Sunday, July 4, 2010

Politik Bola Sodok PKS

DALAM sebulan terakhir nama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi bahan utama pembicaraan di ranah politik tanah air. Salah satu pemicunya adalah iklan politik PKS yang menimbulkan kontroversi, karena mengusung sejumlah nama di luar maenstream mereka selama ini. Mulai dari KH Hasyim Asy`ari (pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), M. Natsir (tokoh Masyumi), Soekarno (presiden pertama RI sekaligus tokoh nasionalis), hingga Soeharto (mantan presiden RI).
Penyertaan nama-nama tersebut dalam iklan politik PKS memantik protes dari sejumlah kalangan yang selama ini menganggap tokoh-tokoh itu trade mark mereka. Ketua Umum PB NU, KH Hasyim Muzadi, misalnya. Dia menilai pemunculan nama KH Hasyim Asy`ari itu tak lebih hanya sebagai upaya PKS mendulang simpati dari nahdliyyin. Sebab, apapun kakek KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut merupakan ikon NU.
Protes serupa dilontarkan Din Syamsuddin. Ketua Umum PP Muhammadiyah ini menilai iklan PKS mencederai umat Muhammadiyah. Iklan itu akan menyeret Muhammadiyah ke ranah politik praktis,padahal platform organisasi ini adalah berbasis sosial. Mereka juga menganggap iklan PKS hanya strategi menjelang Pemilu 2009 yang bertujuan mendulang simpati dari Muhammadiyah.
Belum selesai kontroversi itu, PKS kembali bermanuver. Berdalih rekonsiliasi, Rabu (19/11) lalu PKS mengumpulkan keluarga pahlawan. Lagi-lagi manuver tersebut berbuah kontroversi dan menyita perhatian publik (baca: media massa). Sebab, sejumlah keturunan pahlawan nasional hadir dalam pertemuan tersebut. Sebut saja, Agustanzil Sjahroezah (cucu KH Agus Salim), Halida Hatta (cucu Moh. Hatta), KH Salahuddin Wahid (cucu KH Hasyim Asy`ari), Bambang Sulistomo (putra Bung Tomo), dan Amelia Ahmad Yani (putri Jendral A. Yani). (Jawa Pos, 20 November 2008).
Tak pelak, dua manuver ini menimbulkan banyak pertanyaan. Tuluskah PKS menyebut nama-nama tokoh di atas sebagai guru bangsa? Apakah ada kepentingan politik jelang Pemilu 2009? Ataukah justru itu merupakan langkah cerdik PKS yang mampu membaca peluang untuk mengail dukungan?

