Sunday, July 4, 2010

RESENSI: Memahami melalui Pohon Pemikiran Gus Dur

RESENSI

Judul Buku:
The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Biografi Gus Dur)

Penulis:
Greg Barton

Penerbit:
PT. LKiS Pelangi Aksara Jogjakarta

Edisi:
Cetakan VIII April 2008

Tebal:
xxviii + 516 Halaman


Memahami melalui Pohon Pemikiran Gus Dur

KONTROVERSIAL. Demikian kata yang pas untuk menggambarkan sosok seorang Abdurrahman Wahid. Gus Dur memang selalu menjadi pembicaraan. Selain karena pernyataan-pernyataannya yang menantang, sikapnya sering kontroversial. Belum lama ini publik dibuat terhenyak dengan ajakan golput dari mantan ketua umum PB NU tersebut sehubungan dengan diterimanya gugatan PKB versi Muhaimin Iskandar oleh Mahkamah Agung. Bagi sebagian kalangan yang ‘melek’ politik, ajakan golput mungkin hal yang biasa, karena itu adalah hak. Tetapi, ajakan itu dianggap sebagai sesuatu yang kontroversial karena yang menyerukan adalah seorang mantan Presiden RI.
Gus Dur kembali menyedot perhatian publik saat memberi tanggapan atas insiden Monas antara Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) versus Front Pembela Islam (FPI). Ketika itu, Gus Dur mengutuk aksi kekerasan yang diduga dilakukan oleh kelompok FPI tersebut. Statemen Gus Dur ini pun direaksi keras oleh Habib Rizieq, pimpinan FPI.
Dua hal di atas hanyalah satu di antara sekian banyak sikap Gus Dur yang oleh sebagian kalangan dianggap kontroversial. Pribadi yang kontroversial inilah yang menarik Greg Barton, seorang dosen senior pada Fakultas Seni Deakin University, Geelong, Victoria, Australia untuk meneliti sekaligus menuangkannya dalam bentuk buku biografi sosok ketua umum dewan syura DPP PKB tersebut.
Greg Barton mulai berkenalan dengan Gus Dur pada 1989. Ketika itu, Greg Barton masih menjadi mahasiswa pascasarjana yang canggung. Saat bertemu dengan Gus Dur, Greg Barton baru saja memulai menggarap disertasi doktor dengan mengamati (fenomena) Islam Liberal di Indonesia (halm. 4).
Sejak saat itu, Greg Barton mulai akrab dengan Gus Dur. Ilmuwan Negeri Kanguru ini pun mulai kenal luar dalam sosok Gus Dur. Sampai-sampai Greg Barton sudah dianggap sebagai keluarga sendiri oleh Gus Dur. Tak heran bila selama tujuh bulan, di antara 21 bulan masa pemerintahan Gus Dur (1999-2001), Greg Barton biasa keluar masuk ke Istana Negara untuk berdiskusi dengan cucu KH Hasyim Asy`ari, pendiri NU tersebut.
Buku yang kali pertama dicetak oleh LKiS Jogjakarta pada Juni 2003 tersebut berisi lima bagian besar. Bagian pertama, berisi tentang kehidupan Gus Dur selama di pesantren maupun di lingkungan keluarga. Bagian kedua, menceritakan terbentuknya seorang intelektual dari sosok Gus Dur. Pada bagian ini diungkapkan perjalanan studi Gus Dur d Kairo (Mesir), Baghdad (Irak), dan Eropa.
Bagian ketiga, membahas tentang Islam dan modernitas di Indonesia. Boleh dibilang, di bagian inilah petualangan Gus Dur dalam mengembangkan pluralisme di Indonesia dan dunia dimulai. Sedangkan bagian keempat, membeber soal masyarakat sipil dan Islam, yang dibagi menjadi dua bahasan; reformasi dan kontroversi, serta mendorong batas. Sementara bagian kelima mengungkap tentang politik, pembaruan, dan kepresidenan. Di bagian inilah Greg Barton mengeksplore peristiwa-peristiwa di balik kejatuhan rezim Gus Dur, yang mungkin belum pernah diangkat di ranah publik.
Bagi sebagian kalangan yang mengenal Gus Dur dengan baik, mungkin tidak terlalu aneh dengan sepak terjang dan kontroversinya. Gus Dur sejak muda memang suka bermain-main sedemikian rupa sehingga dia menjadi nakal dan ceroboh. Dalam banyak hal, dia menunjukkan kurangnya disiplin diri. Selama masa belajarnya dan kemudian dalam kehidupan profesionalnya, Gus Dur sering gagal mencapai apa yang sebenarnya dapat diraihnya, hanya karena tidak adanya disiplin diri atau perhatian yang terfokus.
Itu terlihat ketika Gus Dur menjadi presiden. Ada banyak keadaan, khususnya dalam membina koalisi dengan Megawati dan PDIP, yang memerlukan pemikiran strategis.
Dalam banyak hal Gus Dur menindaklanjutinya dengan suatu permainan taktik yang cemerlang, namun dengan perencanaan yang buruk. Hal itu terlihat ketika dia berhasil mengatasi secara cemerlang sidang tahunan MPR pada Agustus 2000.
