Sunday, July 4, 2010

Sistem Pendidikan Kita Tidak Mendidik?

DALAM perbincangan hangat di sebuah warung kopi, seorang kawan menyatakan keprihatinannya dengan terlibatnya sejumlah mahasiswa dalam demonstrasi anarkis pada 3 Februari 2009 yang memicu tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara (Sumut) Aziz Angkat. Yang amat memprihatinkan adalah bagaimana mungkin mahasiswa yang berlabel intelektual, yang secara kapasitas lebih rasional dan terdidik, dapat tergiur hanya dengan imbalan Rp 25 ribu kalau ikut demo! Tidakkah ini merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan, Tuan?
Contoh di atas hanyalah satu dari sekian puluh (bahkan mungkin ratusan) kasus yang terkait dengan output pendidikan kita yang faktanya masih jauh dari substansi tujuan dari pendidikan itu sendiri. Tuan mungkin sudah sering mengetahui betapa seringnya berita-berita tentang unjuk rasa antarmahasiswa yang sering berujung anarkis mencuat ke permukaan, menyodok dinding-dinding kemanusiaan kita.
Beberapa waktu lalu sekelompok mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan, terlibat bentrok. Mereka saling lempar batu dengan lontaran penuh dendam. Mereka juga membawa senjata tajam (sajam). Sebuah perilaku tak elok. Bahkan, tak jarang mereka menawur masyarakat umum yang ironisnya tak tahu menahu masalah yang mereka persoalkan. Mereka tidak ubahnya barbarian, yang senantiasa menyelesaikan masalah dengan kekerasan, bukan dialog dari hati ke hati.
Karena itu, tak salah Tuan, banyak kalangan menilai bangsa Indonesia seperti berada dalam keadaan sakit. Ini karena banyaknya kejadian yang bersifat negatif, seperti kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, narkoba, dan lain lain. Rasa sosial yang telah kita kenal sangat baik selama ini, sepertinya berubah menjadi rasa asosial (kejahatan).
Jika sudah timbul tata nilai moralitas yang mengganggap bahwa melanggar peraturan merupakan suatu hal yang patut dibanggakan, maka kualitas maupun kuantitas suatu kejahatan segera meningkat. Yang memprihatinkan, anggapan keliru tersebut mulai menghinggapi tunas-tunas muda kita.
Tuan mungkin sering melihat bagaimana anak-anak didik kita terlibat aksi kekerasan seksual, narkoba, dan tindakan-tindakan kriminal lainnya yang mengatasnamakan egoisme jiwa muda. Mengapa generasi muda kita menjadi begini? Apa yang salah dalam sistem pendidikan kita, Tuan?

