Sunday, July 4, 2010

Efek Domino Putusan MK

”Derita” KPU Jawa Timur belum berakhir. Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2009 ditentukan melalui system suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut. Dengan putusan itu, caleg yang menempati nomor urut sepatu berpeluang sama dengan mereka yang berada di urutan paling atas. Putusan itu diketok setelah MK mengabulkan permintaan uji materiil pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Permohonan uji materiil diajukan oleh caleg PDIP Muhammad Sholeh dkk serta caleg Partai Demokrat Sutjipto.
Implikasi dari putusan lembaga penafsir tunggal undang-undang tersebut sangat serius. Sejumlah agenda yang telah disiapkan KPU Jawa Timur terkait persiapan Pemilu 2009 terancam amburadul. Sebab, sebelumnya MK juga mengabulkan sebagian dari gugatan pasangan Kaji (Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono) atas hasil pilgub yang ditetapkan KPU Jawa Timur.
MK memutuskan, coblosan di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang harus diulang. Sementara untuk Kabupaten Pamekasan hanya penghitungan suaranya saja yang harus diulang. KPU Jawa Timur sendiri telah memutuskan coblosan ulang di Sampang dan Bangkalan akan dilaksanakan 21 Januari 2009. Sedangkan penghitungan ulang di Pamekasan 28 Desember 2008.
Dua putusan MK tersebut menimbulkan efek domino terhadap pelaksanaan Pemilu 2009 di Jawa Timur. Pada Januari 2009 mendatang, seharusnya KPU Jawa Timur dan KPU kabupaten/kota se Jawa Timur harus sudah mulai mempersiapkan tahapan-tahapan Pemilu 2009. Sebab, Pemilu 2009 bakal digelar April 2009. Tetapi kini, tahapan-tahapan pemilu itu terancam tertunda, karena KPU Jawa Timur, serta KPU Kabupaten Bangkalan dan Sampang harus bekerja keras dalam 30 hari ke depan. Mereka harus lebih fokus pada coblosan ulang jika tak ingin kasus penyelewengan suara pada pilgub putaran kedua kembali terjadi.
Keruwetan ini semakin menambah benang kusut persiapan KPU Jawa Timur dalam menyiapkan pemilu, karena sebelumnya ada beberapa agenda yang belum tuntas.
Pertama, saat ini mayoritas keanggotaan KPU kabupaten/kota se Jawa Timur telah habis. Sejauh ini tahapan seleksi atau rekrutmen anggota KPU kabupaten/kota baru pada tahap seleksi wawancara dan psikotes.
Sedianya, pelaksanaan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) calon anggota KPU kabupaten/kota dilaksanakan Desember ini. Karena putusan MK mengisyaratkan drama pilgub belum final, tugas KPU Jawa Timur kembali terbengkalai. Memang, uji kelayakan dan kepatutan bisa saja dilakukan oleh KPU Jawa Timur dalam waktu dekat.
Namun, hal itu terlalu riskan karena waktunya tergesa-gesa. Ini tentu problem yang tidak bisa dianggap remeh karena bisa menjadi batu sandungan di masa mendatang.
Kedua, kalaupun terpilih anggota KPU kabupaten/kota yang baru, problem anyar masih muncul. Kesiapan anggota KPU kabupaten/kota yang baru dalam melaksanakan tahapan pemilu sangat mepet. Dengan limitasi waktu yang kurang dari tiga bulan (akhir Januari-Maret), mereka harus menyiapkan tahapan-tahapan pemilu yang begitu banyak. Mulai sosialisasi, pembentukan PPK (panitia pemilihan kecamatan), PPS (panitia pemungutan suara), regulasi kampanye, dan lainnya.
Padahal, hampir bisa dipastikan dari lima anggota KPU kabupaten/kota nanti, paling banyak hanya terdapat dua muka lama yang dipercaya lagi sebagai anggota lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Jika demikian halnya, jelas tiga anggota baru ini butuh adaptasi, sementara waktu yang tersedia tidak banyak.