Gaya Baru Berpolitik?
Ibarat manusia, perkembangan PKS dari tahun ke tahun terus membesar. Partai Keadilan (nama lama PKS) sempat tidak lolos electoral threshold dalam Pemilu 1999. Namun, pada Pemilu 2004 mereka bermetaforsis menjadi PKS. Pada periode inilah gerakan politik mereka terus menyebar. Pola MLM (multilevel marketing) dan pembiakan sel dalam sistem rekrutmen dan kaderisasinya menjadikan mereka mempunyai massa yang militan, solid, dan loyal.
Suka tidak suka, mau tidak mau, kekuatan politik PKS ini akan menjadi ancaman serius
dari tahun ke tahun bagi parpol-parpol lama yang basis kaderisasinya masih lemah.
Partai Golkar, misalnya. Partai ini dulu dikenal memiliki massa yang militan dan solid. Namun kini, label tersebut seolah telah ”direbut” PKS. Tentu, telah melalui modifikasi sedemikian rupa.
Jika dicermati, dari tahun ke tahun PKS terus berkreasi, mencari varian-varian baru untuk menggalang simpati massa. PKS mungkin sadar betul bahwa mereka bukan partai berbasis massa layaknya PKB atau PDIP. Karena itu, mereka harus menjadi partai berbasis kader, yang pendekatannya memang pelan, tetapi output-nya akan mampu menghasilkan anggota-anggota partai yang militan, solid, dan loyal. Mereka menganggap sistem kaderisasi yang matang lebih baik daripada metode kaderisasi parpol berbasis massa, yang secara sekilas terlihat riil, tetapi sebenarnya rapuh karena landasan fundamentalnya tidak kokoh.
Tuntutan untuk selalu survive inilah yang melandasi PKS selalu menciptakan ide-ide baru dan segar, meski melawan arus sekalipun. Kader-kader PKS, tahu bahwa KH Hasyim Asy`ari adalah ikon NU, yang merupakan basis andalan PKB dan PKNU. Mereka sangat mafhum KH Ahmad Dahlan merupakan tokoh yang dihormati warga Muhammadiyah, yang tak lain lumbung suara PAN dan PMB. Mereka sangat maklum Bung Karno adalah figur sentral kaum nasionalis dan marhaenis, yang secara kultur milik PDIP. Dan, mereka pun mengerti bahwa Soeharto masih mempunyai banyak pengikut dan loyalis yang telah memiliki afiliasi politik, semisal PKPB.
Tetapi kenapa nama-nama mereka ”dicatut” untuk menjadi ”ikon baru” PKS? Disinilah kejelian mereka. Sebenarnya, PKS amat sadar nama-nama di atas adalah bukan ”bagian” dari mereka. Namun, justru itulah celah politik yang harus diambil dan dimanfaatkan. Sebab, dengan memunculkan nama-nama tokoh tersebut di atas, bisa dipastikan menjadi kontroversi yang akan terus dibahas publik. Imbasnya popularitas PKS terus terangkat.
Ibarat bermain biliar (bola sodok), PKS telah menyodok nama-nama tokoh di atas (bola putih) dengan kadar yang telah ditentukan, untuk dibenturkan dengan publik (bola nomor 1, 2, 3 dan seterusnya). Benturan bola-bola bernomor tersebut tentu ada yang langsung masuk ke lubang. Atau, paling tidak ada yang mendekati lubang.
Dan, salah satu cara (stik bola sodok) yang cukup efektif adalah lewat komunikasi massa, yang dalam wilayah ini berupa iklan politik. PKS sadar betul bahwa dengan komunikasi massa mereka bisa mengubah anggapan publik yang selama ini meyakini PKS adalah partai yang bukan berbasis tradisionalis (NU), modernis (Muhammadiyah), dan nasionalis (PDIP). Hal ini bisa dimaklumi karena tujuan komunikasi massa adalah untuk mengubah sikap, opini, atau pandangan dan perilaku (to change the attitude, opinion, and behavior), sehingga timbul pada komunikan (publik) efek kognitif, efek afektif, dan efek konatif atau behavioral. (Onong Uchjana: 2003)
PKS juga sadar bahwa mendekati komunitas NU, Muhammadiyah, dan nasionalis belum memungkinkan jika dilakukan dengan cara-cara horizontal. Misalnya, dengan melakukan safari politik ke kantong-kantong ketiga elemen di atas. Dan, salah satu cara yang cukup efektif adalah menggunakan pendekatan vertikal, termasuk dengan iklan politik. Mereka berharap bola-bola liar dan bernomor tersebut masuk dalam lubang.
Pilihan ini juga menunjukkan kejelian PKS dalam mengemas strategi marketing politik sebagaimana digagas pakar pemasaran Hermawan Kertajaya. Yakni, mengandung PDB (position, differentiate, dan brand). Artinya, jika ingin laku, sebuah produk (dalam kasus ini adalah partai) harus tampil beda dengan (partai) yang sudah ada selama ini.

Tantangan
Iklan politik PKS menjadi tantangan tersendiri bagi parpol peserta Pemilu 2009. Parpol peserta pemilu dituntut aktif dan terus menggali inovasi untuk meraih dukungan publik. Bila selama ini strategi penggalangan massa yang dipakai oleh parpol lebih banyak melalui pendekatan mobilisasi, mungkin model itu kurang menarik lagi bagi masyarakat.
Pilpres AS memberi banyak pembelajaran dan strategi politik yang menarik. Simaklah bagaimana sedemikian totalnya tim relawan presiden terpilih Barrack Husein Obama dalam mengail dukungan massa. Mereka tidak kenal lelah menelepon calon pemilih day to day untuk sekadar mengingatkan dan memberi pengertian agar memilih Obama dalam pilpres 4 November yang lalu tersebut.
Simak juga cara Obama yang bersedia membangun komunikasi dengan massanya melalui internet yang selalu online. Sistem ini juga digunakan tim Obama untuk mempengaruhi calon pemilihnya. Cara ini terbukti efektif karena mayoritas warga AS memang melek internet.
Mungkin, kedua cara di atas (belum) bisa diterapkan di Indonesia. Tetapi, setidaknya parpol harus terus mencari cara dan metode yang lebih cerdas dan dewasa untuk mengail dukungan masyarakat. Tentu dengan catatan rayuan yang ditawarkan ke publik tersebut harus disertai dengan keseriusan untuk melaksanakannya, bukan hanya lip service, apabila kelak terpilih menjadi wakil rakyat. Hal ini penting untuk dilakukan agar golput (golongan putih) tidak menjadi ”parpol” yang dipilih rakyat, karena kecewa dengan pengkhianatan para wakil rakyat dan parpol yang dipilihnya. Bagaimana parpol? (*)

Bawah Titian, 28 November 2008

No comments:

Post a Comment