Friday, July 2, 2010

(Bukan) Rerasanan Publik

Suatu hari di warung kopi kothok. Seorang teman mengeluhkan tentang ketidakjelasan konsep pembangunan Pemkab Bojonegoro. Dia lantas mengurai satu demi satu berbagai program yang diklaim pro kerakyatan. Mulai melonisasi, sapiisasi, kambingisasi, hingga pavingisasi (sengaja diberi tambahan ”isasi” untuk memudahkan dalam pengistilahan). Semua dianggap belum sesuai dengan perencanaan program yang dicanangkan.
Kita mulai dari program melonisasi. Program ini awalnya cukup sukses. Seorang petani di Kecamatan Sumberrejo, sampai mendapat uang Rp 25 juta dari lahan melonnya dalam sekali panen. Cerita sukses petani melon di Sumberrejo menyebar. Cerita ini membuat petani daerah-daerah lain, yang selama ini menanam kedelai dan jagung, pun ikut-ikutan menanam melon.
Budaya “meniru” di kalangan petani kita yang acap terpengaruh oleh cerita sukses mulai berlaku. Di mana-mana orang menanam melon. Sampai-sampai stok melon berlimpah ruah. Buah melon begitu banyak. Pada akhirnya, hukum ekonomi berbicara: bila suplay (stok) and demand (permintaan) tidak berimbang, yang terjadi adalah harga anjlok. Teori ekonomi ini berlaku di Bojonegoro (ketika itu). Petani melon bangkrut, melonnya terjual dengan harga sangat murah, tak sumbut dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Petani kembali hanya diiming-imingi kenikmatan sesaat. Setelah itu mereka ambruk lagi.
Belum kelar publik membicarakan melon, Pemkab Bojonegoro kembali menggelorakan program sapiisasi. Ide ini bermula dari tujuan mulia: meningkatkan taraf kesejahteraan petani buruh (penggarap lahan) dan petani berlahan sempit, yang tidak memperoleh hasil memuaskan dari sawah. Seperti program melonisasi, program ini awalnya disambut baik oleh petani. Petani diberikan kemudahan mengajukan pinjaman kredit sapi ke bank yang ditunjuk pemkab, dengan jaminan dari pemkab.
Masalahnya, fakta di lapangan berbicara lain. Ketika ada banyak warga yang mengajukan program ini, sapi pun booming di pasaran. (Untuk yang kedua kalinya) Hukum ekonomi kembali berbicara. Permintaan dengan stok tidak imbang. Sapi meluber, hingga harganya jatuh. Sampai-sampai, sebagaimana ditayangkan sebuah stasiun televisi lokal belum lama ini, harga bakalan sapi (Jawa: pedhet, anak sapi) yang selama bertahun-tahun di kisaran Rp 4 juta-Rp 5 juta, kini anjlok menjadi Rp 3 juta. Apa yang mereka katakan? ”Harga bakalan sapi anjlok sejak ada program sapiisasi.”
Rerasanan publik yang ketiga dan keempat adalah soal kambingisasi dan pavingisasi. Tujuan awal dari program kambingisasi (benih Boer dan Etawa), sama dengan program sapiisasi. Program ini rupa-rupanya juga mengalami nasib yang sama dengan sapiisasi.
Memang, kepala Dinas Perikanan dan Peternakan, Tukiwan Yusa, beberapa waktu lalu pernah mengatakan program ini belum dapat dilihat dalam jangka waktu setahun, tetapi setidaknya dua atau tiga tahun lagi. Alasannya, pembuahan dalam inseminasi buatan (IB) butuh waktu, butuh proses.
Kekhawatiran IB dalam kambingisasi bahwa nasibnya serupa dengan dua pendahulunya, salah satunya adalah karena dipengaruhi oleh tingkat keberhasilan IB yang tergolong rendah. Konon, tingkat keberhasilan kambingisasi adalah 20:80 hingga 25:75. Pertanyaan publik, kalau tingkat keberhasilannya rendah, kenapa dikembangkan?

