Sunday, July 4, 2010

Melestarikan Alam dengan ”Rukun Islam Keenam”

Dalam beberapa tahun terakhir isu lingkungan menjadi tema yang dominan dan menyita perhatian publik nasional maupun internasional. Isu lingkungan dianggap sangat penting karena terkait langsung dengan kehidupan di Bumi. Terjadinya pemanasan global (global warming), banjir, angin kencang, tanah longsor, perubahan iklim dan cuaca, serta kian menipisnya lapisan ozon (O3) menjadi alasan utama dunia internasional segera mengambil sikap.
Panel PBB untuk Perubahan Iklim (United Nations Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) di Velencia mengumumkan, pemanasan global adalah sesuatu yang tidak terbantahkan lagi dan dapat menimbulkan dampak sangat mengerikan. Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon menantang negara-negara di dunia untuk melakukan aksi nyata mengatasi ancaman tersebut.
Dari berbagai literatur disebutkan, pemanasan global terjadi salah satunya karena kian menipisnya hutan untuk kebutuhan pangan hingga papan manusia. Menipisnya hutan antara lain dipicu populasi manusia yang kian banyak dan aktivitas manusia yang padat. Dampaknya, polusi dari kendaraan bermotor, asap pabrik, maupun limbah semakin melimpah.
Persoalannya, jika pepohonan di hutan, termasuk di Indonesia, sudah tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan manusia dalam mereproduksi oksigen (O2), terjadilah efek rumah kaca (green house effect). Karena, hutan adalah paru-paru bumi yang mempunyai fungsi mengabsorsi gas Co2. Berkurangnya hutan dan meningkatnya pemakaian energi fosil (minyak, batubara) menyebabkan gas Co2 di atmosfer yang menyelebungi bumi menipis. Jika berlangsung terus, suhu bumi meningkat, gumpalan es di kutub utara dan selatan mencair.
Ancaman itu mulai terbukti. Saat ini, rata-rata temperatur global naik 1,3 Fahrenheit (setara 0,72 derajat Celcius) dalam 100 tahun terakhir. Apabila kenaikan temperatur mencapai 3 derajat Celcius, 40 hingga 70 persen spesies hewan dan tumbuh-tumbuhan terancam punah. Deputi Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Konservasi SDA dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnerliyati Hilman, menyatakan, Indonesia juga tak bisa lepas dari dampaknya. Akibat pemanasan global, permukaan laut Indonesia naik 0,8 cm per tahun dan berdampak tenggelamnya pulau-pulau nusantara hampir satu meter dalam 15 tahun ke depan.
Dalam peringatan Hari Keragaman Hayati Sedunia dua tahun lalu Departemen Kehutanan mengumumkan setiap harinya Indonesia kehilangan satu species (punah) dan kehilangan hampir 70 persen habitat alami pada 10 tahun terakhir ini. Menipisnya hutan juga mengakibatkan banjir. Sebab, fungsi daerah resapan dan tangkapan air (catchment area) tak lagi dimiliki hutan karena pohonnya semakin habis. Dampak buruk itu mulai dirasakan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, semisal di Bojonegoro (Jawa Timur), Bogor (Jawa Barat), dan Kalimantan Selatan, dalam beberapa bulan terakhir ini.

