Friday, July 2, 2010

Menakar Efektivitas Program Kemiskinan

Dampak krisis ekonomi tahun 1998 di Indonesia telah meningkatkan jumlah angka kemiskinan. Hal ini ditandai dengan kenaikan harga barang kebutuhan pokok, angka pengangguran yang tinggi hingga menurun dan merosotnya usaha produktif.
Yang dimaksud dengan penduduk miskin adalah penduduk yang mengonsumsi makanan kurang dari 2.100 kilogram kalori per orang per hari. Garis kemiskinan penduduk di Jatim sebesar Rp 166.697 per kapita per bulan. Jika diasumsikan belanja per hari, berarti batas garis kemiskinan di Jawa Timur (tingkat belanja, baik makanan maupun non makanan) adalah Rp 5.556 per orang.
Data BPS PKIB 2005 menunjukkan, jumlah penduduk miskin di Jawa Timur pada tahun 2004 tercatat 6.979.563 jiwa atau 19,10 persen dari total penduduk provinsi ini. Jumlah penduduk miskin ini meningkat menjadi 8.390.996 jiwa pada 2005, atau 22,51 persen dari total penduduk Jawa Timur.
Dan dari sekitar 8.400 desa/kelurahan di Jawa Timur, 1.801 di antaranya adalah desa yang masuk kategori miskin/merah (28 persen-45 persen di antaranya adalah rumah tangga miskin/RTM), 123 kecamatan merah, dan delapan kabupaten merah. Delapan
kabupaten merah itu adalah Bondowoso, Sampang, Situbondo, Ponorogo, Pacitan, Probolinggo, Nganjuk, dan Bojonegoro.
Sejauh ini, upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan Pemprov Jawa Timur, dalam hal ini adalah Program Keluarga Harapan (PKH), yang pada tahun 2010 ini dicairkan lagi anggarannya. Namun, pertanyaannya adalah sejauhmana efektivitas program yang menelan dana ratusan miliar rupiah tersebut dijalankan?

Belum Maksimal
Arah PKH adalah untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi rumah tangga sangat miskin (RTSM), meningkatkan taraf pendidikan anak-anak, meningkatkan status gizi ibu hamil, ibu nifas dan anak di bawah enam tahun. Juga, meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan serta pendidikan bagi RTSM. Koordinasi program ini dilaksanakan oleh Badan KB-Kesos.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal yang jauh dari kata ideal dari pencapaian program yang dimaksud. Ada beberapa kelemahan, sehingga PKH, yang merupakan salah satu program kompensasi pengurangan subsidi harga BBM (bahan bakar minyak), kurang berjalan maksimal.
Pertama, pemahaman terhadap PKH oleh semua pihak, baik yang terkait langsung maupun tidak, tak sama. Sejauh ini dari tiga sasaran sosialisasi, yakni penerima PKH, kelompok pendukung program, dan masyarakat umum, belum tersentuh. Dari ketiga sasaran sosialisasi itu, yang berjalan hanya sosialisasi bagi penerima PKH. Ini pun karena sosialisasi langsung dilakukan oleh pendamping program.
Kedua, lemahnya basis data penerima. PKH adalah program yang didesain oleh pemerintah pusat yang dikoordinasi melalui Departeman Sosial. Tak heran jika basis data yang digunakan adalah data RTSM yang dimiliki Kementerian Sosial. Namun, dalam praktiknya penentuan sasaran penerima PKH tidak tepat sasaran. Sebab, basis data yang digunakan adalah data penduduk miskin tahun 2005. Sementara, PKH baru diluncurkan pada tahun 2007. Dalam kurun waktu dua tahun itu, tentu ada perubahan kondisi RTSM. Bisa jadi, RTSM yang pada tahun 2005 miskin, dua tahun kemudian menjadi kaya, sehingga tidak masuk dalam kategori miskin, begitu juga sebaliknya.
Ketiga, besaran dana yang diterima RTSM. Di sejumlah daerah, besaran nominal uang yang diterima RTSM tidak sesuai dari yang seharusnya diterima, Rp 2,2 juta per tahun. Ada banyak RTSM yang nominalnya kurang, ada pula nominalnya melebihi dari apa yang seharusnya didapat.
Keempat, penggunaan dana di bidang pendidikan. Di Bojonegoro, untuk PKH tahun 2007 sebanyak 50 persen dari jumlah RTSM yang ada belum menggunakan dana itu untuk biaya pendidikan anaknya, tetapi juga untuk biaya hidup sehari-hari serta kepentingan konsumtif orang tua. Misalnya, beli perhiasan, kambing, perabotan rumah dan lainya. Meskipun, alasan untuk itu adalah agar uang yang diterima utuh dan bisa dijual sewaktu-waktu bila si anak membutuhkan.
Selain beberapa problem di atas, faktor lain yang menghambat berjalan maksimalnya PKH adalah aspek koordinasi. Baik koordinasi internal pendamping se-kecamatan, maupun dengan pihak-pihak terkait, seperti Bappeda, Dinas Kesehatan, BPS, Dinas Pendidikan, Kantor Pos, Badan KB dan Kessos, maupun UPPKH kecamatan.

Yang Perlu Dilakukan
Untuk itu, beberapa hal perlu dilakukan agar realisasi PKH tahun ini dan program pengentasan kemiskinan yang lainnya, dapat berjalan sesuai dengan target capaiannya. Pertama, tenaga pendamping atau fasilitator dalam melakukan pendampingan masyarakat jangan dibatasi dalam kerangka bekerja dari sisi waktu dan orientasi, sehingga kurang mendasarkan pada kebutuhan untuk memberdayakan masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya.
Kedua, pelaksanaan program perlu disosialisasikan oleh pemkab se Jawa Timur kepada desa jauh sebelum program dimulai. Sehingga, ada waktu yang cukup bagi pemerintah desa untuk mengintegrasikan program kemiskinannya ke dalam sistem perencanaan pembangunan dan anggaran desa.
Ketiga, ke depan setiap program perlu diawali dengan kegiatan pemetaan sosial-ekonomi desa sebagai dasar untuk memastikan bahwa penerima manfaat terbesar adalah warga miskin dan potensi infrastruktur apa yang potensial untuk dibangun. Termasuk pula, penentuan seleksi usulan masyarakat bukan ditentukan pelaksana program, melainkan menggunakan lembaga/tim independen untuk menilai kelayakannya serta potensial dampak sosial-lingkungan (social-enviromental impact assesment).
Keempat, penguatan kapasitas baik kepada aparatur pemerintah daerah (manajemen pelaksana, aparatur desa dan pokmas (kelompok masyarakat) amat penting dilakukan, terutama dalam bidang good governance (transparansi, akuntabilitas, partisipasi) dan tema pembangunan dalam perspektif hak. Selain itu, peningkatan kapasitas dalam melakukan perencanaan, monitoring dan evaluasi sendiri (community based self monitoring and evaluation) juga harus selalu ditingkatkan.
Kelima, program pengentasan kemiskinan sebaiknya dilakukan melalui pendekatan satu sistem manajemen, sehingga ada ukuran standar dalam seleksi, perencanaan, monitoring dan evaluasi baik dari aspek teknis, keuangan maupun penguatan kelembagaan masyarakat. Sekalipun dalam penerapannya akan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Dengan demikian, program pengentasan kemiskinan tidak sekadar sebagai formalitas semu belaka, melainkan benar-benar dilandasi dengan niatan yang serius untuk mengurangi angka kemiskinan. (*)

*) Tayang di Tabloid SUARA BANYUURIP Edisi 32/III/Maret 2010

No comments:

Post a Comment