Tuesday, August 24, 2010

Awali dari Membaca, Akhiri dengan Menulis

Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman merupakan cermin diri dan realitas makro yang dapat digunakan sebagai referensi dalam menentukan tindakan dan perilaku di masa yang akan datang. Pengalaman pribadi (self experience) yang merentang panjang di masa lalu, juga merupakan identitas yang menentukan serta membentuk karakter seseorang di masa kemudian.
Dalam konteks berbagi pengalaman (share) pribadi itulah substansi tulisan dalam bulletin yang ada di tangan Anda saat ini. Semoga hal tersebut tidaklah termasuk dari apa yang dikategorikan Anita L. Vangelisti, Mark L. Knapp, dan John A. Daly, sebagai bagian dari teori conversational narcissism alias pengagungan diri. Tentu, sharing ini sarat muatan subjektivitas, --meski subjektif merupakan satu kesatuan menuju objektivitas, yang tidak sama dengan yang lainnya.
Bahwa, kecintaan terhadap baca membaca, di luar buku-buku teks pelajaran, mulai saya rasakan saat duduk di kelas 5 dan 6 SD. Secara jujur saya akui, buku-buku yang banyak penulis baca saat itu bukanlah buku sekelas Bobo, Kuncup, atau lainnya, meski saya juga membacanya, tetapi tidak begitu mainded. Ketika itu saya mulai mempunyai ketertarikan terhadap buku-buku cerita, dan dongeng bergambar yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah, di SDN I Kalitidu, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro.
Dalam perkembangannya, khususnya saat menginjak bangku SMP, orientasi membaca sedikit bergeser. Dari yang semula buku-buku dongeng, beralih ke buku-buku komik dengan tokoh hero, tetapi tidak seperti tokoh Superman atau Batman, melainkan komik-komik yang bertema silat karya seniman-seniman lokal Indonesia. Sebutlah saja komik karya Jan Mintaraga. Pertimbangan waktu itu, membaca komik beserta visualisasinya, lebih mempunyai daya tarik. Belakangan (saat dewasa), baru menyadari bahwa membaca dengan meng-visualkan tulisan/cerita dalam otak dan pikiran, akan banyak membantu perkembangan otak kanan.
Perubahan orientasi membaca ini begitu dominan. Saya tidak hanya membaca buku-buku komik, melainkan juga buku-buku yang pada masa itu dianggap agak ”aneh” untuk anak seusia saya (sekali lagi semoga ini bukan narsistik). Saya masih ingat betul, ketika masih duduk di bangku kelas 2 dan 3 SMP, saya begitu menggilai buku-buku cerita silat karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo, penulis cerita silat/kungfu asal Solo, yang karyanya justru lebih banyak bercerita atau ber-setting sosiokultural daratan China.
Hingga sekarang pun, terkadang kerinduan untuk membaca kembali buku-buku karya Kho Ping Hoo, yang sekarang ini sudah berada di alam keabadian, masih begitu kuat mendesak. Terkadang, masih terbayang dalam benak bagaimana sepak terjang Suma Han, tokoh dalam Pendekar Pulau Es, atau Yo Han, tokoh dalam Pendekar Tangan Sakti. Atau buku-buku Kho Ping Hoo lainnya yang juga melegenda semacam Pendekar Bodoh, Pendekar Budiman, dan lainnya.
Bagi saya ketika itu, membaca Kho Ping Hoo, hanya mengasyikkan. Meski, dalam buku tersebut Kho Ping Hoo tak hanya menceritakan dunia persilatan, melainkan juga sering menyisipkan nilai-nilai filsafat dari setiap tema apapun yang sedang dibahasnya. Mulai bhakti antara guru (suhu), dengan murid tertua (suheng), maupun murid terakhir (sutee). Atau, ruang lingkup apapun yang menjadi tema sentral filsafat, yaitu Tuhan, manusia, dan alam, Kho Ping Hoo selalu menyertakan ”catatan kecil” dan serius yang menyelipi gambaran umum cerita silatnya.
Yang paling penulis ingat hingga sekarang, dalam setiap bukunya, Kho Ping Hoo selalu menggambarkan sosok pendekar itu tak hanya sebagai manusia yang tangguh membela diri, melainkan juga sosok yang terpelajar (mencintai baca dan tulis). Sebagai gambaran, Kho Ping Hoo hampir selalu mencitrakan tokoh utamanya tersebut sebagai manusia yang membawa pena (maopit), sastrawan, yang selain dapat dipakai untuk menulis, juga dapat digunakan sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan-lawannya.
Suatu ketika setelah dewasa, saya baru menyadari bacaan Kho Ping Hoo ternyata adalah tergolong bacaan ”berat” dan serius. Meski ditulis dengan bahasa yang sederhana, ringan, Kho Ping Hoo selalu menyelipkan pesan-pesan filosofis yang penuh dengan etika, logika, dan estetika yang merupakan komponen utama dalam keilmuan filsafat. Kho Ping Hoo juga memposisikan manusia terpelajar (cinta baca dan tulis) yang dimetaforakan dengan ciri selalu membawa maopit, sebagai sosok yang tangguh menghadapi setiap dinamika masyarakat. Kesan terhadap Kho Ping Hoo itu terbawa hingga dewasa. Meski buku-buku Kho Ping Hoo untuk sementara mulai ”ditinggalkan”, akan tetapi kesan itu sedemikian kuat terbawa dan terpatri dalam memori.

