Sunday, July 4, 2010

Mengawal Peradaban dengan NU

ADA tiga problem besar, selain sejumlah masalah lain, yang mengiringi hari lahir (Harlah) Ke-83 Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun ini, 2009. Ketiga persoalan itu tampaknya akan begitu dominan dan menjadi perbincangan serius di kalangan NU dalam beberapa tahun ke depan. Ketiga problem tersebut adalah ekonomi, ideologi, dan politik.
Persoalan ekonomi akan terus menjadi problem serius dari masa ke masa yang dihadapi oleh NU, karena mengutip pendapat cendikiawan muslim Indonesia (alm) Nurcholis Madjid, kalangan nahdliyin belum mentas secara ekonomi. Modal basis massa dari kalangan tradisional yang secara kultur dalam hal-hal tertentu masih menutup diri dengan teknologi, akan menjadi kendala tersendiri bagi perbaikan kehidupan secara ekonomi.
Dalam perkembangan kekinian, problem ekonomi yang dihadapi NU kian kompleks. Dampak krisis global yang menyebar ke Indonesia sejak Oktober 2008 mulai berdampak ke sektor riil. Akibatnya, perusahaan melakukan rasionalisasi produksi dengan PHK (pemutusan hubungan kerja). Secara nasional, PHK diperkirakan terjadi pada 500 ribu tenaga kerja.
Khusus Jawa Timur, hingga kini diestimasikan bahwa angka PHK sudah mencapai 10.000-30.000 tenaga kerja. PHK, yang akhir-akhir ini dilakukan banyak perusahaan, jika diteliti lebih jauh kebanyakan yang menjadi korbannya adalah kaum nahdliyyin, meski mereka adalah NU ”kultural”. Kita tidak bisa memejamkan mata atas semua fakta yang terpampang di depan mata tersebut. Sebab, NU tidak hanya bertanggung jawab menjaga ideologi, tetapi harus mampu menjadi katalisator di bidang ekonomi terhadap problem yang dihadapi umatnya.
Dari ideologi, tantangan menonjol yang harus dijawab oleh NU adalah kian maraknya gerakan transnasional, baik dalam skala nasional maupun internasional. Bentuk kekuatan ini adalah ideologisasi agama dari Timur Tengah yang ditengarai diusung organisasi plat agama yang bercita-cita mendirikan Negara Islam. Bentuk konkretnya antara lain Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan Majelis Mujahidin.
Perkembangan gerakan ideologi ini dari ke hari kian membesar dan patut diwaspadai. Dalam banyak kasus pengaruh gerakan transnasional di Indonesia sudah mulai masuk pada ranah-ranah yang dulu merupakan basis kultural dari NU. Dalam sebuah acara diskusi kecil beberapa waktu lalu penulis sempat terkaget dengan pengakuan seorang teman yang mengaku resah dengan kian mengguritanya gerakan ini. Seorang aktivis muda NU mendadak berubah haluan menjadi pengikut transnasional karena tidak menemukan peran NU sebagai perubahan sosial. Sebuah problem yang wajib dipikir dan diperhatikan oleh NU.
Di sisi politik, jamak dimafhumi bahwa Tahun 2009 adalah Tahun Politik. Pada tahun inilah NU benar-benar akan menghadapi tantangan yang tidak enteng. Konsistensi NU dalam mengawal demokrasi dengan berdiri di tengah-tengah organisasi sosial politik dipertaruhkan. Mampukah NU menjawab tantangan-tantangan tersebut?

