Wednesday, June 9, 2010

P e r (a) s

Bagi seorang jurnalis, atau masyarakat yang concern terhadap media massa, tentu tidak asing dengan nama Fuad Muhammad Syafruddin (Udin). Dia adalah wartawan Bernas. Udin tewas dianiaya di rumah kontrakannya, Jalan Parangtritis km 13, Bantul, Selasa malam, 16 Agustus 1996.
Misteri pembunuhan Udin diduga berkaitan dengan tulisan-tulisannya yang mengungkap isu-isu korupsi, ketidakjujuran, hingga bisnis politik di Bantul. Kota kecil sebelah selatan Jogjakarta. Karya jurnalistik Udin bernuansa investigatif. Tidak sekadar menengadah pernyataan elite pejabat semata.
Dia meliput dengan me-recheck pernyataan pejabat dengan fakta di lapangan. Datanya akurat. Tulisan yang menghantarkannya ke gerbang Elmaut itu adalah soal penyunatan IDT di Desa Karangtengah, Bantul. Kematian Udin menandai relasi kekuasaan antara rakyat dan negara yang buruk.
Rezim Orde Baru selama memerintah senantiasa menempatkan dirinya lebih tinggi derajatnya ketimbang rakyatnya. Bupati Bantul kala itu, Sri Roso Sudarmo, menunjukkan sikap despotiknya. Dia berniat menempuh jalur hukum terhadap Udin, wartawan yang selalu kritis terhadap setiap kebijakannya. Tanggal 8 Agustus, Sri Roso menginstruksikan jajaran pemerintahan setempat melawan Udin. Lima hari kemudian, Udin dianiaya oleh seseorang tidak dikenal. Tanggal 16 Agustus 1996, Udin meninggal dunia.

***
Beberapa hari lalu publik dibuat terhenyak dengan pemberitaan di koran. Ada dugaan dana APBD Bojonegoro tahun anggaran 2006-2007 di pos sekretariat DPRD (setwan) setempat mampir ke kantong pihak ketiga. Jumlahnya sekitar Rp 3 miliar. Pihak ketiga yang diduga turut menikmati dana dari setwan itu antara lain jaksa, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP), serta wartawan. Yang cukup memiriskan, dari total dana tersebut, yang diterima oknum wartawan Rp 500 juta!! Citra jurnalis tercoreng.
Udin era orde baru dengan ”Udin” era reformasi, sungguh tak sama. Kebebasan untuk menyampaikan pendapat yang tergelar di masa kini, tidak berbanding lurus dengan spirit menegakkan fungsi kontrol. Terlalu naif memang membandingkan etos kerja Udin dulu dengan ”Udin” kini. Udin lebih memilih kehadiran Izrail daripada membeslahkan idealisme keberpihakannya kepada rakyat.
Udin lebih bangga meninggalkan istrinya menjadi janda dan rela anaknya yatim daripada tunduk di bawah ketiak rezim despotik. Udin lebih suka berkalang tanah ketimbang hidup dengan bayang-bayang rasa berdosa karena tidak mampu menyuarakan keadilan dan kebenaran.
(sekali lagi) Kita belum bisa seperti Udin. Namun, spirit Udin mencari kebenaran tanpa pamrih, dan perjuangan untuk selalu konsisten menyuarakan keadilan, sudah seharusnya menjadi semangat ”Udin” sekarang untuk selalu berusaha berbuat baik. Meski, penilaian akhir perbuatan baik bukan di tangan kita. Sudah seharusnya pers konsisten dengan ikrar menjadi corong masyarakat. Karena hakikinya, mengutip lirik lagu Kantata Taqwa, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. (alfin_995@yahoo.com).

Bawah Titian, 8 Januari 2009

*) Esai ini tayang di Radar Bojonegoro edisi 12 Januari 2009, halaman 26.

No comments:

Post a Comment