Friday, July 2, 2010

Keliru Tafsir Peran Perempuan

Ada banyak problem yang melingkupi jika membincang secara fair dimana posisi dan peran perempuan yang ideal dalam multisegmen. Dari sisi antropologis sosiologis (kemanusiaan), tak bisa dinafikan hubungan antar manusia tidak jarang memunculkan undang-undang tak tertulis. Namun, mempunyai implikasi hukum kuat yang tak jarang memandulkan gerak perempuan.
Dalam hubungan kemanusiaan, faktanya penghargaan sebuah peran tak lepas dari perbedaan jenis kelamin. Tidak bisa dipungkiri, kenyataan di masyarakat masih sangat membedakan jenis kelamin (sexuality) antara laki-laki dengan perempuan. Berawal dari pembedaan kelamin inilah, berkembang dalil yang menjadi kesepakatan sosial. Artinya, laki-laki adalah kelamin mulya yang segala-galanya, jauh di atas perempuan. Contoh sederhana, seorang ayah akan bangga jika anak pertama yang lahir adalah laki-laki. Menurut mitos (kepercayaan) yang berkembang, jika anak pertama laki-laki, diyakini akan membantu yoni (keberuntungan) seorang ayah. Terlalu berlebihan bukan? Sebuah keberuntungan hanya diukur dengan kelahiran anak berjenis kelamin lelaki.
Dalam perkembangannya, dalil tersebut ditafsirkan secara lebih luas lagi pada pembatasan peran. Peran perempuan selalu dibatasi dengan batasan-batasan rambu etika sosial yang sangat normatif (hitam-putih). Tak jarang peran perempuan diberikan kepada lingkup kerja-kerja reproduktif yang membuat perempuan mempunyai peran ganda, selain bekerja juga diwajibkan mengasuh anak-anaknya.
Pada tingkat pembacaan partisipasi (kerja publik/sosial), perempuan selalu disarankan, kalau tidak mau dikatakan diintimidasi, dengan nilai-nilai kepantasan. Suatu contoh, saat perempuan terlibat banyak dalam lapangan sosial politik, selalu dibayang-bayangi dengan cemoohan, buat apa anda menjadi seorang aktivis, kalau toh nantinya suatu saat kamu akan juga kawin dan beranak pinak? Disadari atau tidak ini adalah sebuah teror psikis (kejiwaan) yang dapat membatasi perempuan untuk total, padahal bisa jadi perempuan itu sangat potensial. Lebih tragisnya, perempuan tidak sedikitpun membantah ”dalil tak tertulis” sosial ini.
Di sisi lain, teks (ayat) agama yang tertuang dalam kitab suci juga menjadi “teror” lain yang tak kalah ampuhnya. Dalam Alquran disebutkan, ”laki-laki berdiri (menguasai) di atas perempuan”. Umumnya, teks itu dimaknai sangat sederhana bahwa laki-laki adalah segala-galanya, di atas perempuan dalam segala hal. Padahal hakikinya, jika memahami risalah Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT ke bumi adalah untuk mengajarkan nilai-nilai demokrasi. Ada kesetaraan, keadilan, toleransi, dan kebersamaan. Ikhwal pemahaman ayat di atas tentu sangat bertentangan dengan maksud diutusnya Nabi. Yakni, membangun masyarakat yang penuh keadilan tanpa memandang suku, bangsa, ras, termasuk pula jenis kelamin perempuan. Sebab, jika perempuan tidak diberikan kebebasan dalam melakukan perannya, tentu akan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.
Hal lain yang mengganjal mengapa peran perempuan selalu dipandang tidak pantas bergerak secara total adalah pembatasan dengan menggunakan norma-norma agama sebagai intimidasi moral. Ini sangat kuat pengaruhnya. Sebab, agama adalah tata nilai. Berisi petuah-petuah bijak hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam.
Ironisnya, dalil-dalil agama yang mestinya dituturkan secara jujur apa adanya, tak jarang digunakan sebagai dalil pembenar untuk memangkas peran perempuan. Disadari atau tidak hal ini membawa efek keimanan seorang perempuan. Seseorang jika sudah dibenturkan dengan nilai-nilai keimanan, tiada yang berani melawannya. Sebab vonis yang akan diterimanya dapat dikatakan dosa besar. Suatu contoh, jika seorang perempuan menjalankan aktivitas sosialnya terlalu banyak, biasanya lantas ditakuti dengan bayang-bayang ”tindakan-tindakan yang bertentangan dengan agama”. Padahal sejujurnya, bisa jadi ini hanya merupakan langkah pencegahan untuk semakin melanggengkan dominasi lelaki di atas perempuan. Jika permasalahan di atas mampu dibumikan secara benar dan pada tempatnya, kesejajaran peran perempuan dalam segala bidang dengan lelaki muncul tanpa ada diskriminasi dan akan membawa rahmat bagi peradaban manusia. (*)

Bawah Titian, 6 Februari 2010

*) Tayang di Harian SURYA, edisi 22 Februari 2010

No comments:

Post a Comment