Wednesday, June 9, 2010

Elegi Setandan Pisang Susu

Akhir-akhir ini drama penegakan hukum yang tumpah tindih, hingga menyentuh dinding-dinding hati nurani, terus menyeruak ke permukaan negeri ini. Tidak hanya di pusat, di daerah pun drama ironi penegakan hukum acap terlihat dengan kasat mata. Masih segar dalam ingatan kasus yang menimpa pasangan suami istri asal Desa Sukorejo, Kecamatan Kota Bojonegoro, Supriyono, 19, dan Sulastri, 19, yang diancam hukuman tujuh tahun penjara oleh jaksa penuntut umum.
Dukungan moral dari berbagai kalangan, mulai mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat hingga organisasi profesi penasihat hukum, bermunculan. Mereka rela berada di belakang
Supriyono-Sulastri (selanjutnya disebut Susu, penggalan dari suku kata pertama nama dari kedua terdakwa) untuk melawan hilangnya nurani di depan ranah hukum formal.
Mereka tergerak karena kasus yang melilit Susu teramat sepele: Susu ketahuan mencuri setandan pisang susu yang hanya senilai Rp 5 ribu di kebun pisang di Jalan Monginsidi, Bojonegoro. Tragisnya, pisang itu bukan untuk dijual melainkan untuk dimakan. Keduanya memang berasal dari keluarga miskin. Susu didakwa JPU melanggar pasal 363 KUHP (1) ke-4 tentang pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
***
Saya memang bukan ahli hukum, ataupun orang yang berkutat di dunia hukum, meskipun pernah mengenyam sedikit pendidikan tentang ilmu hukum. Namun, melihat fakta di atas, siapapun akan sepakat perkara yang menimpa Susu sangat mencederai rasa keadilan publik dan menyuguhkan pemandangan ironis. Bayangkan, di tengah begitu bebasnya para tersangka dan terdakwa kasus korupsi menikmati dunia luar, Susu mendekam di tahanan Lapas (lembaga pemasyarakatan) selama 2,5 bulan dari kasus yang akarnya kemiskinan.
Benarlah kata sebagian orang bahwa orang miskin tidak akan pernah menerima ”keadilan”, baik secara struktural maupun kultural. Secara kultural, cap Susu sebagai narapidana kasus pencurian akan selalu melekat setiap saat, dan hal itu membuat masyarakat sedikit abai atas apa yang dilakukannya kelak. Secara struktural, termasuk di depan para institusi penegakan hukum, Susu sulit mendapatkan perlakuan keadilan hukum karena ke-papa-annya. Yang Susu miliki hanya nurani, yang mendamba keadilan hukum secara legal substansial, bukan semata-mata legal formal.
Penggunaan kaca mata kuda (legal formal) dalam penegakan hukum inilah yang jauh-jauh hari dikritik habis oleh almarhum Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH, guru besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, yang perlu dipertimbangkan aparat penegak hukum di dalam menangani perkara. Beliau berpandangan, dalam dunia hukum, cara berhukum dapat dilakukan menurut bunyi teks undang-undang dan prosedur (black-letter law). Cara ini memang masih amat dominan dalam hukum di Indonesia kini. Ini adalah cara menjalankan hukum yang paling mudah dan amat sederhana.
Namun, amat sedikit jumlah mereka yang mau menerima tantangan dengan jadi vigilante (pejuang) dalam penegakan hukum. Padahal, hukum bukanlah sesuatu yang statis, steril, tetapi institusi yang secara dinamis bekerja untuk memberi keadilan kepada bangsanya. Idealnya perlu ada sebuah interaksi dinamis antara hukum dan keadaan sosial di sekitar hukum itu sendiri.
Atau, ada baiknya pula pendapat Achmad Ali, guru besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, perlu direnungkan aparat penegak hukum (syukur-syukur ikhlas dijalankan). Bahwa, seyogianya undang-undang yang selama ini dijadikan ”kitab suci” penegakan hukum di negeri ini seperti KUHP dan lainnya, direvisi. Dimungkinkan juga mediasi untuk perkara-perkara pidana ringan, seperti mencuri setandan pisang senilai Rp 15 ribu, didamaikan dan dituntaskan di kepolisian saja, tak perlu diteruskan ke pengadilan yang akhir muaranya adalah Lapas (lembaga pemasyarakatan) yang penuh sesak, yang akhirnya rawan praktik mafia jual beli ruang tahanan sebagaimana yang terjadi pada kasus Artalyta Suryani alias Ayin. Ayin, adalah terpidana penyuapan jaksa Tri Urip Gunawan, yang menjadi narapidana Rutan Pondok Bambu, Jakarta. Dengan demikian, hukum bisa menjadi jawaban rasa keadilan publik, termasuk bila menghadapi Susu-Susu yang lain di masa mendatang. (*)
Bawah Titian, 20 Januari 2010

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro Edisi 21 Januari 2010, halaman 34.

No comments:

Post a Comment