Sunday, July 4, 2010

Melokalisasi Efek Video Asusila

Perkembangan media massa, khususnya media televisi, di Indonesia akhir-akhir ini kian marak. Kehadiran televisi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia memberikan nilai lebih dibandingkan dengan media massa cetak lain seperti surat kabar, majalah, maupun tabloid. Bagi masyarakat, televisi tidak hanya mampu memberikan informasi, berita, dan literasi yang selama ini diperankan media massa cetak. Akan tetapi, televisi juga mampu menawarkan beragam program alternatif lain seperti hiburan, musik, bahkan infotainment yang dapat disaksikan atau dinikmati lebih cepat, dan langsung (live).
Begitu menggiurkannya prospek media televisi, dunia usaha berlomba-lomba masuk ke area komunikasi massa itu untuk menjadikannya sebagai dunia industri. Hingga tahun 2010, tercatat puluhan saluran televisi swasta yang berhimpun dalam holding company-nya masing-masing.
Semakin berjubelnya stasiun televisi swasta kian menunjukkan, masyarakat Indonesia cenderung berbudaya menonton (televisi) daripada membaca ataupun menulis. Hal ini
dibuktikan dengan survei Ac Nielsen tahun 1999 yang menyebutkan bahwa, 61 persen sampai 91 persen masyarakat Indonesia suka menonton televisi. Bahkan, hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar di Indonesia lebih memilih menonton televisi setiap hari. Sedangkan 4 dari 10 orang memilih atau lebih suka mendengarkan radio. (Media Indonesia: 19 November 1999).
Kecenderungan yang sama terbaca dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) 2006 yang memaparkan fakta bahwa, budaya membaca masyarakat Indonesia hanya 23,5 persen.
Padahal, prasyarat terpenuhinya masyarakat literasi adalah bila budaya membaca berada di kisaran 80 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding menonton televisi yang mencapai 70 persen lebih. (BPS: 2006)
Menjamurnya stasiun televisi, pada satu sisi menggembirakan, karena alternatif hiburan untuk masyarakat menjadi semakin beragam. Sehingga, pemilik televisi dituntut selektif menciptakan program agar disukai dan diminati oleh masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain banyaknya stasiun televisi justru menciptakan kesamaan tema tayangan. Ironisnya lagi, kesamaan tema program berdampak negatif terhadap kondisi psikis masyarakat, yang tidak saja berdampak pada moralitas, tetapi juga terimplementasi dalam perilaku nyata.
Contoh yang terbaru adalah terkuaknya video asusila yang pelakunya mirip artis papan atas. Hampir seluruh stasiun televisi, khususnya dalam program infotainment, pun ramai-ramai memberitakan, mem-blow up secara besar-besaran berita tersebut. Sampai-sampai, nyaris tak ada jedanya. Sejak pagi hingga malam hari, berita itu terus ditayangkan, seolah ruang dan waktu pemirsa hanya dijejali dengan tayangan-tayangan tersebut. Pertanyaannya, seberapa besar dampak atau efek pemberitaan tentang beredarnya tayangan tersebut bagi masyarakat?

