Sunday, July 4, 2010

Vis a Vis Negara dan Buku

Dalam sepekan terakhir ini para pegiat dan pecita buku disibukkan dengan perang opini antara negara dengan George Junus Aditjondro, penulis buku Gurita Cikeas. Buku tulisan ilmuwan yang menetap di Australia itu menuai kontroversial, karena mengupas benang kusut aliran dana Bank Century yang diduga mengalir kepada Cikeas (Presiden SBY).
Ketegangan antara negara (kekuasaan) dengan buku di atas hanya satu di antara puluhan tamsil dari reaksi kekuasaan terhadap energi dahsyat buku.
Beberapa hari sebelumnya Kejaksaan Agung mengumumkan "fatwa haram" peredaran lima judul buku, karena dinilai mengganggu ketertiban umum. Kelima buku itu, Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karangan John Roosa; Suara Gereja bagi Umat Tertindas, karya Socrates Sofyan Yoman; Lekra Tak Membakar Buku, karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; Enam Jalan Menuju Tuhan, gubahan Darmawan M.M.; dan Mengungkap Misteri Keberagamaan Agama, karangan Syahrudin Ahmad. Keputusan Kejagung ini menuai kritikan dari berbagai kalangan. Kejagung menutup tahun 2009 dengan prestasi kurang membanggakan.
Fakta pemberangusan karya intelektual di atas semakin mempertebal kesimpulan bahwa negeri ini sedemikian represif dalam menyikapi gagasan-gagasan pemikiran. Sebelum ini, begitu banyak karya intelektual yang muncul tidak dilawan dengan iklim yang terhormat: tesis, antitesis, dan sintesa. Gagasan yang mencuat ke permukaan, tidak dilawan dengan menciptakan buku putih (tandingan/antitesis), melainkan dengan asal berangus, cekal, dan dilarang beredar.
Masih ingat dalam ingatan, pada 24 November 2008, Ketua DPR RI (ketika itu) Agung Laksono meminta Kejagung mencegah beredarnya buku yang berisi tudingan Adam Malik, mantan wakil presiden RI, sebagai agen CIA. Buku itu berjudul Legacy of Ashes, The History of CIA. Buku ini dibuat Tim Weiner, wartawan koran The New York Times. Weiner menceritakan sejarah CIA dan perannya dalam peristiwa politik internasional, termasuk di Indonesia pada 1965. Dalam buku itu juga dituliskan hubungan Soekarno dan PKI. Disebutkan, CIA memberikan US$ 10 ribu untuk mendukung peran serta Adam Malik memberantas Gerakan 30 September. Sejarawan LIPI Asvi Marwan Adam membenarkan adanya bantuan AS dan senjata. Alasannya, buku lain menyebut dana itu diserahkan lewat Adam Malik. Namun, itu tak berarti Adam Malik agen CIA.
Setahun sebelumnya, persisnya 10 Mei 2007, Kejari Ponorogo, Jawa Timur, merazia buku sejarah untuk SMP dan SMA yang dinilai mengaburkan fakta peristiwa Gerakan 30 September 1965. Buku sejarah yang diamankan adalah buku yang berisi tentang Gerakan 30 September tanpa disertai PKI. Kejari menilai ini mengaburkan fakta bahwa pelaku Gerakan 30 September adalah PKI. Salah satu buku yang ditarik adalah sejarah nasional karangan Wayan Badrika.
Vis a vis kejaksaan (Negara) dengan buku juga berlanjut pada 30 Juli 2007. Ketika itu,
Kejari Kota Bogor memusnahkan dan membakar 1.340 buku pelajaran sejarah untuk SMP kurikulum 2004 di depan gedung kejaksaan. Isi buku itu dinilai mengaburkan dan memutarbalikan sejarah sebenarnya. Pemusnahan buku itu didasarkan atas Keputusan Jaksa Agung RI No : KEP-019/A/JA/03/2007 tanggal 5 Maret 2007 tentang larangan beredar barang cetakan buku-buku Teks Pelajaran Sejarah SMP/Madrasah Tsanawiyah serta SMA, SMK dan Madrasah Aliyah yang mengacu kepada kurikulum 2004. Hal itu diperkuat oleh Instruksi Jaksa Agung RI Nomor INS-003/A/JA/03/2007 tanggal 5 Maret 2007 tentang tindakan pengamanan terhadap larangan beredar barang cetakan buku teks pelajaran sejarah.
Masih di tahun yang sama, tanggal 30 April 2007, Kejati Nusa Tenggara Timur menyita ratusan buku pelajaran SD sampai SMA di sejumlah toko buku di Kota Kupang. Buku-buku tersebut dinilai menyimpang dari fakta sejarah dan mengandung nilai-nilai ajaran Komunis, Marxisme, dan Leninisme.
Di tahun 2006, tak terdeteksi upaya pemberangusan buku. Namun, setahun sebelumnya, tepatnya 22 November 2005, Kejati Jawa Timur menyelidiki atlas bergambar bendera Bintang Kejora yang sering digunakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bahkan, Kejati juga menyita 3.284 buku peta setebal 96 halaman itu dari berbagai toko buku di Surabaya dan perusahaan yang menerbitkan. Diduga, ada sekitar 2 ribuan atlas sejenis yang terlanjur beredar di sekolah-sekolah dan toko-toko buku. Untuk menarik kembali atlas-atlas tersebut, Kejati menerbitkan surat kerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional serta kepolisian agar segera merazia di tiap-tiap sekolah dan toko buku.
Apapun dalihnya, cara-cara preman yang diterapkan dalam menyikapi gagasan dan pemikiran melalui buku patut dikutuk. Sudah seharusnya Negara belajar menghormati kebebasan berpendapat dan berpikir yang dianugerahkan Tuhan. Kalaupun tidak sesuai dengan meanstream yang berkembang, bukan dengan cara represif seperti itu yang seharusnya dilakukan, melainkan dengan cara paralel seperti membuat buku putih atau menciptakan dialog kritis.
Sadar atau tidak sadar, cara-cara yang ditempuh Negara telah melanggar UU No 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. Khususnya Bab III pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Bukankah memberangus pemikiran melalui cara-cara fasis itu sama halnya dengan menerapkan ideologi lain yang kita berangus? Berarti apa bedanya negara dengan mereka? (*)
Bawah Titian, 28 Desember 2009

No comments:

Post a Comment