Sunday, July 4, 2010

Menunggu Gubernur Negarawan

Setelah melalui babak ”perpanjangan waktu” di Kabupaten Bangkalan dan Sampang, pemilihan gubernur-wakil gubernur Jawa Timur menemukan juaranya. Pasangan Karsa (Soekarwo-Saifullah Yusuf) akhirnya keluar sebagai pemenang, mengalahkan pasangan Kaji (Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono). KPU Jawa Timur melalui suratnya bernomor 2 Tahun 2009 tertanggal 30 Januari 2009 menetapkan pasangan Karsa sebagai gubernur-wakil gubernur Jawa Timur terpilih periode 2009-2014.
Di Bangkalan, Kaji mendapatkan 144.238 suara, sedangkan Karsa 253.981 suara. Di Sampang, Kaji memperoleh 146.360 suara, sedangkan Karsa 210.052 suara. Jadi, secara
keseluruhan Kaji mendapat 7.626.757 suara (49,89 persen), sedangkan Karsa 7.660.861 suara (50,11 persen). (Kompas, 31 Januari 2009). Selisih kemenangan pasangan Karsa atas Kaji sangat tipis, hanya 0,22 persen atau 34.104 suara.
Pelantikan pasangan yang dicalonkan oleh PAN-Partai Demokrat dan didukung Partai Golkar, PKB, dan PKS ini sudah di depan mata. Departemen Dalam Negeri merestui pasangan ini akan dilantik pada 12 Februari mendatang.
Tentu kita berharap pelantikan tersebut mengakhiri drama penentuan L1 dan L2 yang panjang dan melelahkan tersebut. Sehingga ke depan, pasangan terpilih ini segera dapat menata pembangunan di Provinsi Jawa Timur, setelah hampir setahun tidak memiliki gubernur-wakil gubernur definitif.

Fase Krusial
Segera setelah pelantikan, Karsa akan membentuk ”kabinet”-nya untuk melanjutkan pembangunan di Jawa Timur. Meski beberapa waktu lalu Pj Gubernur Jawa Timur sudah melakukan mutasi jabatan di jajaran pemprov, tidak menutup kemungkinan penataan ”kabinet” masih memungkinkan dilakukan oleh pasangan ini.
Sebagai mantan Sekdaprov Jawa Timur, Soekarwo tentu sudah banyak mengenal pejabat-pejabat yang kompeten di bidangnya untuk diberi kepercayaan membantu menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Inilah ujian pertama dan krusial yang harus dilalui Karsa dengan mulus pasca pelantikan. Bersama Baperjakatprov, keduanya dituntut cermat, teliti, proporsional, dan profesional, dalam menentukan orang-orang yang masuk dalam jajaran pemerintahannya.
Sebelum menentukan pejabat yang dipandang cakap untuk diplot sebagai pembantunya kelak, ada baiknya pasangan Karsa memperhatikan sinyalemen Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo, yang dilansir sejumlah media beberapa waktu lalu.
PGRI mengsinyalir, salah satu penyebab tak kunjung majunya perkembangan pendidikan di Indonesia adalah banyaknya kepala dinas pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang tidak kapabel di bidangnya. Temuan PGRI menyebutkan, terdapat 50 persen dispendik kabupaten/kota di Indonesia dipimpin oleh pejabat yang tidak memiliki latar belakang pendidikan. Penempatan pejabat-pejabat tersebut di lingkungan dispendik acapkali didasari pertimbangan ”balas budi” politik karena dianggap turut berjasa dalam menghantarkan calon menuju kursi bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil walikota yang sekarang ini didudukinya.
Temuan PGRI tersebut menarik untuk dikaji dan dijadikan kontrol, karena bukan hanya pendidikan saja yang perlu diperhatikan, tetapi juga instansi lain. Pada wilayah inilah kenegarawanan Soekarwo dan Saifullah Yusuf diuji. Meski keberangkatan awalnya atas tiket partai pelangi, saat masuk gerbang birokrasi, keduanya dituntut untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat dengan segala kemampuan terbaiknya, penuh dedikasi, dan mono loyalitas.
Loyalitas kepada partai politik yang memberangkatkan dan mendukungnya idealnya harus berakhir pada saat pengabdian kepada masyarakat itu dimulai. Saat ditahbiskan sebagai gubernur dan wakil gubernur, detik itu pula loyalitas yang dimiliki keduanya adalah tunggal. Yakni, loyal kepada masyarakat, dengan rela melepaskan segala atribut asal usulnya.

Politik dan Kinerja Aparatur
Sikap kenegarawanan penting diambil setidaknya karena dua aspek. Pertama, dari sisi politik (baca: legitimasi). Seperti kita ketahui bersama, kemenangan pasangan Karsa terhadap Kaji sangat tipis, hanya 0,22 persen atau 34.104 suara. Boleh dibilang bahwa kemenangan Karsa tidak mutlak, legitimasinya sangat tipis. Angka 34.104 suara tersebut hanya setara dengan penduduk di satu kecamatan untuk tingkatan sedang. Logika sederhananya adalah dukungan politik yang diberikan warga Jawa Timur tak ada separo, jika dihitung juga dengan jumlah warga yang memilih golput. Untuk menutup legitimasi tersebut, perlu diimbangi dengan sikap-sikap yang bisa diterima warga Jawa Timur, meski dalam pilgub sebelumnya, baik putaran pertama maupun kedua, tidak memilih pasangan Karsa.
Kedua, aspek kinerja aparatur pemerintahan. Jamak diketahui pula bahwa dalam pilgub putaran pertama yang lalu struktur birokrasi Jawa Timur terbelah, kendati tidak kelihatan secara kasat mata. Majunya dua birokrat, Soekarwo dan mantan Wagub Soenarjo (yang berpasangan dengan Ali Maschan Moesa/Salam), sedikit banyak akan menimbulkan friksi. Karsa bisa menekan (bahkan mungkin menghapus) friksi yang muncul tersebut dengan menampilkan sosok negarawan yang sejati, bukan semu.
Bila ini yang dilakukan, tentu yang diuntungkan adalah masyarakat Jawa Timur secara keseluruhan, bukan hanya yang memilih Karsa. Pembangunan kembali Jawa Timur akan dimulai dengan semangat baru: semangat kenegarawanan. Sekarang, bola tersebut ada di tangan Pakde Karwo dan Gus Ipul. (*)
Bawah Titian, 10 Februari 2009

No comments:

Post a Comment