Wednesday, June 9, 2010

Refleksi Hari Pers Nasional (HPN) Penanda

HARI ini (9 Februari 2009), pers nasional merayakan ulang tahunnya yang ke-63. Di kalangan jurnalis hingga kini masih berkembang anggapan bahwa sebenarnya penetapan tanggal 9 Februari sebagai HPN masih debatable. Sebab, pers di Indonesia sudah ada dan berkembang jauh sebelum republik ini berdiri.
Penentuan hari kesembilan dari bulan dua dalam penanggalan Masehi ini sebagai HPN lebih didasarkan pada pertimbangan penyamaan momentum dengan Kongres I Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo, Jawa Tengah, 9 Februari 1946 silam. Dalam forum tersebut muncul inisiatif dan gagasan agar HPN ditetapkan pada tanggal itu juga. (SPS dalam Pers Jatim dari Masa ke Masa, 1994).
Dari sumber katalog surat kabar Perpustakaan Nasional Jakarta, pers sudah ada sejak periode pra kemerdekaan atau periode penjajahan Belanda (1810-1942). Pada periode ini terdapat 159 penerbitan pers, kebanyakan berbahasa Belanda. Sebagian lagi berbahasa Melayu, Jawa, Madura, dan Arab.
Sejarah penerbitan pers di Jawa Timur sendiri dimulai dengan terbitnya Soerabajasch Advertentieblad pada Maret 1836. Hanya, ketika itu surat kabar pimpinan CF Smith ini umumnya berisi iklan. Baru pada Maret 1837, Smith mengajukan permohonan mengisi surat kabarnya dengan berbagai macam artikel dan berita.
Sejak saat itu pers tumbuh pesat, mengisi ruang-ruang perjalanan demokrasi negeri ini. Mulai periode penjajahan Jepang (1942-1945), awal kemerdekaan (1945-1950), demokrasi liberal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965), orde baru (1967-1998), hingga orde reformasi (1998-sekarang). Dalam perkembangannya, geliat pers tidak selalu berjalan mulus. Selalu ada aral, kendala. Di fase penjajahan, baik Belanda maupun Jepang, musuh utamanya adalah kolonial. Pada masa itu pers dibungkam agar tidak menggelorakan semangat anti penjajahan. Namun, pers tidak diam. Mereka terus melawan! Melawan dengan tulisan, melawan kolonial dengan propaganda dan agitasi untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan melalui ”senapan kertasnya.”
Kendala berbeda dialami pada fase demokrasi liberal hingga orde baru. Aral menonjol di periode ini adalah tekanan politik dari penguasa. Pers tak bebas lagi menyampaikan kritik terhadap segala bentuk penyelewengan penyelenggaraan negara, khususnya pada periode orde baru. Kritis sedikit, vonisnya adalah pembredelan: pencabutan SIUPP!! Periode ini memberi catatan betapa relasi negara dengan pers yang secara historis memiliki saham besar dan penanda atas terbentuknya republik ini, betul-betul buruk.
Namun, tekanan ini tidak membuat para jurnalis patah arang. Mereka (juga) melawan!!. Bukan (lagi) dengan senapan, tetapi dengan tulisan dan proteksi hukum dalam melakukan tugas-tugas jurnalistik. Sejarah Indonesia akhirnya mencatat, lewat perjuangan berdarah-darah setahun kemudian proteksi hukum terhadap kerja para jurnalis lahir: UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sayangnya, regulasi revolusioner ini masih dianggap sebelah mata oleh hamba-hamba hukum. Kejaksaan dan aparat kepolisian lebih suka menggunakan KUHP untuk memproses delik-delik pers ketimbang UU Pers.
Bagaimana dengan pers generasi reformasi? Sejak kran kebebasan berpendapat dibuka lebar-lebar, acapkali pers kebablasan. Pers seolah tanpa kontrol, tak mengindahkan kode etik jurnalistik dan UU Pers. Label pers sebagai satu dari tiga pilar demokrasi tahap kedua (selain organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa), malah menjadi ”momok” di masyarakat. Pers lebih ditakuti, bukan disegani. Bahkan, pers (terkadang) lebih dihindari, daripada didekati demi menghindari masalah di kemudian hari.
Kita sudah 63 tahun. Sudah sepatutnya pers semakin bijak, dewasa, arif, berwibawa, serta menumbuhkan motivasi dan inspirasi perubahan sosial. Sekaranglah saatnya kita mulai memberi penanda orde. Bukankah penanda itu pula yang membuat para pendahulu kita dikenang untuk selama-lamanya. (*)

Bawah Titian, 7 Februari 2009

*) Tayang di Radar Bojonegoro, edisi 9 Februari 2009, halaman 26.

No comments:

Post a Comment