu terus meng-kontekstualisasi teks-teks keagamaan dengan semangat atau ruh pembebasan terhadap ketertinggalan, sebagaimana yang dilakukan Ali Ashghar Engineering dengan konsepsi teologi pembebasan kaum mustadh`afinnya yang populer di periode emas Islam.
Atau, rasanya kita membutuhkan lagi pemikir-pemikir kontemporer semacam KH Sahal Mahfudz, dari Ponpes Kajen, Pati, Jawa Tengah yang sedemikian rela dan berkenan guna memeras fikirannya, serta ”berani” merumuskan dan menafsirkan teks-teks keagamaan dengan konsepsi fiqih sosial, yang sedemikian membela hak-hak kaum tertindas. Sebab, pada dasarnya, mereka (Hassan Hanafi, Ali Ashghar Engineering, maupun KH Sahal Mahfudz) meyakini, bahwa Islam adalah agama ”kiri” yang senantiasa akan melawan segala bentuk penindasan, kebodohan, kemiskinan, serta menjunjung tinggi penegakan terhadap kesetaraan dan keadilan dalam segala hal, termasuk dalam ilmu dan pendidikan, dalam membaca dan menulis.
Penulis yakin, selama teks-teks agama tersebut masih kita tafsirkan dan fahami sebatas teks ritual semata, bukan mendasarkan pada kontekstualisasi dengan realitas sosial, maka daftar peringkat IPM maupun persentase minim budaya baca masyarakat kita, akan selalu menjadi data yang kita refleksi setiap tahun, setiap 17 Ramadan. Dan, jangan harap IPM dan budaya baca masyarakat akan meningkat (!). Wallahu a`lam bisshowab. (*)

Bawah Titian, 17 Ramadan 1431 H (27 Agustus 2010)

*) Tayang di Radar Bojonegoro Halaman 30 Edisi 29 Agustus 2010

No comments:

Post a Comment