Sunday, July 4, 2010

Alarm Bahaya Pemilu 2009

Drama pemilihan gubernur-wakil gubernur (Pilgub) Jawa Timur belum berakhir.Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan pasangan Kaji (Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono) atas hasil pilgub yang ditetapkan KPU Jawa Timur. MK memutuskan, pemilihan di Kabupaten Bangkalan dan Sampang harus diulang. Sementara untuk Kabupaten Pamekasan hanya penghitungan suaranya saja yang harus diulang.
Putusan MK ini mau tidak mau membawa implikasi serius terhadap pelaksanaan Pemilu 2009. Sebab, pada Januari 2009 mendatang, KPU Jawa Timur dan KPU kabupaten/kota se Jawa Timur harus sudah mulai mempersiapkan tahapan-tahapan Pemilu 2009. Sebab, Pemilu 2009 bakal digelar April 2009. Tetapi kini, tahapan-tahapan pemilu itu terancam tertunda, karena, jika tidak ada halangan, KPU Jawa Timur merencanakan pelaksanaan pilgub ulang di Bangkalan dan Sampang pada Januari mendatang.
KPU Jawa Timur, serta KPU Kabupaten Bangkalan dan Sampang harus bekerja keras dalam 60 hari ke depan. Mereka harus lebih memfokuskan diri pada pilgub ulang ini jika tidak ingin kasus penyelewengan suara pada pilgub putaran kedua kembali terjadi.
Keruwetan ini semakin menambah benang kusut persiapan KPU Jawa Timur dalam menyiapkan pemilu. Sebelumnya, sudah ada beberapa agenda yang belum tuntas terkait persiapan pemilu. Pertama, saat ini mayoritas keanggotaan KPU kabupaten/kota se Jawa Timur telah habis. Sejauh ini tahapan seleksi atau rekrutmen anggota KPU kabupaten/kota baru menyelesaikan tahap seleksi wawancara dan psikotes.
Sedianya, pelaksanaan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) calon anggota KPU kabupaten/kota akan dilaksanakan pada awal hingga Desember ini. Karena putusan MK mengisyaratkan belum finalnya drama pilgub, maka tugas KPU Jawa Timur kembali terbengkalai. Sangat mungkin uji kelayakan dan kepatutan yang pelaksanaannya juga dilakukan oleh KPU Jawa Timur tidak akan terlaksana dalam waktu dekat. Kalau pun hal itu bisa dilakukan, dikhawatirkan prosesnya tidak berjalan dengan baik karena waktunya tergesa-gesa. Ini tentu problem yang tidak bisa dianggap remeh dan sebelah mata yang bisa menjadi batu sandungan di masa mendatang.
Kedua, kalaupun telah terpilih anggota KPU kabupaten/kota yang baru, problem anyar masih muncul. Yakni, kesiapan anggota KPU kabupaten/kota baru dalam melaksanakan tahapan pemilu. Dengan limit waktu yang hanya empat bulan, mereka harus menyiapkan tahapan-tahapan pemilu yang sedemikian banyak. Mulai tahap sosialisasi, pembentukan PPK (panitia pemilihan kecamatan) dan PPS (panitia pemungutan suara), penyiapan dan pembuatan regulasi tentang kampanye, serta tahapan-tahapan lainnya.
Padahal, hampir bisa dipastikan dari lima anggota KPU kabupaten/kota nanti, paling banter hanya dua muka lama yang kembali dipercaya sebagai anggota lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Jika demikian halnya, maka jelas tiga anggota KPU kabupaten/kota yang baru butuh adaptasi. Tentu ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sementara, mereka hanya punya waktu empat bulan untuk menyiapkan kerja berat pesta demokrasi.

