Tuesday, September 28, 2010

Nasionalisme Dua Dimensi

ADA dua momentum sakral (baca: nasionalisme) sekaligus, pada bulan ini. Ramadan 1431 Hijriyah dan HUT Ke-65 Kemerdekaan Republik Indonesia. Sakral, karena dua momentum itu memberikan kesempatan kepada diri kita untuk sejenak merefleksi dan berkontemplasi, apa yang telah kita sumbangkan dalam hidup ini untuk tanah air, dan agama, serta masyarakat.
Dalam khazanah klasik Islam, Ramadan memberi makna bulan pengsucian, bulan dua dimensi. Bulan dimana manusia (umat Islam) dituntut untuk tidak hanya melakukan ritual transedental kepada Allah SWT lewat puasa yang an sich (mutlak) untuk Robb.
Melainkan juga ibadah sosial yang di dalamnya terkandung nilai-nilai filosofi untuk memikirkan orang lain sebagai bentuk sebuah refleksi, dan toleransi untuk merasakan penderitaan orang yang kelaparan dari sisi ragawi.
Ramadan bagi bangsa Indonesia, memiliki titik persinggungan yang dapat dicarikan benang merahnya dengan Agustus, bulan lahirnya bangsa Indonesia. Apabila merujuk sejarah, 65 tahun silam, saat bangsa Indonesia berjuang melawan tirani penjajahan,
juga dilakukan pada bulan suci Ramadan. Spirit Ramadan pada 65 tahun silam itu diejawantahkan dengan nasionalisme dua dimensi.
Dimensi dunia, semua pejuang kala itu meyakini, dengan mengangkat senjata, mereka akan mampu memberikan penghidupan yang lebih baik kepada anak cucunya kelak: merdeka. Para pejuang kala itu meyakini, perjuangan hari ini tak lain merupakan cita-cita hidup bahagia demi anak cucu kelak. Tidak peduli nyawa menjadi taruhannya.
Dimensi ukhrawi, diejawantahkan oleh para pejuang dengan melambari keyakinan itu dengan sikap tawakal, pasrah, dan ridlo, bahwa puasa Ramadan kala itu merupakan momen yang sangat sakral dan tepat untuk menyatukan jiwa dan raga mereka Dzat-Nya. Sebab, hakiki puasa adalah ibadah yang semata-mata untuk Rabb. Ibadah yang harus nir-harapan, nir-imbalan. Ibadah yang hanya Rabb yang tahu balasan yang akan diberikan. Keyakinan bisa satunya ruh pejuang dengan Dzat Allah itu menjadi sebuah keyakinan dan energi yang luar biasa dahsyatnya. Hingga akhirnya, negara-negara di dunia mengakui bahwa Indonesia merdeka oleh keyakinan dan doktrin menyatunya ruh pejuang dengan Dzat Illahy.
Sejatinya sublimasi nilai-nilai Ramadan dan Agustus pada tahun ini haruslah menyatu
dalam jiwa para pelajar. Memang, bentuk dari memperingati semangat nasionalisme bangsa (Agustusan) dan nasionalisme ukhrowi (Ramadan) bagi pelajar, khususnya pelajar NU (IPNU) dan pelajar putri NU (IPPNU), tidak dapat disamakan dengan pelajar lainnya. Karena, IPNU dan IPPNU adalah calon pemimpin bangsa, berbeda dengan pelajar sekolah pada umumnya yang hanya melokalisir bentuk nasionalisme dengan cara-cara sempit, dengan mengikuti berbagai kegiatan seperti gerak jalan, karnaval, atau lomba-lomba sejenis lainnya.
Manifestasi nasionalisme negara dan Ramadan bagi aktivis IPNU dan IPPNU harus menjadi momentum yang mampu memberikan manfaat untuk sesama, setidaknya bagi komunitas kecil masyarakatnya. Misalnya, dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang mampu menunjang keberdayaan masyarakat. Antara lain, menyelenggarakan berbagai pelatihan-pelatihan yang bertujuan meningkatkan capacity building masyarakat, baik dalam dimensi sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun lainnya.
Bentuk cinta tanah air dan ghirah Ramadan dengan cara seperti ini lebih bermartabat dan bermakna, ketimbang melakukan kegiatan-kegiatan seremonial yang sepi dari makna yang substansial. Hal karena IPNU dan IPPNU adalah masa depan NU, lebih jauh lagi, adalah masa depan pemimpin bangsa. Sebagai calon-calon pemimpin bangsa, sudah seyogyanya konstribusi yang diberikan bukan hanya bermakna sempit, melainkan karya nyata, karya hakiki, manfaat untuk sesama. Wallahu A`lam. (*)

Bawah Titian, 12 Agustus 2010

No comments:

Post a Comment