Hanya Sentuh Hulu
Gerundelan publik yang keempat adalah pavingisasi. Jamak yang tahu kalau program ini digagas untuk menyiasati struktur tanah Bojonegoro yang cenderung gerak, sehingga sebaik apapun pembangunan jalan dilakukan, akan cepat rusak, bahkan lebih cepat dari prediksi secara teknis. Secara filosofis, program ini juga bagus, karena posisi masyarakat tak hanya sebagai objek, tetapi subjek pembangunan, dengan melibatkan mereka sebagai pelaksana pembangunan. Masyarakat diajak memelihara jalan dengan cara ”membebani” kewajiban memperbaiki, jika paving rusak.
Masalahnya, di banyak desa, terjadi kerancuan antara rencana awal dengan pelaksanaan. Awalnya, setiap desa dijanjikan jalan paving seluas 1-2 Km. Faktanya, dropping paving hanya cukup untuk jalan sepanjang 500 meter. Sekarang, program ini stagnan. Banyak desa urung menjalankannya, menunggu kejelasan konsep lebih lanjut. Di sisi lain, kalau semangat program untuk pemberdayaan masyarakat, kenapa stok paving tersentralisasi? Bukankah lebih baik (menurut penulis) pengadaan paving dilakukan masyarakat sendiri melalui unit ekonomi desa masing-masing, tetapi secara teknik dipantau oleh pemkab, dengan menyediakan konsultan ahli/teknik yang mengontrol kualitas, ketebalan, bahan baku, dan standar teknis pembuatan paving? Mekanisme ini cenderung lebih tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mikro sekaligus makro desa, karena dapat menyerap angkatan tenaga kerja.
Dari beragam rerasanan di atas, ada beberapa hal yang belum disentuh, sehingga program ini berjalan tidak terarah. Pertama, kurang adanya pemetaan (mapping) yang jelas (dalam program melonisasi, sapiisasi, dan kambingisasi) soal mana-mana wilayah yang dijadikan pilot project, agar dapat diukur tingkat kegagalan dan keberhasilannya terlebih dulu. Dari hasil evaluasi inilah, baru kemudian dikembangkan di daerah lainnya. Akan tetapi, semua terkesan dibiarkan(?) alamiah. Akibatnya, dimana-mana terjadi overstok melon. Harga pun anjlok, petani jeblok.
Kedua, pemkab dan kelompok free raider lainnya hanya menyentuh wilayah hulu (dalam program melonisasi, sapiisasi, dan kambingisasi). Wilayah hilir yang berfungsi mengolah output produksi, tak disentuh. Padahal, titik inilah yang justru terpenting untuk disentuh. Ini bisa dilakukan, misalnya dengan cara menyiapkan sentralisasi pengolahan sirup andai terjadi stok berlebih (untuk melon). Atau menyiapkan terobosan pemasaran lintas daerah, bila perlu hingga provinsi, sekaligus regulasinya, untuk stok daging peternak sapi, kalau pilihannya memang sapi pedaging.
Semoga, tulisan ini bukan dianggap sebagai rerasanan atau gerundelan publik, yang tidak berdasar fakta. Melainkan, surat terbuka berbasis pengalaman masa lalu (sejarah), yang kita kerjakan. Kata Friedrich Nietzsche (1844-1900), diperlukan historis, ahistoris, dan supra-historis dalam kehidupan. Bagi Nietzsche, mempelajari sejarah memang cenderung membuat orang tidak bahagia. Namun, historis dan ahistoris diperlukan untuk menuju kebahagiaan. Oleh karena itu, belajarlah bagaimana melupakan pada saat yang tepat, dan mengingat pada yang saat yang tepat pula. (*)

Bawah Titian, 5 Juni 2010
*) Tayang di Radar Bojonegoro Halaman 30, edisi 6 Juni

No comments:

Post a Comment