Friday, July 2, 2010

Menulis dan Waktu

SEORANG kawan pernah mengeluh kepada saya, kenapa tulisan-tulisan yang dia dikirim tidak pernah ditayangkan. Padahal, menurut keyakinan dia, tulisannya cukup baik, secara teknis memenuhi standar menulis artikel, content-nya aktual, serta membawa gagasan/ide dan analisis yang baru. Saya yakin, problem yang dialami kawan saya itu juga pernah Anda alami, khususnya yang menyukai dunia tulis menulis artikel.
Kebanyakan yang terjadi, begitu tulisannya tidak ditayangkan, rasa dongkol, kecewa, dan marah yang selalu dominan. Itu sesuatu yang alamiah dan manusiawi. Bahkan, tak jarang semangat yang dulunya membumbung, dengan harapan tulisannya dimuat, langsung sirna saat mendapati fakta karyanya tidak ditayangkan. Fatalnya lagi, kekecewaan tersebut tak jarang berujung keputusasaan: tak mau lagi menulis! Bagaimana sebaiknya menghadapi kenyataan seperti ini?
Prof Dr Jalaluddin Rakhmat, guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, seperti dikutip Abu Al-Ghifari dalam bukunya Kiat Menjadi Penulis Sukses mengatakan, di Barat pernah ada orang yang terus-menerus membuat artikel, tulisan, dan mengirimkannya kepada berbagai media massa cetak. Namun, tidak satu pun artikelnya yang dimuat.
Berhenti menuliskah dia? Ternyata tidak. Dia tetap saja terus menulis, seolah tidak lagi memedulikan penolakan itu. Hingga suatu hari, dia sudah mengirimkan artikelnya yang ke-1.501 (!). Ternyata, tulisannya ditayangkan di sebuah media ternama. Banyak orang terkagum-kagum membaca tulisannya. Akhirnya, ribuan tulisannya yang pernah ditolak diperbaiki dan dikirimkannya lagi. Alhasil, hampir semua tulisannya, pada akhirnya malah dimuat di media massa (!).
Coba Anda bayangkan, andai dia berhenti menulis di tulisan ke-100 saja, apa yang akan terjadi? Dia tak pernah sesukses sekarang, bukan? Abu Al-Ghifari pun berpesan, ”jangan pernah sekali-kali membuang artikel/tulisan sekalipun baru ditulis. Jadi, arsipkan semua. Hargailah karya sendiri. Menghargai karya, menghargai fikiran, dan ide. Menghargai fikiran, menghargai hidup dan kehidupan.
Keyakinan itu pula yang dipegang Margaret Hill, novelis dan penulis cerpen kelas dunia. Jauh sebelum karyanya dikenal dunia, Margaret pernah mengirimkan ratusan cerpen, dan semuanya ditolak media massa. Tetapi, sekali lagi, dia tidak patah arang. Dia menikmati ”penolakan” itu sebagai masukan positif untuk menulis, menulis, dan menulis. Hingga, cerpennya baru dimuat saat mencapai bilangan ke-122 kali (!). Kini, dia menjadi seorang penulis kelas dunia.
Kesimpulannya, hampir semua penulis kaliber, sebelum goresan penanya kita baca dan nikmati, pernah mengalami penolakan. Dan itu tidak hanya berlangsung sekali atau dua kali, bahkan sering. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka tidak lantas putus asa, apalagi berhenti menulis, setiap kali mendapati kenyataan tulisannya tidak ditayangkan.
Saya terkadang berfikir, ada kalanya menulis memang harus penuh keikhlasan, dengan menyenangkan. Tidak terganggu oleh ambisi dan harapan dimuat, meski hal itu memang sulit! Saya berkeyakinan tayangnya tulisan hanya soal waktu. Saat seseorang menulis dengan ikhlas, kemampuan semakin terasah. Dan saat kemampuan menulis semakin baik, disitulah momennya tulisan akan dimuat!. Jadi, menulis adalah soal waktu. (*)

Bawah Titian, 5 April 2010

*) Tulisan ini tayang di Radar Bojonegoro Edisi 7 April 2010, Halaman 32

No comments:

Post a Comment