Sunday, July 4, 2010

Momentum Perumusan Kembali Khittah NU

Pemilihan gubernur-wakil gubernur (pilgub) Jawa Timur telah usai. Bagi kalangan nahdliyyin selesainya perhelatan pemilihan Jawa Timur 1 ini cukup melegakan. Sebab, disadari atau tidak, suka atau tidak suka, pertarungan pilgub putaran kedua 4 November lalu sedikit banyak menguras energi kalangan NU. Hal ini bisa dimaklumi lantaran pasangan calon yang maju ke babak ”final” adalah kader-kader NU. Mereka harus saling ”bertarung” untuk menjadi pemenang.
Khofifah Indar Parawansa, yang berpasangan dengan Mudjiono (Kaji) adalah ketua umum PP Muslimat NU, organisasi ibu-ibunya nahdliyyin. Pasangan yang diusung PPP dan gabungan parpol, serta didukung PDIP ini dipaksa harus bertarung dengan saudara mudanya, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), yang merupakan cawagub Soekarwo (Karsa). Gus Ipul adalah ketua umum PP GP Ansor, organisasi kepemudaan NU. Pasangan Karsa diusung oleh PAN, dan Partai Demokrat, serta didukung Partai Golkar, PKB, dan PKS.
Terlepas siapa yang akan menjadi pemenangnya kelak, karena menunggu penghitungan suara secara manual dari KPUD Jawa Timur pada 11 November mendatang, hal yang cukup menarik dicermati adalah terkristalisasinya pertarungan antar pendukung dari trah dan pembesar NU di belakang masing-masing pasangan calon.
Menarik karena para petinggi dan tokoh berpengaruh di kalangan NU itu mempunyai interpretasi yang berbeda-beda tentang khittah (garis perjuangan) dan tujuan politik NU dalam upayanya untuk memenangkan kandidat yang didukungnya.
Sudah jamak diketahui bahwa sejumlah petinggi PB NU dan PW NU ada di balik pasangan Kaji. Bahkan, tidak segan-segan beberapa elite NU ikut turun gunung dan menggalang massa untuk memenangkan pasangan nomor urut 1 ini. Dalam beberapa kesempatan bertemu dengan nahdliyyin, sejumlah elite PB NU sering menyatakan bahwa yang dilakukannya adalah atas nama pribadi, bukan institusi. Sebab, NU secara institusi (kelembagaan) tetap netral, tidak berpolitik dan hanya fokus terhadap gerakan sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Disisi lain sejumlah elite PW NU dan tokoh-tokoh pondok pesantren (ponpes) lain yang juga sangat berpengaruh kuat di kultur NU juga melakukan manuver yang tidak kalah gencarnya untuk memenangkan pasangan Karsa. Bahkan, tanpa tedeng aling-aling dan secara terbuka kelompok ini mengeluarkan fatwa politik (taushiyah) untuk mendukung pasangan nomor urut 5 tersebut. Kelompok ini pun beranggapan bahwa apa yang dilakukannya tidak menyalahi tujuan politik NU.

