Friday, July 2, 2010

Disparitas Intelektual

”Manusia boleh pandai setinggi langit, namun ketika dia tidak menulis,
dia akan hilang ditelan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
(Pramoedya Ananta Toer)

DALAM sebuah kesempatan diskusi, saya sempat ditanya oleh seorang kawan seberapa besar sumbangsih dari kalangan akademisi (intelektual kampus/perguruan tinggi) melalui tulisan yang menyorot dan memberi solusi sekaligus analisis atas berbagai permasalahan di masyarakat. Pertanyaan itu menggelitik saya untuk melakukan observasi/pengamatan terhadap artikel-artikel yang dimuat oleh sejumlah media massa cetak harian, baik skala nasional, regional, maupun lokal selama periode Januari dan Februari 2010. Media cetak itu adalah Harian Kompas, Jawa Pos, Jawa Pos Metropolis, Surya, dan Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group). Hasilnya, ada fakta mencengangkan yang menyimpulkan telah terjadi disparitas atau kesenjangan intelektual antara di kota besar dengan kota kelas menengah maupun kecil (pinggiran).
Dari 100 artikel yang terbit selama Januari (di luar edisi Minggu) yang dimuat di Kompas, 46 di antaranya atau 46 persen ditulis oleh penulis yang mengatasnamakan dari perguruan tinggi. Baik dalam kapasitas sebagai dosen, dekan, maupun guru besar. Posisi kedua dan ketiga ditempati organisasi masyarakat sipil (OMS) dengan 15 artikel (15 persen), serta perorangan 9 (9 persen). Di bulan Februari tulisan akademisi masih dominan, di kisaran 40 hingga 50 persen.
Dominasi tulisan dari perguruan tinggi juga terjadi pada Jawa Pos. Dari 37 artikel yang dimuat di halaman Opini selama Januari 2010, perguruan tinggi menyumbang 20 artikel (54 persen), disusul OMS 6 (16 persen), dan peneliti 3 (8 persen). Tren dominasi akademisi juga berlangsung di bulan Februari.
Perguruan tinggi juga menempati peringkat paling tinggi di Surya. Dari 21 artikel yang dimuat selama Januari, perguruan tinggi menyumbang 9 artikel (42 persen), OMS 5 (23 persen), dan mahasiswa 3 (14 persen). Begitu juga di bulan Februari, akademisi masih mayoritas. Di skala regional (Jawa Timur), dari 22 artikel di Jawa Pos Metropolis (Ruang Publik), perguruan tinggi menyumbang 7 artikel (31 persen), disusul OMS 4 (18 persen), dan mahasiswa 2 (9 persen). Tulisan akademisi juga dominan di bulan Februari.
Namun, fakta kontradiksi terjadi pada aras lokal. Dari 18 artikel yang dimuat selama Desember 2009 dan Januari 2010 (artikel tayang seminggu dua kali) di Harian Radar Bojonegoro, yang mencakup Bojonegoro, Lamongan, Tuban, dan Blora, dominasi justru ada di kalangan OMS/LSM yang menyumbang 9 artikel (50 persen). Disusul perorangan 3 (16 persen), guru 2 (11 persen), politisi 1 (5 persen), mahasiswa 1 (5 persen), praktisi 1 (5 persen), dan dosen 1 (5 persen). Fakta serupa berlangsung pada Februari, artikel dari akademisi paling buncit: hanya sebuah (!), terbanyak tetap dari OMS.
Kalau kriteria di atas belum cukup dijadikan sebagai ukuran seberapa besar sumbangsih perguruan tinggi di Lamongan, Bojonegoro, Tuban, dan Blora, mari dilihat intensitas artikel dari kalangan akademisi yang masuk di redaksi koran ini. Selama tiga bulan ini, Desember 2009 hingga Januari dan Februari 2010, dari puluhan artikel yang masuk di redaksi, hanya dua hingga tiga artikel yang mengatasnamakan dari perguruan tinggi (!). Fakta serupa terjadi beberapa bulan sebelum periode Februari 2010 yang rata-rata tidak sampai lima artikel dari ratusan artikel yang masuk.
Betapa fakta ini amat berbalik 180 derajat dibandingkan dengan bertebarannya tulisan akademisi di kota-kota besar. Padahal, data di atas adalah tulisan kalangan akademisi yang tayang di media massa nasional dan regional. Belum lagi tulisan yang dinilai tidak layak muat dan ngendon di desk redaksi, tentu akan lebih banyak lagi bukan? Terlepas adanya perbedaan bentuk apresiasi atas dimuatnya tulisan antara di media nasional dengan koran ini, yang patut diperhatikan sumbangsih tulisan akademisi di aras lokal masih sangat minim.