Efek Negatif
Dalam perspektif Psikologi Komunikasi dijelaskan, efek dari pesan yang disebarkan oleh komunikator (infotainment televisi) memunculkan tiga efek. Yaitu, efek kognitif (cognitive effect), efek afektif (affective effect), dan efek konatif atau yang biasa disebut dengan efek behavioral (behavioral effect). (Onong : 2003)
Efek kognitif berhubungan dengan pikiran atau penalaran, sehingga khalayak yang semula tidak tahu, yang tadinya tidak mengerti, yang tadinya bingung menjadi merasa jelas setelah menerima pesan (message) yang disampaikan komunikator.
Efek afektif berhubungan dengan perasaan, ataupun yang dialami oleh komunikan setelah menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator. Misalnya, setelah melihat televisi, timbul perasaan tertentu pada khalayak. Perasaan yang timbul beragam. Contohnya, sedih, senang, tertawa, kecewa, takut, penasaran dan lain-lain. Perasaan itu mempengaruhi kondisi kejiwaan manusia. Sedangkan efek konatif/behavioral, berhubungan dengan niat, tekad, upaya/usaha, yang cenderung menjadi suatu tindakan atau kegiatan-kegiatan.
Dalam kaitannya dengan gencarnya pemberitaan tentang beredarnya video asusila dengan pelaku mirip artis, dari aspek kognitif, pemirsa/masyarakat yang semula tidak tahu tentang beredarnya video asusila menjadi tahu. Kemengertian masyarakat semakin tertanam kuat, karena pemberitaan tidak hanya bersifat sekali atau dua kali, melainkan berulang-ulang. Fenomena ini dapat dilihat, dimana-mana orang heboh membicarakan video tersebut.
Efek ini lambat laun berubah menjadi efek afektif. Akibat sering diterpa berita mengenai beredarnya video mirip artis, timbul rasa penasaran pada diri masyarakat. Pemirsa lantas bertanya-tanya apakah benar pemeran dalam tayangan video tersebut adalah artis yang sedang populer itu.
Tanpa disadari, efek afektif ini bergeser menjadi afek konatif/behavioral. Jamak diketahui, di mana-mana orang penasaran, dan kemudian mencari-cari, men-download di dunia internet, sekaligus mengkoleksi rekaman video tersebut. Meski tak dapat dijadikan generalisasi, efek beredarnya video asusila semakin memasuki taraf yang mengkhawatirkan, membahayakan,
sehingga mendorong seseorang melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, sebagaimana yang terjadi di Bojonegoro. Kepada polisi, tersangka mengaku melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak SD beberapa saat setelah melihat video porno dengan pelaku mirip artis. (Radar Bojonegoro, 16 Juni 2010)

Tindakan Nyata
Berkaca pada fakta-fakta empiris di atas, setidaknya menurut penulis ada beberapa langkah yang seyogyanya untuk dilakukan. Pertama, hendaknya media massa televisi lebih selektif memilih jam tayang program untuk infotainment. Karena bila tidak, kalangan remaja, dan juga anak-anak, akan terkena dampak negatif dari program tersebut. Penayangan program infotainment hendaknya dipilihkan pada jam yang sekiranya anak-anak tidak dapat mengaksesnya. Memang, pilihan ini berat, tetapi demi perbaikan moral generasi, pemilihan jam tayang lebih bermartabat.
Kedua, hendaknya media televisi tidak hanya mengejar rating dan iklan dalam pembuatan programnya, namun juga mempertimbangkan dampak negatif yang akan ditimbulkan dari gencarnya pemberitaan tersebut terhadap masyarakat. Sebab, mengacu perspektif Werner J. Severin, dan James W. Tankard Jr, media harus memiliki tanggung jawab sosial. Selain itu,
mengdopsi pemikiran dari Jalaluddin Rakhmat, guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, media juga perlu mempertimbangkan aspek prososial dalam tayangannya. Yakni, mempertimbangkan nilai-nilai manfaat, serta positif dari tayangan tersebut untuk masyarakat. (Jalaluddin Rakhmat : 2005).
Ketiga, perlu ada tindakan nyata dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk memantau lebih ketat, bahkan bila perlu menerapkan sanksi yang tegas kepada media televisi yang jelas-jelas melanggar rambu-rambu atau norma-norma kesusilaan masyarakat. Tindakan nyata ini sangat penting, sekaligus untuk dapat melokalisir agar efek negatif dari gencarnya pemberitaan tentang video asusila tersebut tidak meluas.
Keempat, hendaknya orang tua, pihak sekolah, dan dinas pendidikan perlu lebih intensif lagi memantau sekaligus mendampingi anak-anaknya. Pemantauan tidak hanya berlangsung di sekolah yang menjadi tugas para pendidik, melainkan juga di rumah. Dalam ranah ini yang berperan adalah para orang tua. Bahkan bila perlu, orang tua ikut mendampingi anak-anak manakala menyaksikan televisi, khususnya pada program-program yang berpotensi merusak moralitas anak. Tanpa peran serta orang tua, mustahil perilaku anak dapat dikontrol.
Kelima, aparat keamanan dan pemerintah daerah, perlu menyiapkan regulasi dan peranti lunak berupa software agar ruang gerak persebaran video atau tayangan asusila semaksimal mungkin dapat terkarantina. Langkah ini dapat dilakukan dengan diatur dalam regulasi yang wajib diikuti pengelola warung internet (warnet). Tujuannya, supaya pengelola warnet tidak sembarangan memberikan akses terhadap penggunanya, khususnya anak-anak. (*)

Bawah Titian, 21 Juni 2010

*) Tayang di Rubrik Ruang Publik, Harian Jawa Pos Metropolis, Edisi 22 Juni 2010

No comments:

Post a Comment