Friday, July 2, 2010

Kurcaci

Akhir-akhir ini kebijakan Pemkab Bojonegoro atas kelangsungan hidup pedagang kaki lima (PKL) semakin tidak jelas. Setidaknya, penulis mencatat ada tiga kali penertiban (kalau tidak mau dikatakan penggusuran) PKL yang dilakukan oleh Satpol PP selama dua tahun terakhir ini.
Penertiban pertama dilakukan pada pertengahan 2008. Ketika itu, pemkab menjanjikan akan merelokasi puluhan ”bunga-bunga trotoar” di sekitar dan seputaran Alun-Alun Kota Bojonegoro. Mereka akan disentralkan di sepanjang Jalan MH Thamrin, persisnya di sisi-sisi taman, memanjang di sepanjang jalan tersebut. Kebijakan itu urung dilaksanakan, karena mendapatkan penolakan warga yang menghuni di kawasan tersebut.
Pada awal 2009 lalu, pemkab kembali menertibkan PKL yang berjualan di sejumlah jalan di Kota Bojonegoro, antara lain Jalan A. Yani, Gajah Mada, dan Teuku Umar. Ketika itu, pemkab berencana memusatkan PKL di tanah eks Terminal Rajekwesi Bojonegoro, Jalan Rajekwesi. Kebijakan itu juga sebagian besar tidak berhasil, karena hanya sebagian kecil PKL yang mau berjualan dan ”membuat” pasar sendiri di kawasan sepi tersebut.
Faktanya, kepindahan para PKL di lokasi baru tersebut, justru menjadi awal dari matinya sumur kehidupan mereka. Beberapa pecan setelah berjualan, mereka kolaps. Dengan berbondong-bondong, mereka kembali ke kampung halaman dengan ketidakpastian mau melakukan apa. Angka pengangguran kembali bertambah. Dan negara, khususnya lagi pemkab, menjadi penyebab utamanya.
Dan awal bulan lalu, penertiban kembali dilanjut. Kali ini sasarannya PKL yang mangkal di sepanjang Jalan Veteran, Pondok Bambu, dan lainnya. Mereka, bersama para PKL hasil penggusuran jilid I dan II, akan disentralkan di lahan terminal MPU dan Angkot, yang satu kompleks dengan Terminal Rajekwesi, Jalan Veteran. Itupun hanya di malam hari. Karena kalau siang dikhawatirkan mengganggu aktivitas MPU dan Angkot. Pemkab menyiapkan rencana elok di kawasan tersebut. PKL akan diberikan gerobak dorong, plus terminal dilengkapi dengan panggung hiburan dan videotron. Pasar PKL yang sudah terbentuk secara alamiah selama ini, dipaksa dan dialihkan di terminal.
Drama penggusuran tiga jilid ini menunjukkan betapa pemkab mengalami seperti, (maaf pemerintah) kebingungan dalam menerapkan kebijakan untuk PKL. Belum kunjung beres pengelolaan PKL hasil penggusuran jilid I, planing penggusuran jilid II dilakukan. Itupun tidak membawa hasil yang memuaskan. Yang terjadi justru sebaliknya, PKL ramai-ramai menolak, dan terpaksa rela tidak berjualan dan kehilangan ladang pekerjaan, daripada dipaksa menunggu ketidakpastian.
Rasanya, Pemkab Bojonegoro tidak perlu malu dan segan dengan mengatasnamakan azas kepantasan, untuk berguru terhadap Pemkab Lamongan yang relatif lebih baik dalam menata PKL. Pemkab Lamongan juga menertibkan PKL, tetapi tetap tidak menanggalkan pertimbangan kemanusiaan. Pemkab Lamongan mengsentralkan PKL di enam titik. Yaitu, di kawasan Alun-Alun, Jalan Laras Liris, Pasar Burung, Lamongan Plasa, Jalan Veteran, dan Pasar Sidoharjo. Alangkah eloknya andai penataan PKL tidak disentralkan pada satu titik, seperti yang selama ini dilakukan Pemkab Bojonegoro. Karena, penyeragaman PKL di satu titik terbukti tidak pernah berhasil dan justru memantik perlawanan.
Sebaiknya, Pemkab Bojonegoro menyiapkan zona-zona atau clustering tempat berjualan PKL di tiga, empat, atau lebih kawasan yang berbeda di Kota Bojonegoro. Misalnya, di zona timur, yang mencakup PKL yang di sepanjang Jalan A. Yani, Gajah Mada, Veteran, dan Pondok Bambu bisa ditempatkan di sebuah lokasi yang antara jalan satu dan lainnya tidak berjauhan. Karena logikanya, pembeli yang tinggal di Jalan A. Yani jelas enggan mendatangi PKL yang tempat jualannya cukup jauh semisal di Jalan Untung Suropati. Ketidaktepatan penerapan kebijakan ini akan berdampak terhadap pendapatan PKL, yang lama kelamaan membuat mereka gulung tikar. Tentu kita tak akan menginginkan hal ini terjadi, bukan?
Pemberlakukan zona serupa, idealnya juga diberlakukan untuk PKL yang berjualan di kawasan barat, utara, dan selatan. Demi keindahkan dan keasrian, ada baiknya pemkab mencarikan sponsor untuk penyeragaman gerobak. Sepanjang pengelolaan ini dilakukan dengan cara manusiawi dan mengedepankan niat tulus untuk menyejahterakan, niscaya PKL tidak akan menjadi kurcaci, yang selalu tidak berdaya melawan kehendak penguasa kurcaca, sebagaimana kritik Iwan Fals (Swami) dalam lagu lirik lagu Bunga Trotoar.

Bawah Titian, 19 Februari 2010

*) Tayang di Radar Bojonegoro Halaman 38 tanggal 20 Feb 2010

No comments:

Post a Comment