Redesain Pendidikan Pekerti
Tuan, terkadang kami berpikir, mungkinkah ini merupakan dampak dari output sistem pendidikan kita yang hanya mengandalkan kompetensi di bidang kognitif. Selama ini kita melihat bahwa pemerintah, instansi pendidikan, maupun guru-guru di sekolah hanya menekankan kemampuan intelektual siswa/mahasiswa dalam penguasaan mata pelajaran. Karena itu, diberlakukanlah standar ujian nasional (UN) yang passing grade-nya setiap tahun selalu naik.
Disadari atau tidak, sistem pendidikan kita menjadikan anak didik stres, terbebani, dan miskin kreativitas. Anak-anak didik kita merasa terdikte. Dipaksa. Betapa tidak. Beberapa bulan lamanya mereka dipaksa mengikuti program pelajaran tambahan, bimbingan belajar atau les. Namun, hasil yang didapat kurang menggembirakan.
Mereka menemukan fakta bahwa tingkat keberhasilan dari beberapa try out yang diikutinya relatif kecil persentasenya. Siswa yang berhasil memenuhi passing grade 5,25, standar UN untuk tahun 2009 ini, ada yang kurang dari sepuluh persen. Sebuah hasil yang sangat jauh dari harapan, Tuan.
Kami tidak menyalahkan penerapan standar UN dalam sistem pembelajaran di tingkat SLTP dan SLTA selama ini. Kami hanya berpikir bahwa seandainya standar UN itu tidak menjadi satu-satunya indikator kelulusan siswa, mungkin anak didik kita tidak akan menjadi se-mekanik ini. Kalau kita sadari, mereka sekarang tak ubahnya seperti robot yang hanya melakukan tindakan sesuai dengan yang diprogramkan, dalam konteks ini adalah standar UN. Anak-anak didik kita tidak diisi dengan ”program” yang lebih memunculkan perasaan-perasaan manusiawi, menghargai perbedaan pendapat, dan menghormati hak-hak orang lain.
Tuan, kami menyadari bahwa saat ini, Indonesia belum mampu bersaing dengan negara-negara lain, sekalipun indeks pembangunan manusia (Human Development Index) Indonesia naik satu peringkat. Yakni, peringkat 107 (tahun 2007-2008) dibandingkan tahun 2006 -2007 yang berada di peringkat 108 dari 177 negara di dunia. Namun, Indonesia masih tetap berada pada level bawah dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Indeks pembangunan manusia memang ditentukan dari tiga sektor utama. Yaitu, pendidikan, pendapatan, dan kesehatan.
Namun tuan, kenapa kita tidak pernah mencoba untuk juga menekankan kompetensi perilaku atau performance dalam sistem pendidikan kita? Ada baiknya pemerintah perlu untuk mendorong agar para guru, dosen, dan pendidik di lembaga-lembaga pendidikan yang ada untuk selalu membimbing, berkomunikasi, dan menumbuhkan semangat belajar siswa dengan tidak hanya berpangku pada bidang kognitif saja. Agar sumber daya manusia (SDM) bangsa kita tak hanya cakap di bidang keilmuan, namun juga tangguh di bidang mental. Dan, pendekatan ini tidak hanya ditentukan melalui bidang koginitif.
Tuan, ada baiknya kita mencermati hasil penelitian dari Daniel Goleman, seorang psikolog dari Harvard University. Hasil temuannya mengungkapkan, bahwa tingkat intelegensi tinggi tidak menjamin gengsi, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesuksesan hidup. Ada kecerdasan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan emosional (EQ), (Maksum, 2004).
Daniel Goleman memaparkan hasil penelitiannya dari dua mahasiswanya. Seorang mahasiswa yang berintelegensi tinggi dalam meniti karir kehidupannya harus menerima kegagalan hidup karena rendahnya kecerdasan emosional yang dimilikinya. Seorang mahasiswa lainnya tergolong berintelegensi rata-rata, namun dalam meniti karir kehidupan, dia mampu menggapai puncak karir dan berhasil dalam meniti masa depan yang baik. Hal itu disebabkan karena dia berkecerdasan emosional yang tinggi.
Kami sangat menyadari Tuan, bahwa kualitas suatu bangsa sangat dipengaruhi mutu pendidikan bangsa itu sendiri. Semakin rendah mutu pendidikan, baik di bidang cerdas fikir dan cerdas emosional, semakin rendah pula kualitas SDM (sumber daya manusia) bangsa. Jadi pendidikan tidak bisa lepas dari peningkatan SDM bangsa.
Terbukti semua negara menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Sejarah membuktikan, ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh sekutu (Amerika Serikat) pada 1945, Jepang hancur berkeping-keping. Ketika itu pemerintah Jepang tidak mencari jumlah tentara yang masih hidup, tapi yang dicari adalah ada berapa guru yang masih hidup.