Kerusakan Hutan dan Penyebabnya
Indonesia memiliki 10 persen hutan tropis dunia yang tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12 persen dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16 persen spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25 persen dari spesies ikan dunia. Sebagian di antaranya endemik atau hanya dapat ditemui di daerah itu. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan cepat. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (World Resource Institute, 1997). Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis itu.
Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektare per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektare per tahun. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektare hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektare berada dalam kawasan hutan. (Badan Planologi Dephut, 2003)
Ada beberapa faktor kenapa hutan rusak begitu cepat. Pertama, faktor ekonomi. Di daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa hutan, seperti di Kabupaten Bojonegoro, kasus kejahatan kehutanan dominan. Di Bojonegoro perkara kehutanan menduduki peringkat teratas dengan 190 kasus (Profil Kejari Bojonegoro, 2006). Tren ini bertahan hingga sekarang. Hampir seluruh pelaku kejahatan mengaku motif melakukan illegal logging karena ekonomi ditunjang peluang untuk melakukan ada: tersedianya lahan hutan yang luas. Artinya, dengan adanya luas wilayah hutan, masyarakat yang tak punya mata pencaharian tetap, dan bertempat tinggal di sekitar hutan, berpikiran menjarah hutan untuk kepentingan makan dan hidup mereka adalah jalan keluar.
Kedua, lemahnya Penegakan Hukum disadari atau tidak, faktor lemahnya penegakan hukum menjadi salah satu pemicu masih maraknya penebangan hutan secara liar. Sebagian masyarakat tetap nekad menebang, karena mereka kecewa dengan pihak-pihak lain yang melakukan perbuatan yang sama, tetapi tidak tersentuh hukum. Warga sekitar tak bisa berbuat apa-apa karena ”orang-orang kuat”, --antara lain oknum Perhutani, dan aparat, yang terlibat illegal logging tidak tersentuh oleh hukum. Padahal, volume kayu yang dijarah kelompok-kelompok kuat ini jauh lebih besar daripada yang diambil masyarakat sekitar hutan. Kecemburuan perlakuan di depan hukum inilah yang menjadi salah satu pemicu masyarakat tetap menjarah.

Mengembalikan Kelestarian Hutan
Langkah pertama, menerapkan fikih ekologi. Adalah sebuah ironi ketika masalah lingkungan atau wawasan ekologi hampir tidak mendapatkan tempat bagi umat beragama, tidak terkecuali umat Islam. Sebagian umat Islam menganggap agama hanya ”mampu” berbicara detail mengenai ”dunia lain” (alam akhirat beserta isinya), ibadah ritual (salat, puasa, dll) teologi, moralitas dan sebagainya. Tapi, hampir tak menyinggung masalah ekologi (lingkungan hidup). Padahal, lingkungan adalah masalah yang fundamental dalam kehidupan manusia. Sebab, akibat orang tidak mengindahkan lingkungan, malapetaka terjadi. Mulai banjir, tanah longsor, kekeringan, hingga pemanasan global.
Manusia lupa ketika Tuhan memerintahkan mereka memahami segala yang telah diciptakan-Nya. Padahal, Allah telah membuat perumpamaan antara kebenaran dan kebatilan dengan ilustrasi memakai pohon sebagai objek pelajaran bagi manusia. (QS. Ibrahim:14:24-26).
