Friday, July 2, 2010

Mengelola Museum Berbasis Riset

MUSEUM adalah medium sekaligus jembatan komunikasi untuk menelisik dan mengkaji sejarah serta peradaban masa lampau. Mengkaji masa lampau diperlukan, untuk mencari benang merah agar dapat digunakan sebagai referensi sejarah untuk membangun masa sekarang. Sebagai “laboratorium” sejarah, ghalibnya museum dijaga dengan penuh kehati-hatian. Karena, merawat benda bersejarah sama halnya dengan merawat peradaban masa lampau.
Alih-alih mempelajari dan menelitinya secara simultan, sekadar merawat pun terkadang tidak mampu dilakukan. Hal ini tentu menjadi pekerjaan besar dan berat bagi masyarakat Indonesia, termasuk Jawa Timur, mengingat Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik menetapkan tahun 2010 sebagai Tahun Kunjungan Museum.
Saat melaunching programnya di Museum Seni Lukis Klasik di Kabupaten Klungkung, Bali, Menbudpar mengungkapkan keprihatinannya. Menurut Menbudpar, 90 persen dari 275 museum di Indonesia tidak layak dikunjungi. Sebab, kondisi museum tidak terawat. Kalau museum saja tak terawat, bagaimana kita bisa merawat dengan baik barang-barang di dalamnya?
Sinyalemen Menbudpar, seyogyanya disikapi dengan arif oleh para pengampu museum dan pemda pada khususnya, serta masyarakat pada umumnya. Sebab, faktanya demikian adanya. Selain kondisi museum dan koleksi bendanya yang tak terawat dengan baik, yang juga membuat masyarakat semakin enggan mempelajari ataupun sekadar mengunjungi museum adalah cara memperlakukan ”laboratorium peradaban” itu yang tidak layak.
Sebagai contoh, coba kita tengok kondisi Museum Rajekwesi di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Bukan bermaksud mencari-cari kesalahan, kondisi Museum Rajekwesi itu teramat tragis. Kepada penulis, beberapa pecinta benda purbakala di Bojonegoro sempat mengeluhkan hilangnya benda koleksi museum, antara lain fosil stegodon (gajah purba) yang ditemukan di Kecamatan Kalitidu beberapa tahun silam.
Selain hilang, koleksi museum juga teramat minim, tak lebih dari 200 koleksi!. Sebagian besar koleksi peninggalan berupa ”barang-barang baru” di atas abad XX. Seperti, entong kuningan, ani-ani, susuk, jala, seser, wuwu, kepis, perlengkapan bendi, dandang, ilir, tampah, nitikan, lumpang, plok, jodang, lesung, singkal, cikar, dan gilingan padi.
Bandingkan dengan koleksi Museum Mahameru, Blora, Jawa Tengah, sebuah kota kecil di barat Kabupaten Bojonegoro. Tapi, jumlah koleksi museum ini sudah cukup banyak, sekitar 800-an. Koleksinya pun bervariasi, mulai zaman purba, klasik, hingga terbilang kuno. Termasuk fosil kerbau, banteng, dan kura-kura air tawar (bulus) yang ditemukan oleh ahli pusat survei geologi Bandung Prof Fahroel Aziz dan Gertz van Denderg dari Wollongong University, Australia.
Lokasi Museum Rajekwesi Bojonegoro juga tidak meyakinkan dan terkesan asal-asalan, karena berada di pojok kantor Dinas Pendidikan (Disdik) Bojonegoro. Lokasinya pun tak luas, hanya sekitar 6x15 meter. Tempatnya terkesan tidak diperhatikan dan memunculkan kesan museum tidak terlalu penting, karena berada di pojok halaman parkir kendaraan bermotor. Ironis!
Meski bukan sebuah perbandingan yang setara, terkadang penulis iri dengan pengelolaan Museum Empu Tantular Jawa Timur di Sidoarjo, yang mempunyai 45 ribu lebih koleksi.
Koleksinya pun unik dan langka, termasuk symphonian. Koleksi ini merupakan satu dari empat perangkat musik piringan yang terdapat di dunia, selain di NAD (Nanggroe Aceh Darussalam), Jerman, dan Inggris. Koleksi lainnya sepeda tinggi yang diciptakan James Stanley dan William Hillman (Inggris, 1870), mangkok Ming merah (abad XIV-XVI), tempayan Myanmar (abad XVII-XIX), vas Jepang (abad XVII-XIX), sejumlah uang kuno Indonesia, naskah lontar serat Ramayana asal Tuban berupa tembang yang mengisahkan Pramu Rama dengan Dwi Shinta, wayang beber, topeng dungkrek, topeng malangan, aneka batik, serta patung Wisnu, Siwa, Nandi, Prdanya, Durga, dan Dewa Brahma. (Kompas Jawa Timur, 10 Maret 2010). Pertanyaannya, siapkah Jawa Timur menghadapi Tahun Kunjungan Museum?

