Friday, July 2, 2010

Refleksi Hari Pers Nasional (HPN) Pers dan Kompetensi Wartawan

Dalam catatan refleksi HPN tahun lalu, saya menulis mengenai menjamurnya praktik penyalahgunaan profesi yang kian merebak. Rasanya, tahun ini pun tema tersebut masih relevan untuk diangkat dan menjadi bahan renungan bagi kalangan jurnalis, yang kemarin (9/2) merayakan hari jadinya.
Setidaknya ada dua alasan kenapa tema itu masih aktual. Pertama, kasus penyalahgunaan profesi di Kecamatan Sukosewu, Bojonegoro, dan Kecamatan Parengan, Tuban, oleh oknum wartawan tabloid. Terlepas kasus itu masih dalam proses hukum, rasanya dugaan adanya penyalahgunaan profesi jurnalis ini harus jadi bahan perhatian di tengah gegap gempitanya peringatan HPN. Alasan kedua, telaah kritis terhadap UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Pers.
Seperti dipermaklumkan, lahirnya UU Pers merupakan salah satu penanda orde paling penting di kalangan jurnalis. Kelahiran UU ini membawa angin segar, karena memberi kebebasan bagi jurnalis untuk menyampaikan misi suci jurnalis. Yaitu, meningkatkan pengetahuan masyarakat atas dinamika peradaban manusia dengan menginformasikan apa yang terjadi; mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan wawasan dan integritas moral masyarakat dengan melakukan pendidikan melalui pemberitaan atau opini yang ditulis di media massa; serta, melakukan pengawasan (social control), dan meluruskan perilaku masyarakat yang menyimpang dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak populer.
Tetapi di sisi lain, harus diakui kelahiran UU 40/1999 membawa dampak domino yang kurang equivalent dengan landasan filosofis regulasi itu diterbitkan. Fakta yang terjadi, UU itu melahirkan kebebasan pers yang dalam konteks tertentu dimaknai dengan tanpa batas. Dampak lanjutannya, semua orang bisa dengan sangat mudah menjadi wartawan. Sepanjang bisa memenuhi syarat formal pendirian perusahaan media cetak, menjadi wartawan bukanlah sesuatu yang sulit. Sehingga, tidak jarang muncul wartawan (maaf) instant dan acapkali kebablasan, baik dalam pemberitaan maupun perilakunya!
Dalam sisi tertentu, teramat mudahnya menjadi jurnalis ini pada akhirnya melahirkan dan melanggengkan praktik-praktik penyalahgunaan profesi, sebagaimana yang terjadi di Sukosewu dan Tuban di atas. Oleh karena itu, gagasan Dewan Pers yang saat ini sedang menyusun Standar Kompetensi Wartawan patut diapresiasi, didukung, sekaligus untuk diterapkan dengan serius.
Standar kompetensi wartawan penting untuk setidaknya dua hal. Yakni, untuk menjawab pertanyaan dan bahkan gugatan masyarakat terkait pemberitaan yang dinilai merugikan, karena tidak dibuat dengan patokan kaidah-kaidah pemberitaan yang baku dan kode etik jurnalistik (KEJ). Alasan lainnya, pemberlakuan standar kompetensi wartawan ini, juga akan dapat meminimalisasi praktik-praktik penyalahgunaan profesi yang sulit sekali diberantas dari tahun ke tahun.
Saya berpandangan, setidaknya ada enam standar kompetensi agar wartawan menjadi jurnalis yang diharapkan oleh undang-undang. Pertama, terseleksi dengan baik, karena menjadi wartawan tak mudah. Dia harus memenuhi kriteria profesionalisme. Antara lain keahlian atau keterampilan tulis menulis jurnalistik. Mulai dalam hal-hal administratif (persyaratan jenjang pendidikan, misalnya minimal S1) hingga jenjang “ujian tertentu” yang diterapkan oleh masing-masing media.
Kedua, terdidik dengan baik. Jurnalis seyogyanya terbentuk melalui tahapan pendidikan kewartawanan, setidaknya melalui pelatihan jurnalistik yang terpola dengan baik. Ketiga,
terlatih dengan baik. Akibat kurang terlatihnya wartawan, banyak berita muncul di media yang kurang cermat dan menyesatkan. Bahkan, cenderung menyimpang dari standar KEJ yang seharusnya dilaksanakan.
Keempat, dilengkapi peralatan memadai. Pekerjaan wartawan butuh fasilitas, seperti alat tulis, alat rekam, kamera, alat komunikasi, alat transportasi, dll. Kelima, digaji dengan layak. Jika tidak, jangan harap budaya amplop dapat diberantas. Kasus pemerasan dan penyalahgunaan profesi wartawan muncul akibat tuntutan perut dan perusahaan tempat jurnalis bekerja, sebagaimana hasil penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-TAF (The Asia Foundation) dalam buku berjudul Kesejahteraan Jurnalis, antara Mitos dan Kenyataan (2000:23).
Serta, Kelima, memiliki motivasi yang baik saat menerjuni dunia wartawan. Motivasi ini lebih pada idealisme, bukan materi. Jika motivasinya adalah uang, jangan harapkan menjadi seorang wartawan yang profesional atau sejati! (kritik dan saran, kirimkan ke: alfin_995@yahoo.com)
Bawah Titian, 9 Februari 2010

*) Tayang di Radar Bojonegoro edisi 10 Februari 2010, halaman sinergi 36

No comments:

Post a Comment