Hasil Dialektika
Menulis merupakan hasil dari dialektika antara membaca dan mengkaji/diskusi. Menulis adalah sintesis yang dihasilkan dari tesis (membaca) dan antitesis (ruang mengkaji) yang bergumul dalam diri dan benak. Orang yang mencintai membaca, pada umumnya akan merasakan dua hal. Yaitu, kepuasan batiniah, tercerahkan, karena mendapatkan stimuli wacana yang tidak diketahui sebelumnya. Dan yang kedua, sebaliknya, justru penasaran yang pada akhirnya melahirkan beragam pertanyaan, untuk menggali lebih jauh tentang makna dan nilai yang terkandung dalam buku/bacaan yang dilahap sebelumnya.
Pertanyaan itu tidak mungkin dijawab oleh buku yang didarasnya. Buku hanya memberi dia bahan untuk bertanya, bukan bahan untuk menjawab. Di titik inilah ruang mengkaji pertanyaan-pertanyaan yang semburat dalam otak harus menemukan ruang berbagi yang membebaskan pikiran dari keterbelengguan kepenasaranan dan beragam tanda tanya di benak yang bebas ide dan nilai. Ruang atau medium itu adalah diskusi/kajian.
Di sisi lain, hanya mengkaji tidaklah cukup untuk memuaskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berjejaring di otak. Hasil dari mengkaji, dalam konteks tertentu hanya memuaskan stimuli kepenasaranan dari rasa belum tahu yang sebelumnya menjejal di dalam otak. Sementara, dorongan untuk ”menggugat” atas ketidakpuasan atas apa yang didapat di medium buku dan forum kajian belum tersalurkan. Hanya menulislah, dengan tema apapun, yang dapat menjembatani dan mengobati naluri menggugat dan berontak atas belenggu kebertanyaan itu.
Proses itu pulalah yang dirasakan secara pribadi oleh penulis selama bergulat dalam dunia tata kalimat/kata, istilah lain menulis, selama ini. Bahwa, membaca hanyalah satu awalan, dari sebuah proses panjang yang mesti harus dilalui untuk mencapai ”orgasme” intelektualitas. Jadi, awalilah dari membaca, berproseslah dalam forum kajian-kajian, dan akhiri naluri ”menggugat” dan ”pemberontakan” Anda melalui (saluran) menulis! (*)

Bawah Titian, 20 Mei 2010

*) Tayang di Sindikat Baca, Edisi Satu Tahun (Juli 2010)

No comments:

Post a Comment