Intelektual Organik
Pada dasarnya, semua orang mempunyai potensi menjadi intelektual, apalagi akademisi. Dalam pengertian ini, Antonio Gramsci (1891-1937), pemikir dari Italia, mengatakan, semua orang adalah intelektual. Namun, tidak semua orang punya fungsi intelektual di dalam masyarakat. (Nezar Patria dan Andi Arief, 1999:157). Gramsci membagi intelektual menjadi dua: intelektual organik dan intelektual tradisional.
Intelektual organik langsung berhubungan dengan cara produksi yang dominan. Artinya, seseorang, termasuk kalangan akademisi, dikatakan sebagai intelektual organik selama hubungan mereka dengan kelompok sosial tertentu mampu memberikan konstribusi nyata atas pelbagai problem realitas. Kelompok ini berpenetrasi sampai ke massa. Kesadaran menjalankan fungsi intelektual itu bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial politik, budaya, dan lainnya.
Sedangkan intelektual tradisional adalah kaum intelektual yang menganggap dirinya ”independen”, otonom, dan terbungkus dalam karakter mereka sendiri. Menurut Gramsci,
intelektual tradisional terpolarisasi dan cukup ”abai” terhadap lingkungan sosialnya. Bahkan, dengan tegas dia mencontohkan filsuf dan artis termasuk bagian dari kelompok intelektual tradisional.
Mengacu definisi Gramsci, kalangan akademisi lebih cocok menjadi intelektual organik. Prasyarat untuk menjadi kelompok ideal ini sudah dipenuhi akademisi. Di dunia kampus, dikenal istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Manifestasi pengabdian masyarakat beragam, tidak melulu ditafsirkan dalam bentuk kuliah kerja nyata.

Tradisi Menulis
Mengurai dan memberikan jalan keluar melalui tulisan/analisa di media massa hakikinya merupakan bagian dari bentuk pengabdian masyarakat. Sayangnya, (mohon maaf) tradisi tersebut masih belum mengakar dan membumi di kalangan akademisi di Bojonegoro, Lamongan, Tuban dan Blora. Minimnya konstribusi akademisi dalam menjawab problem realitas tersebut setidaknya karena tiga hal, berdasarkan pengakuan sejumlah akademisi itu sendiri.
Pertama, mereka cukup kesulitan merespons isu-isu eksternal yang terjadi di masyarakat. Banyaknya permasalahan yang terjadi di masyarakat dalam konteks tertentu membuat mereka kesulitan mencari, memilah, dan memilih isu mana yang paling dominan, serta
bisa menjadi prioritas untuk diangkat. Kepekaan memilah dan memilih isu hanya dapat
dilakukan dengan cara men-dialektika-kan kajian dan menulis.
Kedua, kreativitas dan kemampuan menulis yang belum terasah. Problem tersebut dapat ”dimaklumi” sekaligus memprihatinkan, karena sebagian di antara perguruan tinggi itu
belum mempunyai ruang aktualisasi. Ruang dan media seperti jurnal ilmiah masih jarang dijumpai. Memang, beberapa di antara puluhan perguruan tinggi di Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Blora sudah ada yang mempunyai website, tapi space penuangan gagasan dan ide-ide tentang penguraian problem realitas masih jauh dari kata cukup. Dampaknya, kemampuan menulis kurang terasah.
Ketiga, terjebak rutinitas. Alasan ini sebenarnya tak terlalu krusial, karena pada dasarnya semua pengajar perguruan tinggi mengalami hal yang tidak jauh berbeda. Akan tetapi, faktanya mayoritas dari mereka enggan menulis. Meskipun, basis menulis, dalam hal ini data, sudah mereka lakukan, misalnya sering mengadakan penelitian.
Disparitas intelektual antara kota-kota besar dengan kota pinggiran ini sudah seharusnya segera ditangani. Pembenahan internal (dari dalam) mendesak dilakukan oleh perguruan tinggi masing-masing. Memberikan ruang aktualisasi (jurnal) yang berlebih dan ditangani secara serius, merupakan opsi yang paling rasional dan relevan.
Sedangkan pembenahan dari eksternal (luar), menjadi tanggung jawab para pengampu kebijakan, semisal Kementerian Pendidikan Nasional, Dinas P dan K Jatim, dan pemkab masing-masing agar dapat mempercepat pematangan dan penciptaan intelektual organik ini dengan berbagai langkah strategis. Berbagai kegiatan yang berbasis capacity building (peningkatan kapasitas) mutlak dibutuhkan.
Langkah-langkah itu hanyalah sebagian kecil dari banyak cara yang bisa dilakukan agar kampus di empat kabupaten tersebut dapat menjadi seperti yang diinginkan Pramoedya Ananta Toer, sebagaimana prolog artikel ini. Tanpa menulis (di buku maupun di media massa) manusia akan ditelan sejarah, sepintar apapun dia. Karena pada dasarnya, menulis adalah bekerja untuk keabadian. (*)

Bawah Titian, 8 Maret 2010

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro Halaman 38 Edisi Minggu, 14 Maret 2010.

No comments:

Post a Comment