Tuesday, August 24, 2010

Spiral Kebisuan Media TV

Di luar pemberitaan tentang dugaan adanya transaksi mencurigakan di rekening milik sejumlah perwira (jenderal) atau petinggi Polri, media massa, khususnya lagi televisi (infotainment), masih juga disibukkan dengan heboh tayangan video porno dengan tersangka artis papan atas tanah air.
Semula, penulis berkeyakinan dengan telah ditetapkannya tersangka, diakuinya aksi itu oleh sang artis, pemberitaan kasus tersebut lama kelamaan mereda. Sebab, sejak kasus ”bocornya” tayangan video porno tersebut mencuat ke permukaan, intensitas pemberitaan berlangsung dengan terus menerus, satu bulan lebih. Namun ternyata, dugaan itu meleset.
Yang terjadi justru sebaliknya. Begitu ditetapkan nama tersangkanya, --dan sudah ada permintaan maaf secara terbuka dari Luna Maya dan Cut Tari, dua artis yang diduga menjadi pelaku dalam tayangan tersebut--, justru seperti gong pembuka tabir baru. Sembari tetap mengikuti perkembangan kasus tersebut dalam ranah hukum, media televisi ganti memberitakan beredarnya tayangan sejenis, dengan pelaku di luar tiga nama yang saat ini sudah beredar.
Gencarnya pemberitaan tersebut seolah memunculkan kembali perdebatan klasik yang pernah memanas beberapa waktu lalu, sehingga mengapa NU sempat mengharamkan infotainment karena dianggap mengarah pada ghibah (negative thinking). Terlepas dari perspektif agama, gencarnya pemberitaan tayangan ”panas” itu, bila ditinjau dari perspektif ilmu komunikasi, rupa-rupanya sudah mulai mengarah terhadap sebuah gejala terjadinya spiral of silence (spiral kesunyian/kebisuan/keheningan) media.

