Friday, July 2, 2010

OMS dan Pergeseran Paradigma

SALAH satu wacana yang berkembang dan tren di kalangan dunia organisasi masyarakat sipil (OMS), --penulis lebih suka menyebutnya demikian daripada lembaga swadaya masyarakat (LSM)--, dalam satu dasa warsa terakhir ini adalah bagaimana style OMS dalam menyikapi dinamika masyarakat yang terus berjalan. Apakah gaya pemberdayaan masyarakat yang diusung OMS sekarang ini masih dikehendaki oleh masyarakat yang memberinya mandat sosial (social mandatory).?
Rasanya, cukup susah untuk menjawabnya. Akan tetapi, berkaca pada proses kesejarahan OMS di Indonesia, rupa-rupanya dialektika gaya dan pola pemberdayaan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, apalagi dinafikan. Dalam kesejarahannya, pola gerakan OMS di Indonesia memang senantiasa mengalami metamorfosa yang berkelindan dengan tuntutan realitas sosial dan sosio-kultural-politik yang terjadi pada suatu masa.
Secara kesejarahan, munculnya aktivitas OMS diawali dengan upaya-upaya perlawanan terhadap sebuah rezim yang dianggap menyimpang dari pranata sosial yang telah menjadi konsensus. Alternatif penyaluran aspirasi melalui OMS dimulai pada era 1980 an melalui kajian-kajian kritisisme terhadap kebijakan negara yang dinilai berseberangan dengan pranata sosial. Sebagian pegiat NGO (non government organization), nama alias OMS, menganggap LP3ES sebagai representasi periode ini.
Dalam perkembangannya, upaya-upaya pengkritisan terhadap sikap negara memunculkan stigma “negatif”. Aksi-aksi kritisisme dianggap sebagai laten dan mengancam eksistensi negara, pada saat itu. Menyikapi dinamika yang berkembang, negara menerapkan pola tandingan yang beragam. Selain melakukan cara-cara kekerasan, di masa itu pula lahirlah konsep atau paradigma developmentalisme (pembangunan-isme). Developmentalisme ini diambil dan dianggap sebagai sebuah cara yang tepat untuk membenturkan pegiat-pegiat OMS yang sebelumnya sudah bergeliat, dengan masyarakat yang dalam konteks tertentu menginginkan stabilitas politik, sosial, dan ekonomi yang mantap.
Madzhab Developmentalisme ini semakin begitu dominan pada era 1990 an. Atas nama pembangunan, negara pada masa itu melakukan aksi-aksi represif terhadap penentang pembangunan Waduk Kedungombo, di Jawa Tengah, yang dinilai dilakukan dengan cara yang semena-mena. Perlawanan masyarakat, dengan didampingi aktivis OMS, ketika itu dianggap sebagai simbolisasi lahirnya sebuah meanstream baru dalam dunia OMS: CO (community organizer/pengorganisasian masyarakat).
Pola CO, mirip-mirip dengan ideologi gerakan OMS pada era 1980 an. Bedanya, gerakan di era 1980 an cenderung pada kajian-kajian kritisisme, sedangkan konsep CO menitik-beratkan pada penyadaran hak-hak masyarakat sipil secara membumi. Baik menyangkut hak politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya. Kebanyakan, konsep-konsep CO diaplikasikan dalam bentuk advokasi sosial. Meski demikian, ada kesamaan cara pandang serta ruang lingkup gerakan antara konsep CO dengan pola aksi era 1980 an: negara dan pemerintah diposisikan saling berhadap-hadapan dengan masyarakat (vis a vis).
Dalam perkembangannya, pola CO ”dianggap” tidak terlalu menjawab kebutuhan (ingat, bukan keinginan) masyarakat. CO ”dinilai” tidak mampu menjawab problem pragmatis realitas, dan riil dari masyarakat. CO ”dituding” hanya mampu memberikan ”ruh”, bukan ”jasad” masyarakat. Pada titik persinggungan inilah muncul gagasan/pola baru konsepsi CD (community develepoment/pembangunan masyarakat), yang dianggap sebagai anti-tesis konsepsi CO.
Konsepsi CD, ada yang mengatakan, pada mulanya diusung oleh kaum pemodal besar (kapitalisasi modal) yang berkepentingan untuk ”mengamankan” investasi kapitalnya agar tidak diganggu. Sehingga lahirlah berbagai program yang muaranya lebih mengarah pada penataan fisik/ragawi masyarakat. Implementasi konsep CD beragam, mulai bantuan berupa cash money hingga proyek fisik. Akan tetapi, konsep CD pun tidak lepas dari kritik. CD dianggap hanya memposisikan masyarakat sebagai objek pembangunan, penerima pasif pembangunan. CD juga dipandang sebagai konsepsi yang hanya melahirkan manusia-manusia transaksional, pragmatis, tetapi miskin substansi dan ruh pemberdayaan manusia itu sendiri.
Dialektika antara CO dan CD pada akhirnya melahirkan konsepsi sublimasi antara kedua model gerakan pemberdayaan masyarakat. Meskipun hingga sekarang bentuk wadag dari penggabungan dua konsepsi pemberdayaan itu belum nyata, akan tetapi pola-pola pemberdayaan pada era 2005 ke atas sudah mengadopsi konsepsi CO dan CD, sekaligus. Program gerakan terpadu pengentasan kemiskinan (Gerdu Taskin) adalah satu dari sekian banyak program yang merupakan manifestasi dari sublimasi CO dan CD. Nilai sublimasi CO dan CD dalam Gerdu Taskin terejawantah dalam Tri Daya: Pemberdayaan Manusia, Pemberdayaan Lingkungan, dan Pemberdayaan Usaha.
Implementasi sublimasi CO dan CD kian menemukan signifikansinya dengan lahirnya UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Perpres Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Nasional. Dalam UU 25/2007 ditegaskan, perusahaan wajib menyertakan CSR (corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan) untuk masyarakat.
Sementara Perpres 15/2010 menjadi regulasi dari sinergisitas bersama antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat (termasuk OMS) untuk memberdayakan masyakarakat. Tiga kutub yang sebelumnya vis a vis, yakni OMS, dunia usaha/kapitalisasi, kini mempunyai mandat sosial yang sama: menanggulangi kemiskinan dan memberdayakan masyarakat. Pada titik inilah terminologi Antonio Gramsci (1891-1937), pemikir Italia, bahwa masyarakat politik dan masyarakat sipil sebagai suatu equilibrium (kelindan/senyawa) untuk menjadi kekuatan hegemoni, menemukan titik singgungnya. Kini, pilihan ada di tangan kita: mengsublimasikan konsepsi CO-CD, CD ansich, atau tetap CO?

Bawah Titian, 8 April 2010. Pukul 09.03 WIB

*) Tayang di Majalah Gema, Edisi I April 2010

No comments:

Post a Comment