Sunday, July 4, 2010

Moksa Intelektual

Menulis (buku, artikel, novel, cerpen, esai, dan lainnya) adalah hasil dari dialektika, --meminjam terminologi Hegel, antara membaca dan mengkaji/diskusi. Menulis juga merupakan sebuah sintesis yang dihasilkan dari sebuah proses dari tesis (membaca) dan antitesis (ruang mengkaji) yang bergumul dalam diri dan benak.
Orang yang mencintai membaca, pada umumnya akan merasakan dua hal sekaligus yang berkelindan dalam dirinya. Yang pertama, kepuasan batiniah, tercerahkan, karena mendapatkan stimulus wacana yang belum (atau tidak) diketahui sebelumnya. Dan yang kedua, sebaliknya, justru rasa kepenasaranan yang melahirkan beragam pertanyaan, untuk menggali lebih jauh tentang makna dan nilai yang terkandung dalam buku/bacaan yang didaras sebelumnya.
Pertanyaan itu tidak mungkin dijawab oleh buku yang didarasnya. Buku memang tidak hanya memberikan pembaca suatu wacana, pemahaman, atau juga pengetahuan (transfer knowledge), tetapi sekaligus ruang untuk bertanya, tetapi bukan ruang untuk menjawab. Di titik inilah ruang mengkaji pertanyaan-pertanyaan yang semburat dalam otak harus menemukan medium untuk berbagi yang membebaskan pikiran dari keterbelengguan rasa kepenasaranan dan beragam tanda tanya dalam alam pikiran yang hakikinya bebas ide dan bebas nilai. Ruang atau medium itu adalah diskusi/kajian.
Dengan mengkaji, tidak sebatas dimaknai dalam forum, melainkan juga secara sosial melalui pengamatan (observasi) bersama, kita dapat membincang segala hal yang terkait dengan isi dan tema sebuah buku. Kajian dapat mengkanalisasikan pemikiran-pemikiran kontradiktif yang ada dalam benak untuk menemukan muaranya, meskipun dengan cara pandang/perspektif dari orang lain. Karena, bisa jadi cara pandang yang kita pahami akan berbeda dengan yang dipahami oleh orang lain. Ibaratnya, diskusi atau kajian merupakan ”anak-anak kali” yang saling terhubung antara satu dengan lainnya untuk menemukan ”sungai” yang lebih besar dan panjang.
Suatu misal, ketika membincang tentang buku yang menggambarkan sebuah gejala sosial tertentu, bisa jadi cara pandang kita lebih pada sosiokulturalnya. Akan tetapi, sejawat kita sangat mungkin melihatnya dalam perspektif yang berbeda, misalnya dari sudut pandang filsafat. Memang, tidak akan menemukan titik temu dalam jangka pendek. Namun, tema besar yang dikaji tetaplah sama, meski dengan cara pandang/pendekatan yang berbeda. Dari beragam pendekatan itulah pada akhirnya memberikan pemahaman secara holistik terhadap sebuah keberadaan teks (ontologis), metode (epistemologis), sekaligus nilai dan makna (aksiologis) dari sebuah buku.
Di sisi lain, hanya mengkaji tidaklah cukup untuk memuaskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berjejaring di otak. Hasil dari mengkaji, dalam konteks tertentu hanya memuaskan stimulus kepenasaranan dari rasa belum tahu yang sebelumnya menjejal di dalam otak. Sementara, dorongan untuk ”menggugat” atas ketidakpuasan atas apa yang didapat di medium buku dan forum kajian belum tersalurkan.
Hanya menulislah yang dapat menjembatani sekaligus mengobati naluri ”menggugat” dan ”berontak” atas belenggu kebertanyaan. Dengan menulis, seseorang dapat menggugat teks-teks buku yang dirasa kurang relevan dengan perkembangan suatu zaman. Sekadar contoh, lahirnya buku Das Capital karya masterpiece Karl Marx, merupakan hasil dari perenungan dan ketidaksetujuannya terhadap konsepsi kapitalisme klasik yang diusung Adam Smith dan yang sedang berkembang di Eropa pada masa itu.
Terlepas apakah teori-teori politik maupun ekonomi yang diusung Karl Marx benar atau salah, semua itu tidak ada sangkut-pautnya dengan pengaruh Marx. Arti penting seorang filosof terletak bukan pada kebenaran pendapatnya, tetapi terletak pada masalah apakah buah pikirannya telah dapat menggerakkan orang untuk bertindak atau tidak. Diukur dari sudut tersebut, tidak perlu diragukan lagi bahwa Karl Marx punya arti penting yang luar biasa hebatnya dalam perkembangan madzhab filsafat, politik, dan ekonomi dunia.
Kita juga bisa mengkaca terhadap proses yang dilalui Pramoedya Ananta Toer, sastrawan asal Blora, Jawa Tengah, yang namanya begitu fenomenal karena mendapatkan begitu banyak penghargaan dari dunia, antara lain Ramon Magsaysay Award (1995), Unesco Madanjeet Singh Prize (1996), atas karya-karyanya. Pram, begitu gila baca. Sampai suatu ketika saat ribuan bukunya hilang, Pram begitu menyesalinya dan bilang ”lebih baik saya kehilangan rumah daripada kehilangan buku”!. Bagi Pram, buku bukanlah hanya sarana baca, tetapi sekaligus medium untuk bertanya, mengkaji, dan menggugat realitas sosial kontekstual yang menjadi daerah koloni (pada masa itu), dengan karya-karyanya.
Melalui membaca, mengkaji dan menulislah lahir karya-karya Pram, baik novel maupun roman sejarah yang fenomenal dan mengguncang dunia. Sebut saja Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), atau Tetralogi Arok Dedes, disusul Mata Pusaran (sempat hilang, lalu ditemukan dengan kondisi remuk dan cacat dan tersisa hanya halaman 232-362), serta Arus Balik, dan terakhir Mangir. Karya-karya itu ditulis Pram melalui proses dialektika: membaca, mengkaji referensi/realitas, dan menulis, meski sebagian di antaranya ditulis dalam suasana batiniah yang menyiksa karena dalam bui dan pengasingan (pembuangan)!
Proses itu juga dirasakan oleh banyak penulis dewasa ini. Sebut saja almarhum Gus Dur. Kumpulan artikelnya yang dihimpun dalam buku, antara lain Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (2007), atau Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (2006), adalah buah dari proses dialektika selama studi di Universitas Al Azhar Mesir, Baghdad, Irak, LP3ES Jakarta, atau selama di Forum Demokrasi (Fordem), PB NU, maupun saat menjabat sebagai presiden.
Jelaslah bahwa, membaca hanyalah satu awalan, proses panjang mesti harus dilalui untuk mencapai ”moksa” intelektualitas. Tanpa membaca, bagaimana mungkin mau mengkaji, apalagi menulis? Jadi, awalilah dari membaca, berproseslah dalam forum kajian-kajian, dan akhiri naluri ”menggugat” dan ”memberontak” Anda melalui (saluran) menulis! (*)

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro Halaman 30, Edisi 4 Juli 2010

No comments:

Post a Comment