Sunday, July 4, 2010

Reinterpretasi Teks Keagamaan Kita (Studi Kasus Pernikahan Syekh Puji-Ulfa)

Dalam beberapa hari terakhir ini publik dikejutkan dengan pernikahan kontroversial antara Syekh Puji, 43, pengusaha asal Semarang, Jawa Tengah, dengan Lutfiana Ulfa. Pernikahan ini menjadi gonjang ganjing dan menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, karena Ulfa baru berusia 12 tahun.
Sampai-sampai Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak ”memvonis” pengusaha bernama asli H. Pujiono Cahyo Widianto itu dengan tiga kesalahan atau pelanggaran sekaligus. Menurut Komnas Perlindungan Anak, pemimpin Ponpes Miftahul Jannah itu dinilai, pertama, melakukan pelanggaran terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam UU itu disebutkan, perkawinan dengan anak-anak dilarang. Paling tidak, untuk menikah umur perempuan harus 16 tahun, sementara laki-laki 19 tahun.
Kedua, Syekh Puji dianggap melanggar UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang tidak memperbolehkan adanya persetubuhan terhadap anak. Dan, vonis ketiga, Komnas Perlindungan Anak menilai Syekh Puji melanggar UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ini karena Syekh Puji mengangkat istri keduanya itu sebagai General Manager PT Sinar Lendoh Terang, perusahaan milik Syekh Puji.
Kasus ini semakin menjadi pusat perhatian karena Syekh Puji menyikapi badai kritik dan kecaman itu dengan santai dan meyakini bahwa langkah yang ditempuh adalah benar. Dalam banyak kesempatan wawancara dengan media massa, baik cetak maupun elektronik, Syekh Puji menegaskan pernikahannya dengan Ulfa tidak dilandasi dengan unsur paksaan. Alasannya, selain sudah mendapat izin (baca: ikhlas) dari istri pertamanya (Hj. Ummi Hanni), orang tua Ulfa (Suroso-Siti Huriah) juga merestui apabila anaknya dinikahi oleh Syekh Puji.
Pria yang sebelum Lebaran lalu menjadi perhatian karena membagikan zakat Rp 1,3 miliar secara langsung kepada ribuan warga tersebut juga meyakini bahwa pernikahannya dengan Ulfa tidak bertentangan dengan agama. Mungkin, yang dimaksud Syekh Puji ini adalah bahwa langkah yang ditempuhnya tidak melawan Islam, karena Nabi Muhammad SAW pernah menikah dengan gadis (Aisyah r.a, putri Abu Bakar) yang berusia 9 tahun.

Perbedaan Pemahaman Keagamaan
Dalam hal menikahi wanita lebih dari satu, apa yang dialami oleh Syekh Puji tersebut tergolong sebagai poligami. Di kalangan Islam, perdebatan tentang poligami tidak pernah tuntas sejak dulu. Sebagian ahli Islam (ulama) klasik tetap berkeyakinan bahwa poligami adalah sah dan dibolehkan dalam agama. Dalil teks yang digunakan ulama klasik sebagai legitimasi dan justifikasi (landasan pembenar) adalah QS. An Nisa ayat 3 dan mencontoh secara ”total”, --yang mungkin tanpa ditelisik lebih jauh, mengenai pernikahan yang telah dilakukan Nabi, yang dalam contoh kasus ini adalah menikahi Aisyah r.a.
Namun, sebagian ulama kontemporer menilai poligami tidak memenuhi unsur keadilan umat manusia yang diciptakan setara, sederajat. Padahal, Islam diturunkan ke muka bumi membawa misi pembebasan (liberate) dari kaum tertindas.
Kelompok ulama kontemporer meyakini bahwa Islam adalah agama universal yang berprinsip rahmatan lilalamin (menyebarkan kasih sayang ke segenap penjuru alam). Apabila kita mempelajari isi dan kandungan teks-teks Alquran, banyak sekali bermuatan isu-isu kontemporer. Kesimpulannya, Islam mengajarkan demokratisasi, egalitarianisme, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (gender), serta membebaskan, dan membela kaum tertindas.
Islam berarti sebagai ketundukan kepada prinsip-prinsip kebenaran, kesetaraan sosial, cinta, dan prinsip-prinsip lain yang melandasi berdirinya suatu komunitas yang bebas dan setara. Sebab, Islam bukankah sebuah ide baku atau sistem ritual-ritual, upacara-upacara, dan lembaga-lembaga yang kaku. Melainkan Islam adalah suatu prinsip progresif yang selalu menghapuskan tatanan-tatanan lama. (Hassan Hanafi: 1981).

Perlukah Standarisasi Pemahaman?
Apabila ditelisik lebih jauh, kebanyakan dari kasus-kasus poligami terjadi di kalangan masyarakat yang menerapkan doktrin-doktrin keagamaan yang berbasis ulama klasik. Sekadar menyebut contoh, keyakinan bahwa berpoligami, --dan mungkin termasuk pernikahan dengan anak di bawah umur (sesuai patokan UU Perkawinan), itu dihalalkan kebanyakan berkembang subur di wilayah-wilayah yang berdekatan dan berbasis pondok pesantren. Hal ini dapat dimaklumi karena rujukan masyarakat di wilayah itu kebanyakan berporos pada ulama yang selama ini berdoktrin ulama klasik.
Masalahnya adalah masih relevankah pemahaman keagamaan seperti itu dengan konteks realitas sosial yang selalu berkembang? Sebab, apabila Islam membolehkan anak di bawah umur menikah, maka ini tentu paradoks dengan prinsip dasar ajaran Islam yang diturunkan ke muka bumi, sebagaimana disinggung di tulisan awal.
Penulis yakin bahwa Islam diturunkan ke muka bumi dengan misi mulia. Kalaupun sejak dulu hingga sekarang masih ada perbedaan pemahaman tentang beberapa hal, termasuk menikahi gadis di bawah umur, mungkin hal itu lebih disebabkan cara dan methode yang diambil oleh ulama klasik dulu tak sama dengan ulama kontemporer.
Bisa jadi, ulama klasik dulu saat meng-istinbath (menentukan dasar hukum)-kan suatu persoalan yang terjadi di masyarakat, belum banyak mengadopsi ilmu-ilmu modern yang berkembang pesat seperti sekarang ini. Misalnya pendekatan hermeneutic, yakni methode menafsirkan teks agama dengan memperhatikan konteks realitas serta situasi waktu yang melingkupi atau menjadi sebab turunnya teks-teks tersebut (Abad Badruzaman; 2005).
Saat ini juga berkembang pesat ilmu-ilmu baru seperti antropologi, linguistik, metode sejarah, biologi, fisika, kimia, dan lainnya yang mungkin ketika itu belum ada, --dan kalaupun ada, belum diperlukan sebagai supporting dalam mencari pemahaman keagamaan terhadap apa yang terjadi di masa lampau.
Sekiranya disiplin ilmu-ilmu modern di atas juga digunakan kalangan ulama klasik dalam mencari pemahaman terhadap teks-teks yang ada, maka, meminjam istilah kawan-kawan JIL (Jaringan Islam Liberal), “kunci” penafsiran atas teks-teks yang ada tentu akan lebih longgar, dapat membumi sesuai dengan realitas sosial, dan tak menjadikan Nabi selalu sebagai ”bemper” atas tindakan-tindakan umat yang bertentangan dengan misi dasar Islam. Wallahu A`lam.
Bawah Titian, 27 Oktober 2008

No comments:

Post a Comment