Mewaspadai Golput
Jika beberapa hal di atas tidak segera diatasi dengan baik oleh KPU Jawa Timur, maka hantu golput bukan tidak mungkin muncul kembali. Bahkan, tidak menutup kemungkinan angkanya bisa lebih tinggi.
Kita sangat miris dengan angka golput pada Pilgub Jawa Timur tahap kedua 4 November 2008 yang menembus angka 45,68 persen. Dari 29.280.470 juta jumlah pemilih di Jawa Timur, yang menggunakan hak pilihnya 15.399.665 juta jiwa, alias angka partisipasi hanya 54,32 persen. Angka golput pada putaran kedua ini meningkat cukup signifikan. Pada pilgub putaran pertama 23 Juli 2008, dari jumlah pemilih 29.061.718 orang, yang menggunakan hak suaranya 61,63 persen. Sementara 38,37 persen lainnya memilih golput. (Kompas, 12/11/2008).
Potensi golput masih tinggi karena pada Pemilu 2009 ada perubahan sistem sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pemilu. Yakni, dari mencoblos, menjadi mencontreng. Banyaknya jumlah parpol peserta pemilu (38 partai) dan jumbonya ukuran surat suara (54x84 cm) juga semakin menambah daftar panjang kepelikan pemilu.
Bisa jadi, karena sistemnya yang ”ruwet” dan seringnya pemilihan, baik pilkada maupun pilkades, masyarakat menjadi enggan, bosan, kurang paham, dan kurang peduli dengan pemilu. Simulasi yang digelar KPU di Jakarta adalah salah satu contohnya. Sejumlah pemilih mengaku belum mengetahui bahwa tanggal pemungutan suara pemilu adalah 9 April 2009. Ironinya, pengakuan itu terlontar dari bibir seorang mahasiswi yang secara kapasitas dan wawasan seharusnya lebih tahu.
Pengetahuan ibu-ibu jauh lebih ”parah”. Sebagian dari mereka mengaku tidak tahu sama sekali tentang penyelenggaraan pemilu. Lucunya, mereka justru menganggap simulasi itu sudah pemilu sesungguhnya. Padahal simulasi itu dilakukan di kawasan perkotaan yang lebih dekat dengan informasi. Kita bisa membayangkan, bagaimana jika di pedesaan?

Yang Harus Dilakukan
Ancaman tingginya angka golput dalam Pemilu 2009 jangan lantas membuat masyarakat dan penyelenggara pemilu patah arang. Apalagi, pemerintah, berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN 2008, telah menyiapkan dana untuk penyelenggaraan Pemilu 2009 sebesar Rp 6,67 triliun, dan untuk keperluan operasional KPU senilai Rp 793,9 miliar: sebuah angka yang sangat fantastis!
Untuk menekan angka golput, menurut penulis, ada beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan. Pertama, tahapan sosialisasi, pendidikan pemilih (civic education), dan simulasi pemilu harus gencar dilakukan yang diukur dengan indikator-indikator capaian. Domain sosialisasi pemilu memang di tangan KPU. Namun, dengan pendeknya limit waktu, plus bejibunnya keruwetan yang masih melanda pilgub mau tidak mau KPU harus membuka diri. KPU harus membuang jauh-jauh ego sentrisme dan mau bekerja sama dengan parpol, ormas, hingga organisasi masyarakat sipil untuk gencar melakukan simulasi dan sosialisasi. Sebab, bisa jadi keengganan masyarakat untuk datang memilih disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap hak-hak dan sistem pemilu.
Kedua, metode sosialiasi yang selama ini hanya monologis dan sesekali dialogis, harus didesain ulang dengan cara yang lebih efektif serta disukai masyarakat. Bila dipandang perlu, sosialisasi disesuikan dengan kearifan budaya lokal (local wisdom) yang ada. Misalnya, melalui seni tayub, wayang, dan lainnya. Dalam banyak hal, cara-cara kultural lebih efektif daripada pendekatan struktural yang kaku dan formalistis. Pendekatan yang menyentuh kepekaan masyarakat tentang arti penting pemilu bagi kehidupan dan masa depan demokrasi, harus menjadi ruh dari sosialisasi ini.
Ketiga, sudah waktunya bagi para pembuat dan pengambil kebijakan di Indonesia, mulai memikirkan konsep pemilihan yang serentak (digabungkan), mulai dari pilpres, pilgub, hingga pilbup/pilwali. Selain biayanya relatif lebih sedikit, model pemilihan serentak akan lebih mampu mengurangi kejenuhan masyarakat untuk memilih. Sehingga, tingkat
partisipasi masyarakat menjadi lebih tinggi.
Keempat, parpol dan caleg harus benar-benar mengedepankan politik sebagai tanggung jawab mengejawantahkan mandat sosial, bukan sekadar untuk memburu kekuasaan. Jika frame ini tidak diubah, masyarakat semakin enggan datang ke TPS, parpol kian tak laku: deklarasi sekaligus sebagai pembubaran parpol, dan masa depan demokrasi kian gelap. Kita tentu tidak ingin yang demikian kan? (*)
Bawah Titian, 25 Desember 2008

No comments:

Post a Comment