Pertanyaannya adalah kenapa umat beragama (termasuk umat Islam) tidak menganggap penting masalah lingkungan seperti ibadah ritual individual. Kenapa pula setiap terjadi bencana umat beragama dengan enteng tanpa beban menyatakan itu sebagai takdir Tuhan. Sebagai cobaan atau azab dari Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan selalu ”dikambinghitamkan” setiap ada malapetaka.
Jika ada pemahaman yang salah dalam lingkungan, diperlukan pemahaman keagamaan dengan berlandaskan dogma azasi Islam: rukun.
Dalam Islam, biasanya ulama membuat pola pembedaan kajian dalam tiga kategori pokok: Iman, Islam, dan Ihsan. Pembahasan Iman, terangkum enam rukun. Islam, ada lima rukun. Bagaimana Ihsan? Perlukah ada rukun Ihsan?
Hampir keseluruhan kajian Islam memahami konsep Ihsan sebagai kualitas psikologis seseorang agar harmoni dengan aktivitas keislamannya dan pemahaman keimanannya. Jadi, Ihsan bukan merupakan ajaran tambahan, melainkan sebuah ajaran pokok yang seharusnya dilakukan seorang muslim sebagaimana melakukan rukun Iman dan Islam. Namun, orang cenderung lalai dengan Ihsan.
Padahal, Ihsan adalah puncak kesempurnaan dalam mengabdi kepada Tuhan dan menjalankan ritualitas individual. Orang mungkin mudah menjadi mukmin dan muslim, dengan hanya sekadar mengaku. Namun, untuk menjadi muhsin, orang memerlukan kesinambungan antara apa yang dikatakan dan diyakini sebelum lantas membuktikannya melalui aktivitas (Ihsan).
Disinilah mengapa Ihsan tidak mempunyai rukun sebagaimana Iman dan Islam. Atau, mungkin saja Tuhan membuat dispensasi pada manusia untuk menentukan rukun ihsannya sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Meski demikian, konsep rukun ihsan luas, karena kata ihsan mengandung arti segala kualitas positif (kebaikan, indah, elok, kegembiraan, dan harmoni). Sehingga, bisa jadi rukun islam yang keenam, sebagaimana diisyaratkan Allah dalam proses penciptaan alam semesta, adalah menjaga keseimbangan alam semesta. (M. Thalhah dan Achmad Mufid AR, 2008).
Pada wilayah inilah peran ulama untuk ikut membangun kesadaran dogmatis yang salah dari sebagian besar masyarakat bahwa bencana alam semata takdir Tuhan, sangat dibutuhkan. Ulama harus menjalankan fungsinya untuk bertanggung jawab secara sosial, tidak hanya sebatas pada hal-hal yang terkait dengan Iman dan Islam, tetapi juga Ihsan. Karena sejatinya Ihsan adalah puncak kesempurnaan keberagamaan seseorang. Dengan berbuat Ihsan, berarti telah melakukan keseimbangan hubungan antara dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.
Jadi, kesimpulannya adalah dengan merusak keseimbangan (termasuk alam) maka, di mata Tuhan tidak akan terangkai keseimbangan antara Iman dan Islam seseorang. Doktrin ini harus dilakukan semua pihak, --khususnya ulama dengan bekerja sama dengan pemegang otoritas pengelolaan hutan, agar manusia mempunyai kesadaran untuk membangun kelestarian hutan. Sentuhan di wilayah ideologis ini dibutuhkan untuk merubah pola pikir masyarakat yang selama ini mungkin menganggap bahwa menebang hutan tidak merupakan pelanggaran agama yang serius (hanya dianggap sebagai pencurian biasa).