Mewaspadai Golput
Jika beberapa hal di atas tidak segera diatasi dengan baik oleh KPU Jawa Timur, maka hantu golput bukan tidak mungkin muncul kembali. Bahkan, tidak menutup kemungkinan angkanya bisa lebih tinggi.
Kita cukup miris dengan angka golput pada pilgub Jawa Timur tahap kedua 4 November 2008 lalu yang menembus angka 46 persen. Dari 29.280.470 juta pemilih di Jawa Timur, yang menggunakan hak pilihnya hanya 15.399.665 juta jiwa. Sedangkan 13.469.016 juta pemilih (46 persen) tak menggunakan hak pilihnya alias golput. (Jawa Pos, 12/11/2008). Angka golput pada putaran kedua ini meningkat cukup signifikan. Pada putaran pertama tercatat ”hanya” 38,37% suara atau 11.152.406 juta pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Potensi golput dalam Pemilu 2009 masih tinggi karena pada pemilu mendatang ada perubahan yang akan diterapkan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pemilu. Yakni, dari mencoblos, menjadi mencontreng. Banyaknya jumlah parpol peserta pemilu (38 partai) dan jumbonya ukuran surat suara (54x84 cm) juga semakin menambah daftar panjang kepelikan pemilu.
Bisa jadi, lantaran sistemnya yang boleh dibilang ruwet dan seringnya pelaksanaan pemilihan, baik pilkada maupun pilkades, membuat masyarakat enggan, bosan, kurang paham, dan kurang peduli dengan pemilu. Simulasi yang digelar oleh KPU di Jakarta adalah salah satu contohnya.
Sejumlah pemilih, misalnya, mengaku belum mengetahui bahwa tanggal pemungutan suara pemilu adalah 9 April 2009. Ironinya, pengakuan itu terlontar dari bibir seorang mahasiswi yang secara kapasitas dan wawasan seharusnya lebih tahu. Pengetahuan ibu-ibu jauh lebih ”parah”. Sebagian dari mereka mengaku tidak tahu sama sekali tentang penyelenggaraan pemilu. Lucunya, para lansia itu justru menganggap simulasi tersebut sudah pemilu sesungguhnya (Jawa Pos, 30/11/2008). Padahal simulasi itu dilakukan di kawasan perkotaan yang lebih dekat dengan informasi. Kita bisa membayangkan, bagaimana jika di pedesaan?

Yang Harus Dilakukan
Tingginya intensitas pemilihan ini menjadi salah satu penyebab angka golput naik. Sebab, bisa jadi masyarakat saat ini sudah jenuh dengan pemilihan yang berulang-ulang, mulai tingkat desa, maupun pilkada kabupaten/kota dan provinsi, tetapi tak ada perbaikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dampaknya, semakin lama masyarakat kian apatis. Sementara, di bagian lain sosialisasi yang dilakukan sangat mepet.
Namun, ancaman tingginya angka golput dalam Pemilu 2009 tidak lantas membuat masyarakat dan penyelenggara pemilu patah arang. Apalagi, pemerintah, berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN 2008, telah mengalokasikan dana untuk keperluan penyelenggaraan Pemilu 2009 sebesar Rp 6,67 triliun, dan untuk keperluan operasional KPU sebesar Rp 793,9 miliar: sebuah angka yang sangat fantastis!
Untuk menekan minimnya angka golput, ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan. Pertama, tahapan sosialisasi pemilu harus gencar dilakukan yang diukur dengan indikator-indikator capaian. Domain sosialisasi pemilu memang ada di tangan KPU. Namun, dengan pendeknya limit waktu, plus bejibunnya keruwetan yang masih melanda pilgub Jawa Timur mau tidak mau KPU harus membuka diri.
KPU harus membuang jauh-jauh ego sentrisme dan mau bekerja sama dengan elemen-elemen masyarakat, baik parpol, ormas, hingga organisasi masyarakat sipil untuk gencar melakukan simulasi dan sosialisasi. Sebab, bisa jadi keengganan masyarakat datang memilih disebabkan ketidaktahuan mereka akan hak-hak dan sistem pemilu yang ada.
Metode sosialiasi yang selama ini hanya bersifat monologis dan sesekali dialogis, juga harus didesain ulang dengan cara yang lebih efektif serta disukai masyarakat. Misalnya, diintegralkan dengan budaya dan seni yang disukai masyarakat sasaran. Dalam banyak hal, cara-cara kultural memang lebih efektif daripada pendekatan struktural yang kaku dan formalistis.
Bagaimana harus ditekankan kepada masyarakat bahwa pemilu merupakan prasyarat demokrasi prosedural untuk membentuk pemerintahan. Pendekatan yang mampu menyentuh kepekaan masyarakat tentang pentingnya pemilu dalam kehidupan dan masa depan demokrasi, harus menjadi ruh dari sosialisasi, bukan sekadar untuk menjalankan atau menggugurkan jadwal tahapan pemilu.
Kedua, sudah waktunya para pembuat dan pengambil kebijakan di Indonesia, mulai memikirkan konsep pemilihan yang serentak (digabungkan), mulai dari pilpres, pilgub, hingga pilbup/pilwali. Selain biayanya relatif lebih sedikit, model pemilihan serentak diyakini akan lebih mampu menekan angka kejenuhan masyarakat untuk memilih. Ending-nya, tingkat partisipasi masyarakat menjadi lebih tinggi, dan angka golput pun bisa ditekan.
Ketiga, parpol dan calon anggota legislatif (caleg) harus benar-benar mengedepankan politik sebagai tanggung jawab mengejawantahkan mandat sosial, bukan hanya sekadar untuk memburu kekuasaan. Jika frame ini tidak diubah, masyarakat kian enggan datang ke TPS, parpol kian tak laku: deklarasi sekaligus sebagai pembubaran parpol, dan masa depan demokrasi kian gelap. Kita tentu tidak ingin yang demikian kan? Semoga. (*)
Bawah Titian, 3 Desember 2008

No comments:

Post a Comment