Tuesday, August 24, 2010

Pentingnya Guru Motivator

SUATU hari di sebuah kelas di sebuah SMP. Andi terlihat murung. Dia gelisah. Dari raut mukanya terpancar kekurang gairahan. Matanya memang memandang Ibu Ratnani, guru Bahasa Inggris, yang sedang menerangkan materi pelajaran tentang gramatika present ense. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ibu Ratnani menangkap bahasa tubuh sang murid. Kemudian, dia mendekatinya. ”Kenapa kamu kurang konsentrasi,” tanya Ibu Ratnani. Andi menjawab, ”Saya kurang bersemangat, bu. Entah kenapa?.” Ibu Ratnani tersinggung. Kemudian, dia menghukum Andi. Dia meminta Andi keluar.
***
Benarkah tindakan yang dilakukan Ibu Ratnani? Ilustrasi di atas menunjukkan betapa sosok guru hanya memperlakukan muridnya sebagai objek pengetahuan, sementara guru adalah figur sentral dan subjek yang berhak menentukan segalanya atas diri sang murid. Ditinjau dari sisi pembelajaran, idealnya sang guru tak hanya memperlakukan sang murid sebagai sosok yang pasif, tetapi harus aktif ikut menentukan keaktifannya. Pada saat tahu kondisi psikologis sang murid, guru sebaiknya bukannya mengambil tindakan reaktif, tapi justru menyikapinya dengan bijak. Bahkan, tidak menutup kemungkinan guru harus mampu memberikan motivasi kepada sang siswa agar bersemangat mengikuti pelajaran.
Ilustrasi di atas juga menunjukkan kecenderungan bahwa peran guru tidak hanya sebatas sebagai pengajar dan pendidik di sekolahan. Namun, peran guru sebagai motivator mutlak dibutuhkan. Pemberian motivasi sangat mendesak dilakukan oleh seorang guru agar kemampuan siswa dapat tereksplore secara maksimal.
Secara teori, motivasi istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang memberikan energi bagi seseorang (siswa) dan apa yang memberikan arah bagi aktivitasnya. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi, dan insentif. (Gage dan Berliner, 1984). Dari pengertian istilah motivasi di atas, kita dapat mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa. Ada banyak teori tentang motivasi. Namun, secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandangnya, yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic, humanistic, social learning, dan social cognition.
Dalam pandangan Teori Motivasi dari Abraham Maslow (1943-1970), secara garis besar manusia, termasuk dalam hal ini adalah peserta didik, mempunyai lima kebutuhan dalam hidupnya. Yaitu, kebutuhan fisiologis (physiological needs) berupa rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya; kebutuhan rasa aman (safety needs), yakni merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya; kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (love needs), berafiliasi dengan orang lain, diterima, dan memiliki; kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), pengertiannya butuh berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan, pengakuan; serta, kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs).
Khusus untuk kebutuhan yang kelima, Maslow membaginya lagi menjadi tiga hal. Yaitu,
kebutuhan aspek kognitif, dalam artian kebutuhan untuk mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan aspek estetik, mencakup keserasian, keteraturan, dan keindahan; serta kebutuhan aspek aktualisasi diri, upaya mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya.
Merujuk Teori Maslow, dari contoh kasus di atas maka siswa perlu diberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi dirinya sendiri. Artinya, pemberian kesempatan tersebut akan menyebabkan motivasi siswa meningkat, sehingga peserta didik dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tersebut.
Pengertiannya, dengan mengacu Teori Maslow, seorang siswa bila tahapan kebutuhannya sudah tercukupi, baik dari sisi fisiologis, rasa aman, dan cinta, maka kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri secara tidak langsung akan menjadi capaian berikutnya. Dari gambaran di atas dapat dipahami, guru jika mau memerankan diri sebagai sosok motivator, seharusnya dapat menyelidik dengan mencari tahu penyebabnya, apakah kebutuhan-kebutuhan fisiologis, rasa aman, hingga cinta, sudah terpenuhi atau belum. Sehingga, guru akan menemukan jawaban kenapa muridnya tidak mempunyai minat atau motivasi untuk esteem needs dan self-actualization needs. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah lima tahapan yang sudah digariskan Maslow, untuk sekadar hanya menggunakan satu teori tentang motivasi, sudah dilaksanakan oleh para guru agar mampu memerankan diri sebagai guru motivator? Rasanya, tidak perlu hanya dijawab secara vokal, akan tetapi dilaksanakan dengan tindakan nyata. (*)

Bawah Titian, 23 Juni 2010

No comments:

Post a Comment