Sunday, July 4, 2010

Mencari Uswah Politik di NU

Puncak tahun politik segera memasuki babak akhir. Tiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) mulai mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Masing-masing, pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win), Megawati-Prabowo (Mega-Pro), dan Soesilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY Berboedi). Ketiganya bakal bertarung dalam Pilpres 8 Juli mendatang.
Membicarakan pesta demokrasi dan perhelatan politik, rasanya kurang sedap kalau tidak membincangkan turut andilnya Nahdlatul Ulama (NU). Ini bisa dimaklumi karena suara nahdliyin sangat signifikan (diperkirakan berjumlah 50 juta) dalam turut menyukseskan langkah calon untuk menduduki kursi kemenangan. Peluang itu tampaknya mulai dibaca capres dan celakanya kans itu mulai ”dimainkan” oleh elite-elite NU.
Simak saja, beberapa waktu lalu Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi mulai kedatangan JK. Meski berkali-kali menyatakan bahwa kedatangannya untuk silaturahmi, orang awam sudah bisa menangkap maksud kedatangan JK ke pucuk pimpinan NU: mengail simpati dan dukungan suaranya dalam pilpres. JK sah-sah saja merapat ke NU, apalagi saudagar Makassar yang juga Wapres itu merasa mempunyai hubungan kultural dan emosional dengan NU. Konon keluarganya adalah salah satu pendiri NU di Sulawesi Selatan.
Kecenderungan untuk ”main-main” juga dilakukan badan otonom (banom) NU yang lain. Sebut saja Muslimat NU. Belum lama ini terdengar kabar organisasi ibu-ibunya NU itu hendak melangsungkan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) di Makassar. Rapimnas disebut-sebut sebagai bagian dari upaya Muslimat merapat ke JK. Yang jadi persoalan adalah apakah manuver-manuver politik para elite NU tersebut memberikan teladan atau uswah yang baik bagi nahdliyin?

Belajar dari Pengalaman
Sebenarnya kalau mau jujur, manuver politik yang dilakukan para elite NU itu semakin menambah uswah (teladan) politik yang kurang baik bagi konstituen nahdliyin. Sudah terlalu sering teladan kurang baik dipertontonkan secara terbuka oleh elite-elite NU, baik yang berkaitan langsung dengan politik (baca: kekuasaan) maupun organisasi.
Mari kita buka file-nya. Saifullah Yusuf (Gus Ipul) melakukan uswah kurang baik kepada nahdliyin saat menjabat Sekjen DPP PKB pada 2005 silam. Padahal di saat bersamaan Gus Ipul menjabat sebagai Ketua Umum PP GP Ansor. Perangkapan jabatan ini jelas tak mengindahkan Anggaran Rumah Tangga (ART) NU Bab XV tentang Rangkap Jabatan, khususnya pasal 45 ayat 2 yang menyebut, ”jabatan pengurus harian NU, lembaga lajnah dan banom pada semua tingkat kepengurusan tidak dapat dirangkap dengan jabatan pengurus harian partai politik dan atau organisasi yang berafiliasi kepadanya.”
Semua orang tahu bahwa PKB adalah media transformasi hak politik yang dianggap resmi oleh nahdliyin. Namun, apapun dalihnya, organisasi kemasyarakatan tetap beda gerakan dan orientasinya dengan organisasi sosial politik, meski secara kultural ada kesamaan.
Uswah yang kurang baik juga dilakukan oleh Hasyim Muzadi saat mencalonkan diri sebagai capres pada Pilpres 2004. Ketika itu Hasyim hanya non aktif sementara dari posisinya sebagai ketua umum. Hal serupa dilakukan oleh Ketua Umum PP Muslimat Khofifah Indar Parawansa dan Gus Ipul saat maju sebagai calon gubernur Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Secara organisatoris, sikap tersebut tidak disalahkan, karena dalam ART NU Bab XV pasal 45 ayat 3 memang hanya mengsyaratkan non aktif bagi pengurus harian yang mencalonkan diri atau dicalonkan untuk mendapatkan jabatan politik. Akan tetapi, secara etika sebenarnya hal itu kurang pantas dan tidak memberikan teladan yang baik terhadap umat NU. Sebab, untuk memisahkan antara kepentingan pribadi seorang Hasyim Muzadi, Khofifah maupun Gus Ipul dengan kepentingan organisasi sangat sulit.
Di mata nahdliyin, posisi ketua umum organisasi melekat dengan pribadi. Ini yang harus dan idealnya lebih dikedepankan. Apalagi, posisinya adalah sebagai pimpinan organisasi yang berbasis sosial, dimana moralitas dan etika menjadi kesepakatan tidak tertulis yang harus ditegakkan. Karena itu, sangat bisa dimaklumi kalau Pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang yang juga adik kandung Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sholahudin Wahid (Gus Sholah) meminta Hasyim sangat berhati-hati menyikapi imbas politik dari Pilpres 2009 terhadap nahdliyin. (Jawa Pos, 17 Mei 2009).

