Tuesday, August 24, 2010

Quo Vadis Gerakan Mahasiswa Pasca 1998

Kenapa mahasiswa sekarang tak mampu mengulang spirit gerakan mahasiswa era 1998? Pertanyaan reflektif tersebut senantiasa mengemuka dalam setiap diskusi-diskusi gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Faktanya, gerakan mahasiswa sekarang cenderung sporadis dan tidak tuntas.
Contoh paling dekat terkait aksi untuk menyikapi skandal Bank Century. Saat mahasiswa tingkat pusat (baca: Jakarta) ramai-ramai menggelorakan isu yang diyakini akan berbuah drama pemakzulan Wakil Presiden Boediono, apakah hal serupa dilakukan mahasiswa daerah? Memang, isu tersebut juga direspons mahasiswa daerah, tetapi tak menyeluruh, tidak massif. Ada kesan aksi di Jakarta berjalan sendiri. Dimana letak kekurangan (untuk tidak mengatakan kesalahan) terhadap aksi mahasiswa era pasca 1998?
Pertama, kurang dipahaminya faktor common enemy (musuh bersama) secara tuntas. Mahasiswa eksponen 1998 berhasil menggulingkan rezim orde baru karena pemetaaan lawan abadi, musuh bersama, yakni Soeharto, sangat tuntas. Hampir seluruh mahasiswa ketika itu sepakat menjadikan jendral bintang ”lima” tersebut sebagai musuh bersama. Kesadaran ini pada akhirnya menimbulkan ”dendam” yang sama di kalangan mahasiswa untuk segera mengakhiri rezim militeristik dan despotik Soeharto.
Kedua, konsistensi terhadap isu. Salah satu penyebab kenapa aksi mahasiswa era 1998 sukses besar adalah karena adanya konsistensi dalam mengawal isu primer dan sekunder.
Isu primer (nasional)-nya adalah turunkan dan adili Soeharto, selain isu reformasi hukum, ekonomi, dan politik. Yang perlu digarisbawahi, ada kesepakatan antar elemen gerakan, termasuk dengan mahasiswa di daerah dalam mengawal isu nasional saat menjalankan aksinya. Mahasiswa di daerah bisa (dan boleh) memunculkan isu lain, tetapi ruhnya harus tetap reformasi.
Ketiga, proses konsolidasi yang matang. Konsolidasi adalah bagian terpenting dalam menata gerakan. Konsolidasi berfungsi memperkuat jaringan, mengevaluasi tindakan-tindakan yang telah dilakukan, serta mengantisipasi munculnya anasir-anasir baru yang berpotensi merusak masifitas gerakan. Yang penulis ketahui dan pelajari, mahasiswa eksponen 1998 memahami pentingnya konsolidasi ini.
Karena itu dulu, mahasiswa familier dengan istilah informal meeting. Kegiatan ini diadakan tidak di tempat yang sama, tetapi berpindah-pindah. Forum ini menjadi ajang aktivis mahasiswa melakukan konsolidasi gerakan. Di forum ini pula perkembangan gerakan sekecil apapun, mulai isu hingga variannya, disampaikan dengan tuntas. Ini penting agar gerakan mahasiswa di pusat dan daerah, nyambung. Menjadi gerakan yang serentak dan menyeluruh.
Selain tiga hal di atas kurang diantisipasi secara cermat, ada kecenderungan negatif lain yang acap kali dilakukan oleh mahasiswa dalam aksi-aksinya dewasa ini. Mahasiswa terjebak dengan dikotomi antara gerakan moral dan politis. Maksudnya, kawan-kawan mahasiswa jarang melakukan kritisisme terhadap bentuk penyelewengan negara karena khawatir (atau paranoid?) gerakannya dimanfaatkan secara politis oleh politisi/partai politik.
Sikap ini sebenarnya kontraproduktif karena pada akhirnya malah menjadikan mahasiswa tidak melakukan apa-apa, selain hanya mencela. Sikap ini perlu dihindari. Yang harus dipahami adalah setiap gerakan yang dilakukan mahasiswa akan selalu berimplikasi politik karena target golnya adalah negara (termasuk pemerintahan daerah), tetapi ruh perjuangannya harus tetap moral. Karena inilah yang membedakan antara gerakan mahasiswa dengan gerakan partai politik, meski target golnya adalah sama: negara.
Andai beberapa hal di atas dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh mahasiswa era kini, penulis yakin romantisme 1998 terulang. Taring mahasiswa kembali diperhitungkan. Bukan karena berpotensi memicu people power, tetapi mahasiswa akan menjadi kekuatan penyeimbang sekaligus kontrol yang efektif terhadap segala bentuk penyelewengan yang dilakukan negara. (*)

Bawah Titian, 3 April 2010

No comments:

Post a Comment