Spiral Kebisuan
Teori Spiral kesunyian/kebisuan/keheningan dikembangkan Elisabeth Noelle-Neumann. Noelle-Neumann. Spiral of silence terjadi karena ketakutan akan adanya sebuah pengasingan. Spiral of silence bukan hanya berkenaan dengan keinginan berada di pihak yang menang namun juga merupakan usaha agar tak diasingkan dari suatu kelompok sosial. Ancaman akan dikritik oleh pihak mayoritas merupakan kekuatan yang sangat berpengaruh dalam men-”diam”-kan seseorang.
Menurut Noelle-Neumann, media massa memainkan peranan penting spiral of silence dalam tiga cara. Pertama, media membentuk kesan tentang opini mana yang dominan. Kedua, media membentuk kesan tentang opini mana saja yang mengalami peningkatan. Dan ketiga, media membentuk kesan tentang opini yang mana yang bisa diutarakan di muka umum tanpa risiko diasingkan dari kelompok dominan.
Tiga hal penting di atas, terjadi dalam pemberitaan kasus tayangan video porno yang diduga diperankan oleh artis-artis papan atas. Hal ini karena media massa memiliki tiga karakteristik komunikasi massa. Yaitu, kumulasi (cumulation), ubikuitas (ubiquity), dan harmoni (consonance). Bila tiga karakteristik tersebut bergabung, akan menghasilkan dampak sangat kuat pada opini publik, sehingga berpotensi menimbulkan spiral kebisuan. (Severin, dan Tankard: 2005;325)
Titik kumulasi, mengacu pada pembesaran tema-tema atau pesan-pesan tertentu secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Ubikuitas mengacu pada kehadiran media massa yang tersebar luas. Sedangkan harmoni mengacu gambaran tunggal dari sebuah kejadian atau itu yang dapat berkembang dan seringkali digunakan bersama oleh surat kabar, majalah, jaringan televisi, dan media lain yang berbeda-beda.
Pada karakteristik cumulation, kasus pemberitaan video porno, bisa terlihat beramai-ramainya infotainment memberitakannya. Ulasan atau tayangan yang diangkat media infotainment, terkesan amat dibesar-besarkan dan terus dilakukan berulang-ulang dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat betapa tayangan infotainment dilakukan setiap waktu, mulai pagi, siang, hingga malam hari. Tema yang ditayangkan juga dari berbagai sudut pandang. Mulai tanggapan dari rekan sejawat, hingga masyarakat secara umum atas tindakan artis dalam tayangan video tersebut. Sehingga, terkesan nyaris tidak ada ruang private sama sekali dalam diri si artis. Mereka seolah mengalami ”pengadilan” sosial yang sistematis, kontinyu, dan komprehensif.
Pada karakteristik ubiquity, dapat dilihat dari menyebarnya berita tersebut secara luas di masyarakat, dan menimbulkan tanggapan beragam. Karekteristik tersebut bisa dilihat dari pendekatan psikologi komunikasi, yang mencakup efek kognitif, afektif, dan behavioral atau konatif. Akibat terstimuli oleh pesan (berita), masyarakat yang semula tidak tahu, menjadi tahu (efek kognitif). Masyarakat juga mengalami kepenasaranan, kecewa, dan marah (efek afektif), hingga kemudian terdorong melakukan tindakan-tindakan yang riil, seperti men-download di internet dan turun ke jalan untuk mengecam video itu (efek konatif/behavioral). Berbagai tindakan dari efek pemberitaan ini, serta masifitas liputan semakin mendorong berita tersebut menyebar luas ke masyarakat.
Sedangkan dari karakteristik consonance, bisa dilihat tidak hanya media infotainment yang mem-blow up secara besar-besaran berita tersebut. Cara pandang bahwa berita itu mempunyai attitude dan news value yang besar karena melibatkan artis papan atas tanah air, membuat berita itu juga dirilis secara komprehensif oleh media cetak, baik surat kabar harian, majalah, tabloid, atau media lain yang berbeda-beda semacam media online. Media massa juga mengkajinya dari berbagai aspek, dan latar belakang, namun tetap dengan gambaran tunggal kasus itu sebagai tema sentralnya. Oleh karena itu, dalam kasus video porno dengan tersangka artis papan atas tanah air tersebut, media massa telah memainkan peran penting dalam spiral of silence. Karena, berita yang diturunkan tentang tayangan video tersebut, diyakini sudah ”ditunggu-tunggu” oleh khalayak, sehingga media massa yakin tidak akan diasingkan dari kelompok dominan.

Bertindak Filosofis
Disadari atau tidak, gencarnya pemberitaan tersebut membuat stigma artis-artis tertentu, khususnya yang disebut-sebut dalam tayangan video tersebut, tercoreng, dan menghadapi pengadilan sosial. Merujuk Muzafer Sherif, dalam perspektif social judgement, pemberitaan itu telah melahirkan assimilation effect, dimana individu (personal masyarakat) sudah men-judge pesan (berita) tersebut lebih dekat pada sudut pandang aktualnya, yaitu yang sedang tren dan menjadi tema pembicaraan utama di khalayak.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah ketegasan sikap Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan institusi yang berkompeten lainnya untuk selalu menekankan landasan dan tindakan filosofis (logika, etika, dan estetika) dalam memberitakan berbagai hal, khususnya yang ditayangkan dalam program bertajuk infotainment. Nilai-nilai benar dan salah untuk tujuan kebenaran (logika), baik dan buruk demi keselarasan (etika), serta indah dan buruk untuk tujuan keindahan (estetika) dalam pemberitaan, perlu ditekankan dengan regulasi yang ketat. Agar, social judgement dapat dihindari, karena mereka juga mempunyai hak yang sama di depan hukum (equality before the law). (*)

Bawah Titian, 29 Juli 2010

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group), Halaman 30, Edisi 1 Agustus 2010

No comments:

Post a Comment