Kedua, sosio ekonomi dan politik berbasis partisipasi. Alasan ekonomi merupakan salah satu penyebab kenapa penjarahan hutan masih ada di berbagai daerah. Jika diteliti lebih jauh, sebagian masyarakat tetap nekad mencuri kayu hutan karena terdesak kebutuhan ekonomi. Untuk memutus mata rantai itu, tidak mudah. Sejauh ini pemerintah memang sudah mengupayakan mengurangi pencurian kayu (hutan) dengan memberdayakan masyarakat sekitar (bukan pinggiran) hutan dengan berbagai program. Misalnya, melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), atau Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), dan lainnya.


Hanya, penulis memandang aplikasi program ini masih kurang efektif. Terbukti, penjarahan masih berlangsung, dan kesadaran masyarakat untuk lebih peduli pada hutan masih minim. Mungkin, salah satu kelemahan dari program ini adalah cara pendekatannya. Selama ini pendekatan program di atas lebih bersifat tawaran konsep yang baku. Masyarakat belum disentuh partisipasinya berdasarkan kesadarannya sendiri. Ini bisa dipahami karena masyarakat masih memiliki budaya minta di-wongke (dihargai). Mulai dari idenya hingga perannya.
Sejauh ini peran yang dilakukan fasilitator yang ditunjuk otoritas pengelola hutan belum integral. Idealnya, fasilitator perlu merasa menjadi bagian masyarakat, menumbuhkan inovasi dalam masyarakat, mengelola konflik ke arah positif, bersifat netral, tidak terjebak pada metode (fleksibel), dan sabar. Hal ini perlu dipahami karena masyarakat berperilaku natural (alamiah), suka sharing (berbagi) pengalaman antarmasyarakat, merasa paling tahu tentang dirinya, dan paling tahu apa yang harus dilakukannya (Yappika, 2004).
Selain berbasis partisipasi, membangun kesadaran melestarian hutan juga harus berbasis ekonomi. Artinya, saat pemegang otoritas pengelolaan hutan melarang warga sekitar mencuri kayu, harus diimbangi dengan solusi ekonomis dalam jangka pendek dan menengah. Mungkin, cara Yayasan Pusat Pengembangan Pendidikan Mata Pencaharian Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, ini perlu dicontoh.
Mereka mampu membangun kesadaran masyarakat sekitar hutan dengan menanam pohon jenitri (buahnya adalah bahan untuk tasbih) yang sangat prospektif di lahan kritis. Bayangkan, untuk sekali panen (tiga tahun sekali) dari 200 pohon yang ditanam mampu menghasilkan uang Rp 375 juta! Sebuah angka yang besar untuk ukuran masyarakat.
Di wilayah ini pula peran pemegang kebijakan diperlukan. Pemerintah, terutama pemerintah daerah, perlu membuat bluechip untuk lahan kritis yang hendak dikelola menjadi lahan produktif. Bila perlu kebijakan ini dibuatkan landasan hukumnya, --bisa berupa perda, untuk menjamin keteraturan, tata cara dan syarat pemberlakuannya, serta kepastian sanksi bagi pelanggarnya.
Pohon yang ditanam tidak harus jenitri, tetapi bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter daerah masing-masing. Jika ini dilakukan, penulis yakin paling tidak masyarakat sekitar hutan akan pecah konsentrasinya, karena akan disibukkan dengan pekerjaan lain yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomis, daripada mencari kayu hutan yang memiliki risiko hukum.

a. Supremasi Hukum
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas menyebutkan bahwa, ”barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah.”
Namun, dalam praktiknya pelaku-pelaku kejahatan lingkungan tak banyak yang jera. Berdasarkan pengalaman penulis, kebanyakan pelaku illegal logging di wilayah Bojonegoro, Tuban, Lamongan, (Jawa Timur), dan Blora (Jawa Tengah) adalah orang-orang lama. Mereka memang sempat dihukum, tetapi masa hukumannya sangat pendek, tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Sehingga efek jera yang seharusnya menjadi tujuan dari supremasi hukum, nyaris tak ada.
Bahkan, tak jarang mereka masih bisa dengan bebasnya melenggang, meski semua tahu bahwa dia adalah pelaku pembalakan hutan. Karena itulah, ada adagium dari masyarakat, selama hukum tidak mampu menyentuh pelaku-pelaku penjarahan hutan kelas kakap, jangan harap illegal logging benar-benar nihil. Sindiran masyarakat ini seolah-olah menantang para penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) untuk membuktikan keseriusannya memberantas pembalakan hutan. Bagaimana pak aparat? Anda siap menerima tantangan ini?

Selain tiga hal di atas, sejauh ini upaya membangun kelestarian hutan dan alam sekitar sudah gencar dilakukan berbagai pihak. Di antaranya, dengan melakukan gerakan menanam sejuta pohon. Agar lebih sempurna, gerakan ini sebaiknya juga berlaku untuk semua keluarga, tidak hanya menanam pohon di hutan dan di lahan kritis. Bila perlu setiap rumah diwajibkan menanam (minimal) satu pohon. Dengan semakin banyaknya pohon untuk resapan air, tak hanya di hutan dan lahan kritis, akan semakin luas pula kawasan pepohonan yang positif untuk membersihkan oksigen, ”menambal” kebocoran lapisan ozon, dan memberi kesempatan hidup yang lebih lama bagi species lainnya.
Sudah saatnya kita memberi manfaat untuk sesama. Dan, hal itu bisa kita mulai dari diri kita sendiri. Jika semua berfikir demikian, penulis yakin kelestarian hutan bukan hanya sekadar angan-angan, tetapi nyata. (*)

Bawah Titian, 12 Oktober 2008

No comments:

Post a Comment