Haruskah Menjauhi Politik?
Dari berbagai persoalan di atas, penulis berkeyakinan sebenarnya NU sedang mengalami krisis uswah (keteladanan). Untuk mengembalikan uswah yang sebelumnya menjadi ikon di NU, tidak perlu menjauh dari politik. Sebab, mengacu studi Greg Fealy (2003), satu dari tiga tujuan politik NU adalah mengupayakan kedudukan bagi anggota-anggota NU dalam birokrasi. Birokrasi dipandang sebagai salah satu jalan menuju mobilitas dan status sosial. Masuknya muslim tradisional dalam birokrasi dipandang dapat meningkatkan kedudukan NU di masyarakat Indonesia, sekaligus memperkuat suara umat di kalangan pemerintah.
Akan tetapi, dalam mengupayakannya tidak harus dilakukan dengan cara-cara vulgar dan menabrak dinding-dinding moralitas dan etika. Ada banyak strategi yang masih dapat dilakukan, karena penulis yakin para kandidat tetap akan merapat ke NU, karena mereka membutuhkan dukungan suara untuk kepentingan pilpres. Elite NU sudah harus mulai mengubah dan menghilangkan teladan yang kurang elok. Karena itu, pertama, sudah saatnya petinggi-petinggi NU menyadari dinamisasi yang berkembang pesat di internal nahdliyin. Disini eloknya ”permainan” elite NU dibutuhkan, dengan mengedepankan etika dan uswah politik yang baik. Itu yang pertama.
Yang kedua, ada baiknya NU merumuskan secara tersurat regulasi yang mengatur etika dan hubungan dengan partai politik. Sejauh ini, belum ada aturan yang menjelaskan tentang hal tersebut. Ini untuk menghindari bias pemahaman yang sering terjadi di tubuh NU, sehingga berujung pada konflik yang pada akhirnya merugikan NU, baik secara jamaah (basis massa NU) maupun jami`yyah (organisasi). Dan, forum serta momen yang tepat untuk merumuskannya adalah Muktamar NU 2009. Hal ini dengan asumsi apabila Muktamar NU 2009 tidak molor, karena Hasyim Muzadi, ketua umum PB NU saat ini, terpilih dalam Muktamar 2004 di Donohudan, Solo, Jawa Tengah.
Ketiga, melakukan penguatan kembali basis ekonomi dan sosial. Pilihan ini harus fokus digarap NU dan badan otonomnya. Krisis global yang melanda dunia termasuk Indonesia harus turut dicarikan jalan keluarnya. NU, sebagai organisasi masyarakat sipil harus ikut andil memecahkan persoalan tersebut. Hal ini sekaligus pembuktian bahwa agama tidak hanya masuk di ruang-ruang transendental dengan ketuhanan, melainkan juga menjawab problem realitas dalam dimensi antrophosocial. Sekaligus juga untuk pembuktian bahwa ormas tidak hanya cakap bermain-main teks agama, tetapi juga lihai mengejawantahkan kontekstualisasi teks agama sebagai fiqh sosial yang membebaskan kaum teraniaya. (*)

Bawah Titian, 18 Mei 2009

No comments:

Post a Comment