Artinya apa? Untuk membangun Jepang kembali tidak lewat tentara yang kuat namun lewat pendidikan bermutu yang tetap mengadopsi mental-mental tangguh dan merdeka, bukan mental pengecut dengan tetap menghargai khazanah budaya lokal. Upaya pemerintah Jepang berhasil membawa kembali negara Jepang bangkit dan melesat bagai meteor serta mampu menjadi negara yang disegani dalam segala bidang, terutama iptek dan industri.
Padahal, pada 1945 kondisi Jepang dan Indonesia sama, yakni sama-sama hancur, sama-sama mulai dari nol. Namun kenyataannnya, bisa diibaratkan Jepang sudah bisa rekreasi ke bulan, bangsa Indonesia baru bisa rekreasi ke kebun binatang, Tuan.
Contoh lainnya, Tuan. Pada 1950 pendapatan perkapita Indonesia dengan Korea Selatan sama. Namun, dalam kurun waktu 10 tahun Korsel mampu meninggalkan Indonesia sangat jauh. Kenapa? Karena Korea Selatan serius menangani pendidikan. Dari dua contoh di atas pendidikan masih perlu diperhatikan secara serius. Perlu terus dikembangkan pendidikan sebagai organisasi yang terus belajar (learning organization) agar sedikit demi sedikit bangsa Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain.
Tuan, kami lantas teringat sistem penerapan pendidikan orang tua-orang tua kita dulu. Mereka begitu santun, beradab, dan menghormati orang-orang yang berjasa terhadap perkembangan keilmuannya. Ternyata, hal itu terjadi karena orang tua-orang tua kita diajari cara bagaimana belajar berbudi pekerti. Ternyata, dampak dari pelajaran ini adalah para siswa mampu menumbuhkan nilai-nilai penghormatan, santun, dan berbudi pekerti, namun tetap berintelegensia tinggi. Pembelajaran ini yang sekarang tidak ada di generasi kita. Karena itu, Indonesia perlu me-redesain konsep pendidikan yang tidak hanya berbasis kesehatan fisik, fikiran, tetapi juga kesehatan mental.
Rumusan WHO (World Health Organization/Badan Kesehatan Dunia) tentang kesehatan mental adalah orang yang mempunyai sifat antara lain: berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong, merasa lebih puas memberi dari pada menerima, memperoleh kepuasan dari perjuangannya, menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pelajaran di hari depan, mengarahkan sikap permusuhan menjadi perbuatan yang kreatif dan membangun, orang yang jiwanya sehat, mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
Tuan, pembudayaan budi pekerti bisa dilakukan dengan melibatkan warga sekolah, terlebih khusus kepala sekolah, kalangan guru dan insan sekolah lainnya. Unsur ini harus mampu menciptakan suasana yang mendukung kehidupan berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Guru mengarahkan murid berbudi pekerti luhur, bersopan santun, melalui keteladanan. Pegawai tata usaha sekolah dapat membantu secara administratif, pembinaan murid untuk berdisiplin, jujur dan taat peraturan sekolah.
Selain itu Tuan, orang tua siswa melalui Komite Sekolah turut membantu pembinaan murid berbudi luhur. Begitu juga organisasi kesiswaan, dapat membina warganya sesuai dengan tujuan pendidikan budi pekerti. Keteladanan, merupakan kunci dalam pembudayaan budi pekerti. Secara berjenjang kepala sekolah memberi teladan kepada guru, guru kepada murid, kakak kelas kepada adik kelas.
Namun, pembudayaan budi pekerti di sekolah ini harus ditunjang dengan pembumian di lingkungan, minimal keluarga. Selain menekankan unsur ketakwaan, keluarga harus didorong untuk menanamkan kejujuran kepada anak-anaknya. Penanaman perilaku tidak berbohong, tidak curang, rela berkorban demi kebenaran, berani mengakui kesalahan, harus ditumbuh kembangkan sehingga menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri maupun dengan orang lain, Tuan.
Penanaman suasana demokratis, seperti menghargai hak-hak orang lain dalam menyampaikan pendapat, saran, berkreasi, dan lain lain, harus senantiasa didorong juga oleh keluarga. Jika dibiasakan dan menjadi budaya yang mengikat, dengan sendirinya siswa akan membiasakannya tidak hanya di lingkup sekolah, melainkan juga di masyarakat. Pada akhirnya, pembiasaan berbudi pekerti ini kelak akan jadi benteng tangguh terhadap inflitrasi dekadensi moral yang berpengaruh terhadap mentalitasnya di masa depan, Tuan.