Bias Tujuan Politik NU
Jika dicermati lebih jauh, terjadinya pemahaman berbeda tentang garis perjuangan NU dalam kasus di atas adalah karena adanya perbedaan interpretasi tentang tujuan politik NU. Dalam banyak literatur tentang NU disebutkan bahwa organisasi yang didirikan pada 1926 ini memang menjamin upaya-upaya peningkatan kondisi sosio ekonomi pendukung tradisionalisnya. Tujuan itu kadang-kadang tersirat dalam literatur NU, tetapi jarang dibahas secara terang-terangan. Meski demikian, pentingnya motivasi politik ini terlihat lebih jelas daripada forum-forum dalam partai maupun korespondensi internal partai.
Secara lebih jelas Greg Fealy (2003) menyatakan, tujuan politik NU terdiri dari tiga bagian utama. Pertama, menyalurkan dana pemerintah kepada masyarakat NU, terutama untuk peningkatan fasilitas pendidikan dan keagamaan seperti pesantren, madrasah, dan juga membangun atau merawat pranata sosial seperti klinik kesehatan, panti asuhan, dan balai pertemuan.
Kedua, berusaha mendapatkan peluang bisnis dari pemerintah bagi NU dan para pendukungnya. Peluang ini akan memberikan keuntungan langsung kepada mereka yang mampu mendapat kedudukan dan dianggap dapat membantu Islam dan umat pada umumnya. Dan, tujuan politik NU ketiga adalah mendapatkan kedudukan bagi anggota NU dalam birokrasi. Setelah kemerdekaan, birokrasi dipandang sebagai jalan menuju mobilitas dan status sosial. Masuknya muslim tradisional dalam birokrasi dipandang akan meningkatkan kedudukan NU di masyarakat Indonesia, sekaligus memperkuat suara umat di kalangan pemerintah.
Masalahnya adalah bahwa apa yang dilakukan masing-masing elite NU di atas dalam hal dukungannya kepada pasangan Kaji maupun Karsa, sudah sesuai dengan tujuan politik NU, khususnya yang ketiga. Masing-masing kubu menganggap pihaknya tidak salah, memiliki otoritas dan lebih pantas untuk mewakili tujuan politik NU: meningkatkan kedudukan nahdliyyin di masyarakat Indonesia.
Tetapi faktanya, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Kalangan grassroots nahdliyyin menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh dua kubu elite NU tersebut tidak lebih merupakan untuk kepentingan politik pribadi masing-masing, bukan tujuan politik NU yang sebenarnya.
Jika kondisi ini tidak segera disadari dan dijadikan bahan evaluasi, dalam waktu yang tak terlalu lama NU akan ketinggalan semakin kereta. Hanya dibutuhkan suaranya saja saat ada momentum suksesi. Hanya dibutuhkan untuk mendorong mobil mogok. Setelah mobil jalan, pendorong ditinggalkan.

Evalusi dan Refleksi
Dari beberapa permasalahan di atas, ada banyak hal yang harus dilakukan oleh NU secara institusi untuk melakukan pembenahan. Pertama, NU harus berani merumuskan kembali garis perjuangan dan tujuan politik NU. Terjadinya bias pemahaman terhadap tujuan politik NU, seperti dalam kasus pilgub di atas, adalah buah dari kurang konkretnya instrumen-instrumen yang harus disiapkan untuk mencapai tujuan politik tersebut. Dan, forum serta momen yang tepat untuk merumuskan khittah dan tujuan politik NU kembali adalah Muktamar NU 2009. Hal ini dengan asumsi apabila Muktamar NU 2009 tidak molor, karena Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi saat ini, terpilih dalam Muktamar 2004 di Donohudan, Solo, Jawa Tengah.
Kedua, NU harus tegas memberikan sanksi, di semua jajaran struktural, terhadap segala bentuk pelanggaran garis perjuangan NU. Misalnya, harus segera mundur dari jabatan strukturalnya apabila terlibat jauh dalam politik praktis. Selama ini, sanksi yang diberikan terhadap pelanggar khittah, yang membawa NU masuk terlalu dalam pada wilayah politik praktis, tidak jelas serta masih terkesan malu-malu dan segan.
Sikap ini idealnya harus dibuang jauh-jauh, mengingat ke depan ada banyak momentum yang rawan menimbulkan godaan-godaan politik yang menggiurkan. Antara lain momen Pemilu 2009, baik pemilihan anggota legislatif (pilleg) maupun pemilihan presiden (pilpres).
Ketiga, melakukan penguatan kembali basis ekonomi dan sosial. Disadari atau tidak, ikut larutnya NU dalam hiruk pikuk politik yang sesekali dibumbui konflik (ingat kasus PKB), membuat basis massa NU yang kebanyakan dari kalangan tradisional terabaikan.
Pilihan ini harus fokus digarap NU dan badan otonomnya. Apalagi ke depan NU mau tidak mau akan dihadapkan pada tantangan krisis global yang imbasnya mulai terasa.
Sekiranya tiga hal di atas mampu dilakukan secara sungguh-sungguh, penulis yakin wibawa kelembagaan NU akan terjaga. Ketegasan sikap terhadap pelanggar khittah dan pengetatan rambu-rambu yang masuk ranah politik akan membuat NU kokoh dan lebih disegani sebagai organisasi masyarakat sipil, sebagai penjaga gerakan kultural di negeri ini. Sudah saatnya pula NU kembali kepada ruh awal pendirian organisasi ini pada 82 tahun silam: menciptakan spirit pembebasan dari belenggu. Jika 1926 spiritnya adalah bebas dari segala bentuk penjajahan fisik, sekarang ruhnya adalah bebas dari penjajahan mental, serta kemiskinan struktural dan kultural. Wallahu A`lam.

Bawah Titian, 8 November 2008

No comments:

Post a Comment