Friday, July 2, 2010

Menulis Itu ”Candu”?

Apa yang ada di benak Anda dengan judul tulisan kolom ini? Mungkin, Anda akan bilang tidak mungkin. Namun, saya yakin, sebagian dari Anda, bisa jadi akan membenarkannya, sepanjang dalam konteks yang positif. Sebab, kata candu, dalam pengertian logika umum dan meanstrem mayoritas, memang diidentikkan pada hal-hal yang berbau negatif, tiran, belenggu, mempunyai daya merusak tubuh, atau setidak-tidaknya, kurang baik.
Ambil contoh, kata ”candu” itu sendiri diidentikkan dengan zat yang memberi pengaruh tak baik dan mengganggu kesehatan tubuh manusia. Zat candu, dalam bentuk pengertian materiil, bisa diwujudkan dalam bentuk narkotika atau lainnya. Tetapi, penulis mencoba mengaitkan menulis itu sebagai ”candu” dalam konteks yang positif.
Anda mungkin pernah mendengar buku berjudul Sekolah Itu Candu, yang ditulis Roem Topatimasang, terbitan Insist Press. Buku itu sebagian besar menggambarkan pemikiran-pemikiran Paulo Freire, pemikir asal Brazil, atas kritiknya terhadap belenggu pendidikan (baca: sekolah) yang cenderung menciptakan pola komunikasi linier, bukan konvergen, dialogis. Pemikiran itu sebagai kritik dari Freire atas sistem pendidikan yang cenderung monologis, pedagogis, bukan berbentuk andragogis, yang membebaskan nalar berfikir peserta didik. Bukan pula pendidikan yang berbasis dogmatis, tetapi pendidikan alternatif yang berbasis pengalaman belajar. Kritik Freire digunakan untuk menyadarkan manusia agar pendidikan dikelola dengan menghormati nalar berfikir manusia yang bebas.
Atau, Anda mungkin juga sangat familier dengan aforisme Agama adalah Candu dari Masyarakat (It/religion is the opium of the people). Term ini dipopulerkan Karl Marx, penggagas marxisme/komunisme, pada era abad pertengahan Eropa. Term itu diungkap salah satu pentolan madzhab filsafat materialisme tersebut, sebagai kritik terhadap ”ketidakmampuan” agama dalam menjawab problem realitas sosial (khususnya buruh) yang berkembang ketika itu, sehingga buruh mengalami alienasi (tiadanya makna dalam diri individu/keterasingan).
Agama dianggap sebagai kekuatan hegemonik (mungkinkah ini masih terjadi di era sekarang?) untuk membelenggu realitas sosial. Penggunaan term Agama Itu Candu hanyalah sebagai manifestasi kritik Marx terhadap kemapanan agama yang dianggap hanya diam saja atas berbagai ketimpangan sosial.
Dalam konteks yang berbeda, menulis (mungkin?) juga dapat disebut sebagai ”candu” atau madat. Tetapi, tentu dalam pengertian yang jauh berbeda. Bukan candu sebenarnya yang memberikan efek negatif terhadap tubuh manusia. Melainkan, candu yang memberi efek nyandu/nagehi (Jawa: ingin selalu mengulang melakukan/merasakan) untuk selalu menulis atas apapun yang terjadi.

”Candu” yang Menyehatkan
Menurut Dr. James W. Pennebaker, peneliti dari Barat, bahwa upaya mengungkapkan segala pengalaman yang tidak menyenangkan dengan kata-kata (melalui tulisan) dapat memengaruhi pemikiran, perasaan, dan kesehatan tubuh seseorang. Hasil penelitiannya menunjukkan, menulis itu menjernihkan pikiran, menulis dapat mengatasi rasa trauma, menulis membantu mendapat dan mengingat informasi baru, menulis dapat membantu memecahkan masalah, dan menulis-bebas membantu kita ketika terpaksa harus menulis.
Logikanya begini, bagi penulis yang sudah bergulat intim dengan dunia tulis menulis, dia biasanya akan mengalami ”keterasingan” dari dalam otaknya, kalau tidak segera memulai mengguratkannya dalam bentuk tulisan. Sebab, dengan menulis, biasanya penulis akan menemukan rangkaian solusi dari problem-problem yang ada (ini sudah sering dirasakan dan dibuktikan oleh banyak orang) dari rangkaian kata demi kata, kalimat demi kalimat, yang dituangkan di atas tuts komputer atau laptop.
Boleh percaya, boleh juga tidak, banyak orang bilang, solusi/gagasan seolah-olah muncul dengan sendirinya dalam sebuah proses menulis, meskipun sebelumnya solusi itu tidak pernah terlintas, apalagi terbayangkan sebelumnya dari dalam otak. Ketika diri sudah terstimulasi harapan (atau justru keyakinan) untuk selalu memunculkan gagasan/solusi baru atas berbagai permasalahan yang hendak diangkat, maka orang akan senantiasa mempunyai harapan yang sama untuk mengulanginya, setiap kali menulis.
Kecenderungannya, stimulus itu ingin selalu dirasakan secara berulang-ulang. Pada titik inilah bahwa term menulis itu ”candu” menemukan benang merahnya. Tetapi, (sekali lagi) dalam konteks yang positif dan menyehatkan. Jadi, daripada nyandu dengan zat aditif yang berefek buruk pada tubuh, kenapa tidak mencoba menemukan ”candu” dalam menulis? (*)

Bawah Titian, 6 Mei 2010
*) Tayang di Radar Bojonegoro Edisi 9 Mei 2010 Halaman 30

No comments:

Post a Comment