Pembumian Bahasa Daerah
Selain membudayakan pendidikan budi pekerti, hal yang tak kalah pentingnya lagi adalah membumikan kembali bahasa daerah (bahasa Ibu). Tuan, kita patut prihatin dengan rilis dari Unesco (badan PBB dunia untuk pendidikan, sains, dan kebudayaan) bahwa laju kepunahan bahasa Jawa dilaporkan 4,1 persen. Angka kematian tersebut nyaris dua kali lipat bahasa Bali 2,1 persen. Bahkan, pada akhir abad XXI, bahasa-bahasa daerah di dunia diprediksi hanya bakal tersisa 10 persen. (Kompas, 21 Februari 2009).
Sinyalemen Unesco tersebut harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, Tuan. Sebab, bahasa daerah adalah jembatan komunikasi peradaban dan budaya masa lalu dengan sekarang. Bahasa daerah akan menjadi referensi yang akan menuntun kita untuk menemukan entitas entitas peradaban masa lalu, untuk dikembangkan menjadi strategi sosial di masa kini. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana bakal ikut punahnya peradaban kita menyusul kian tersingkirnya bahasa Ibu, karena lembaga sekolah merasa lebih bergengsi dengan menempatkan bahasa asing, sebagai bahasa yang wajib dipelajari.
Tuan, kami memang tidak ingin masa depan bangsa ini terus tertinggal dengan bangsa lain sehingga mengapa mempelajari sains dan bahasa asing penting juga dilakukan sebagai pengantar dan jembatan untuk meraih kepentingan global.
Akan tetapi Tuan, bangsa yang bijak adalah bangsa yang menggapai masa depan dengan tetap menapakkan kakinya di bumi. Artinya, kita boleh saja berpendidikan modern dan tinggi, tetapi warisan leluhur kita yang sedemikian hebatnya tidak boleh dicampakkan begitu saja. Jangan kita membiarkan masa depan generasi kita menjadi bangsa yang tercerabut dari akarnya.
Bukankah sudah tampak tanda-tanda bahwa bangsa kita mulai kehilangan jati diri bahasa ibu dengan tiadanya kesopansantunan anak didik? Kita harus instropeksi penanda ini, Tuan. Dulu, saat kami masih kecil, kami diajari bahasa Jawa yang penuh dengan nilai-nilai adiluhung. Ada stratifikasi bahasa yang digunakan antara kepada orang yang lebih tua, sebaya, dan lebih muda.
Harus diakui, dalam hal-hal tertentu, terkadang stratifikasi bahasa itu menimbulkan jarak. Namun, disadari atau tidak, pembiasaan untuk menggunakan stratifikasi bahasa itu membuat kita terlatih untuk memperlakukan orang-orang di sekitar kita. Sehingga pada akhirnya pembiasaan ini membuat kita memiliki perilaku yang santun dengan siapapun, tidak peduli kepada yang lebih muda, sebaya, maupun lebih tua.
Tuan, ruh itulah yang kini telah hilang. Tidak adanya semangat bersama pada pejabat pemegang pemerintahan di negeri ini mengakibatkan bahasa daerah yang sangat kaya makna itu nyaris punah. Kita masih punya waktu untuk menyelamatkan asset leluhur sekaligus benteng untuk generasi muda kita, Tuan.
Marilah, asset itu kita mulai pelihara dengan mendorong pejabat kekuasaan, baik di level provinsi, kabupaten/kota untuk mem-proteck kelestarian bahasa ibu itu melalui regulasi-regulasi dalam bentuk peraturan daerah (perda). Adanya UU Otonomi Daerah seharusnya menjadi spirit untuk melahirkan kebijakan perlindungan terhadap asset leluhur tersebut.
Selain itu, Tuan, pejabat pemerintahan daerah, baik pemprov, pemkab, maupun pemkot, harus mulai membumikan kembali pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah, sejak dini (playgroup) hingga memasuki usia remaja. Selama ini, fakta yang terjadi bahasa daerah untuk SD di tingkat awal sudah dihilangkan. Euforia globalisasi boleh saja. Namun, mengesampingkan bahasa daerah secara dini hanya gara-gara terlalu memberi porsi yang lebih besar kepada bahasa asing, adalah sebuah perjudian besar peradaban masa lalu dan benteng masa mendatang, Tuan.
Sekilas, memang terkesan klise, Tuan. Namun, jika kita gunakan mata hati, kita akan mengetahui bahwa kecerdasan berfikir tanpa dibarengi dengan kesehatan mental dan emosional serta penghormatan (pelestarian) terhadap khazanah budaya lokal (local wisdom) dari para leluhur yang telah memberikan sumbangsih peradaban ini, hanya akan melahirkan pejabat korup dan generasi-generasi despotik yang justru bakal menyengsarakan rakyat di kemudian hari.
Sudah saatnya tuan, kita memperbaiki pendidikan bangsa kita, tidak hanya pada otaknya, melainkankan juga mental dan tindakannya. Tidakkah ini yang seharusnya kita lakukan agar bangsa ini maju dan bermartabat, Tuan? (*)

Bawah Titian, 21 Februari 2009

No comments:

Post a Comment