Revitalisasi
Ada beberapa hal, di antara sekian banyak solusi, yang perlu dilakukan oleh pengampu kebijakan dan masyarakat secara umum agar museum memenuhi ekspektasi Menbudpar. Pertama, penataan ulang museum. Perlakuan museum seperti kasus Bojonegoro perlu direnungkan dan harus menjadi keprihatinan bersama. Bagaimana pengunjung mau mendatangi lokasi museum kalau lokasinya tidak representatif, kumuh, dan terkesan asal-asalan. Bila perlu, pemda setempat sudi menempatkan musem di sebuah lokasi yang strategis, lebih representatif, lebih layak, dan mudah dijangkau. Biar bagaimanapun penampilan luar tetap diperlukan bagi kultur masyarakat Indonesia yang menganut falsafah ajining raga saka busana.
Kedua, pengelolaan museum berbasis riset. Harus jujur diakui, paradigma yang selama ini dikembangkan dalam pengelolaan museum baru sebatas merawat dan menjaga benda koleksi. Cara pandang ini harus diubah. Para pengampu kebijakan perlu menyiapkan tim riset yang menyertai kerja-kerja pengelolaan museum agar tidak menjadi barang mati, tetapi menyimpan daya dan potensi untuk diteliti lebih lanjut dalam riset dan penelitian.
Namun, kesadaran dan kemauan untuk mengelola museum berbasis riset membutuhkan biaya yang tak sedikit.
Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dan kerja sama dari semua pihak, baik dari jajaran eksekutif maupun legislatif pemda setempat. Kebijakan yang diambil oleh Pemkab Banyuwangi yang menghapus anggaran untuk pemeliharaan dan promosi Museum Blambangan, Banyuwangi, kiranya perlu menjadi pelajaran dan tidak boleh terulang di daerah lain di Jawa Timur. (Tempo Interaktif, 11 Maret 2010). Dengan menyiapkan tim riset, koleksi museum akan menjadi ”lebih bermakna” karena keberadaannya bukan hanya sekadar untuk dilihat dan dikunjungi, tetapi bisa ditelisik, diteliti, dan dikaji makna peradaban yang terkandung di dalamnya sebagai sarana transformasi knowledge.
Ketiga, pengenalan kepurbakalaan sejak dini. Upaya ketiga ini dapat ditempuh pengelola museum dengan melakukan kerja sama dengan pihak dinas pendidikan (disdik) masing-masing agar menyerukan anak-anak sekolah, khususnya jenjang SD, SMP, hingga SMA untuk melakukan studi ke museum. Output alternatif ini cukup strategis. Selain untuk membumikan sekaligus mengaplikasikan langsung pelajaran arkeologi dan sejarah kepada anak didik, cara ini juga efektif untuk menarik minat anak didik agar suka serta mengenal sejarah dan kepurbakalaan sejak dini.
Di luar tiga step tersebut, alternatif lain yang perlu dilakukan adalah mengintensifkan promosi. Kebanyakan pengelola museum enggan mengemas marketing yang baik karena museum dianggap tidak layak jual. Paradigma lama ini harus diubah, karena pada dasarnya setiap produk, termasuk koleksi-koleksi museum, memiliki segmentasi yang berbeda. Segmentasi inilah yang perlu diambil pengelola museum dan pemda untuk merebut market share-nya. (*)

Bawah Titian, 30 April 2010

*) Artikel ini tayang di Harian SURYA Edisi 6 Mei 2010

No comments:

Post a Comment