Meski opini umum memperkirakan bahwa MPR akan mengeluarkan ketetapan yang mengurangi kekuasaan presiden, akhirnya Gus Dur bisa lolos tanpa kekurangan suatu apa. Sayangnya, dia tidak bisa menyusun kabinet yang memungkinkannya mengkonsolidasikan persekutuannya dengan Megawati dan PDIP (halm 488).
Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang otoriter (salah satu contohnya, di PKB Gus Dur menjadi sosok yang superior dan nyaris tidak terjamah). Greg Barton mengungkapkan bahwa karakter ini bisa jadi terbentuk karena sisi kepribadian Gus Dur yang dominant. Gus Dur memiliki keyakinan yang kuat akan nasib. Sehingga, Gus Dur juga yakin bahwa dia harus melakukan hal-hal yang besar. Dalam perjalanan hidupnya, Gus Dur berada dalam suatu lingkungan dimana dia hampir tidak punya saingan dalam hal pengetahuan dan minat. Hasilnya, Gus Dur mempunyai kepercayaan diri yang sangat besar. Sehingga, banyak orang berpendapat bahwa besarnya kepercayaan diri itu bisa membahayakan dirinya sendiri (halm. 485).
Kendati cenderung ceroboh, kurang disiplin, kurang suka dengan hal-hal yang berbau formal, dan otoriter, ada sisi konsistensi dalam diri Gus Dur yang terus diperjuangkannya hingga saat ini. Nilai-nilai yang dikembangkan tersebut dikenal dengan sebutan Pohon Pemikiran Gus Dur yang mencakup tujuh tema pokok. Yakni, pandangan-dunia pesantren, pribumisasi Islam, keharusan demokrasi, finalitas negara-bangsa Pancasila, pluralisme agama, humanitarianisme universal, dan antropologi kiai.
Karena itu, tak heran kiranya Gus Dur begitu mati-matian membela AKKB yang menjadi korban kekerasan sekelompok massa yang mengatasnamakan Islam. Bagi Gus Dur, Islam tidak boleh dimaknai sebagai teks. Islam harus dimaknai sebagai nilai-nilai yang konteks agar membumi dalam kehidupan bermasyarakat. Gus Dur juga berada di garda terdepan kala membela Jaringan Islam Liberal (JIL) pimpinan Ulil Abshar Abdalla saat dianggap kafir dan menyimpang dari Islam oleh sejumlah kalangan, termasuk dari beberapa kiai NU. Bagi Gus Dur apa yang disuarakan oleh menantu KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus)
Tersebut merupakan bagian dari pengejawantahan nilai-nilai dari pluralisme agama dan humanitarianime universal. Klop!.
Pandangan Gus Dur yang moderat ini diakui sendiri oleh Franz Magnis-Suseno. Dalam buku Beyond The Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur terbitan Incres dan PT Remaja Rosdakarya Bandung (2000), Franz mengatakan, Gus Dur itu menghayati agama Islam secara sangat terbuka. Dia sosok pribadi yang bebas dari segala kepicikan, primordialistik, dan sektarian. Dia jelas 100 persen seorang yang beragama Islam. Tetapi, keislamannya begitu mantap sehingga dia tidak terancam oleh pluralitas.
Selain menceritakan kehidupan Gus Dur, di bagian akhir buku ini Greg Barton juga memberikan analisis tentang 12 sebab kejatuhan presiden RI keempat tersebut. Yakni, harapan yang terlalu besar, lawan-lawan yang kuat, masyarakat sipil yang lemah, pers yang dipenuhi oleh politik, dan kekurangan modal politik. Lalu, gerakan reformasi yang terbelah, kaum Islamis cenderung menjadi ujung tombak bagi oposisi, tidak adanya konstitusi yang demokratik, sikap bermusuhan aparatur negara, dan sistem hukum yang tidak berfungsi dengan baik. Serta, negara rente yang bekerja sama dengan kejahatan yang terorganisasi, dan militer yang melawan.
Jadi, buku karangan Greg Barton ini sangat menarik, layak untuk dibaca dan dikaji bagi kalangan aktivis mahasiswa maupun NGO (non government organization), akademisi, peneliti, politisi, santri, kaum nahdliyin, pegiat demokrasi dan pluralisme, serta masyarakat umum.
Selain karena buku setebal 516 halaman ini tergolong langka karena memuat biografi Gus Dur secara cukup lengkap, meski hanya sampai pada kejatuhan Gus Dur dari tampuk kekuasaan pada 2001, juga karena bahasa yang digunakan mudah dicerna, tidak perlu sampai mengerenyitkan dahi, serta ditulis secara objektif (tak bersifat pledoi/pembelaan). Akhirnya, Selamat membaca. (*)

Bawah Titian, 31 Juli 2008

No comments:

Post a Comment