Sikap Kita
Seharusnya NU mampu dan dapat menangkal sekaligus mengatasi tantangan yang ada di depan mata tersebut. NU punya modal yang besar untuk mengatasinya, terlepas banyaknya sisi kelemahan pada NU seperti lemahnya rekrutmen pengkaderan dan belum jelasnya rumusan visi sosialnya.
Social capital yang utama NU adalah memiliki jamaah yang tersebar di seluruh tanah air, bahkan di luar negeri, sebagian besar di pedesaan dan perkotaan. Sumber daya ini kalau mampu di-manage dengan baik, tentu akan membuahkan modal ekonomi yang sangat tangguh dan fundamental.
NU juga memiliki prinsip-prinsip fundamental yang terbukti mampu sustainable menjawab tantangan zaman, baik dari sisi ideologi maupun politik. Sepanjang prinsip ini dikembangan dengan sungguh-sungguh menjadi landasan dalam mengambil semua keputusan, bukan tidak mungkin tantangan dari sisi ideologis dan politik akan mampu terjawab. Greg Fealy, peneliti NU dan pengajar di Universitas Monash, Australia, dalam bukunya berjudul Ijtihad Politik Ulama (2003), dengan bagus mendiskripsikan prinsip dasar NU itu menjadi tiga kategori utama yang antara satu dengan lainnya berkaitan. Yakni, kebijaksanaan, keluwesan, dan moderatisme.
Prinsip kebijaksanaan dalam hal ini digunakan dalam pengertian yang netral. Yakni, pengambilan tindakan yang kondusif bagi upaya-upaya memperoleh manfaat atau menghindari kerugian. Ada tiga kaidah yang digunakan NU untuk menghindari risiko akibat buruk. Yakni, dar’al mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih (menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan), akhaffud-dararain (bila dihadapkan pada pada dua bahaya atau lebih, pilih salah satu yang risikonya paling kecil), dan bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya (lain).
Sedangkan prinsip luwes mengandung arti keluwesan dalam pengambilan keputusan sebagai bagian dari penerapan kaidah fiqih menimalkan risiko yang akan dihadapi oleh umat. Sikap luwes, khususnya dalam ranah politik, juga mengandung maksud darurat memperbolehkan hal yang semula dilarang dan apa yang tidak tercapai 100 persen jangan ditinggalkan (dibuang) hasil yang cuma sebagian (kurang dari 100 persen).
Sementara moderatisme (tawasuth) dapat diartikan sebagai suatu keinginan untuk menghindarkan tindakan yang ekstrem dan bersikap hati-hati dalam bertindak dan menyatakan pendapat. Moderatisme adalah, karena menurut KH Achmad Siddiq, mantan Rais Am PBNU, merupakan sintesa antara dua sikap yang ekstrim.
Karena itu, dengan bermodalkan prinsip-prinsip azasi tersebut, ke depan NU harus melakukan beberapa hal untuk menjawab tantangan sosial kontemporer. Pertama, penataan organisasi (institusional building). Jika tidak ada perbaikan organisasi yang membuat struktur NU lebih berfungsi secara efektif dan efisien, program sebaik apapun akan sulit terlaksana. Hal ini penting agar NU dengan segala perangkatnya dapat berfungsi dan bersinergi mewujudkan visi jam`iyyah.
Kedua, peningkatan ekonomi umat merupakan langkah strategis bagi penciptaan tatanan masyarakat yang berkeadilan dalam bidang ekonomi, khususnya menyangkut pendistribusian yang sampai saat ini masih timpang. Sudah waktunya bagi NU untuk mengembangkan organisasi berbasis entrepeneurship, holding company dalam hal manajemennya, bukan berbasis tradisional.
Ketiga, penguasaan teknologi informasi. Perkembangan ini tidak hanya penting diansitipasi sejak dini, tetapi juga harus dilakukan massalisasi penguasaan pengetahuan dan keahlian dalam bidang teknologi informasi, karena kalau tidak, NU akan semakin tertinggal jauh.
Keempat, membangun jaringan kerja nasional dan internasioal. Ini harus dilakukan, jika tepat sasarannya akan memperkuat dukungan dan mempercepat pencapaian visi dan misi NU. Jadi, perlu dirancang berbagai program dan kegiatan-kegiatan yang nyata dan dapat dirasakan oleh masyarakat di lingkungan NU.
Kelima, fokus pada peningkatan pelayanan sosial, kesehatan, dan penguasaan skill tenaga kerja dengan menggandeng lembaga-lembaga kekaryaan. Juga, peningkatan kualitas pendidikan masyarakat di lingkungan NU agar menghasilkan peserta didik yang bermutu dan untuk selanjutnya menyumbang pada kualitas umat (NU).
Keenam, NU perlu mendiskusikan ulang tema-tema ideologi yang selama ini telah ada untuk dikontekstualisasikan untuk menjawab perkembangan dan tantangan yang dihadapi umatnya.
Jika peran-peran di atas mampu dimainkan dengan baik oleh NU, bukan tak mungkin NU akan menjadi organisasi yang tidak hanya mampu menjawab problem realitas, tetapi juga mampu menjadi pengawal peradaban. Wallahu A`lam. (*)

No comments:

Post a Comment