Wednesday, June 9, 2010

Pelajaran dari Banjir

BANJIR akibat luapan Bengawan Solo kembali membuat warga yang berdomisili di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS), yang meliputi antara lain Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik, menderita. Mereka harus bersusah payah mengemasi barang-barangnya sekaligus menyelamatkan jiwanya untuk mengungsi di tempat-tempat yang lebih aman.
Kompas edisi Jawa Timur (27/2) mencatat, di Jatim banjir menggenangi 10.636 rumah yang dihuni 43.017 jiwa. Warga yang mengungsi tercatat setidaknya 4.282 jiwa. Khusus di Bojonegoro, banjir kali ini melanda di 105 desa di 12 dari 27 kecamatan se Kabupaten Bojonegoro. Banjir ini juga mengakibatkan tanaman padi mulai umur 20 hari hingga siap panen seluas 6.705 hektar dan palawija 408 hektar ikut terendam.
Penderitaan warga korban banjir kian bertambah, karena bisa dibilang mereka terpaksa menanggung sendiri bencana alam ”langganan” tersebut. Hal itu dikarenakan sejauh ini
bantuan makanan, obat-obatan dan lainnya yang mereka terima dari berbagai pihak nyaris tidak ada. Kalaupun ada hal itu hanya dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing, dan sangat sedikit dari pihak swasta dan institusi lainnya.
Pemandangan tersebut jauh berbeda dengan bencana banjir besar yang terjadi pada akhir 2007 hingga awal 2008 lalu. Ketika itu, banyak pihak terlibat, membantu meringankan beban warga korban banjir dengan menghimpun bantuan sekaligus turun tangan langsung melakukan evakuasi. Di antara sekian stakeholder yang turun tangan ketika itu adalah dari kalangan caleg dan partai politik.
Saat itu, mereka seolah beramai-ramai dan berlomba untuk berada di garis terdepan untuk membantu korban banjir. Mereka tidak hanya menghimpun dana untuk kemudian disalurkan, tetapi juga menurunkan tim khusus tanggap darurat yang bertugas menangani korban banjir.
Tim khusus ini tidak hanya mengantar bantuan makanan seperti makanan cepat saji dan lainnya, tetapi juga mengirim nasi bungkus ke kantong-kantong pengungsi yang sulit dijangkau. Para relawan dari parpol itu juga menerjunkan tim yang dilengkapi perahu boat untuk mengevakuasi warga dan diungsikan ke tempat yang lebih aman. Pendek kata, terlepas mereka mempunyai muatan politis di balik aksi-aksi sosialnya tersebut, totalitas tim relawan parpol kala itu benar-benar patut diacungi jempol.
Bagaimana dengan aksi mereka terhadap korban banjir saat ini? Nyaris tak ada gaungnya.
Kalaupun ada, intensitasnya jauh menurun. Mereka tidak lagi getol menghimpun dana untuk kemudian menyalurkannya kepada korban banjir. Pengakuan warga Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro, wilayah terparah yang terdampak banjir Bengawan Solo, menjadi bukti betapa agresifitas parpol dalam membantu korban banjir nyaris tak tampak.
Mereka mengaku hingga kini bantuan makanan yang masuk kepada warga amat minim, jauh dari kata cukup. Padahal, kondisi warga sungguh mengkhawatirkan, karena tanggul
penahan air Bengawan Solo mulai jebol. Mengapa para calon anggota legislatif (caleg) dan parpol tidak terlihat? Mengapa mereka seolah tenggelam seperti karamnya poster dan alat peraga mereka karena tertelan banjir? Dimana para caleg itu?

Trauma
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab mereka menghilang dari pusaran massa yang justru sebenarnya membutuhkan pertolongan para caleg. Pertama, para caleg dan parpol saat ini sedang konsentrasi untuk menata dukungan, karena Pemilu 2009, khususnya pemilihan legislatif, tinggal 40 an hari. Para caleg dan parpol akan berpikir seribu kali kalau mengeluarkan dana untuk membantu korban banjir. Dana yang sebenarnya sudah disiapkan lebih diprioritaskan sebagai modal untuk memenangkan pertarungan perebutan kursi legislatif dalam pemilu 9 April mendatang.
Kedua, bisa jadi mereka trauma dengan kasus-kasus pidana pemilu yang mulai menimpa banyak caleg. Maksudnya, ada kemungkinan bahwa naluri kemanusiaan para caleg untuk membantu korban banjir ada. Namun, mereka kesulitan menemukan metodenya agar tak sampai dijerat Panwas Pemilu, karena dianggap sebagai kampanye dini yang menjurus pada pidana pemilu.
Seperti dilansir di beberapa media cetak, baru-baru ini seorang caleg dari PKNU divonis enam bulan penjara dan denda sebesar Rp 6 juta secara tanggung renteng subsider 15 hari penjara oleh Pengadilan Negeri Bojonegoro. Terdakwa dianggap melanggar pasal 274 junto pasal 87 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu junto pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP, karena mengadakan jalan sehat berhadiah. Kegiatan itu dinilai sebagai kampanye dini karena hadiahnya terdapat stiker caleg yang bertuliskan ajakan untuk memilih caleg dimaksud.
Hal serupa terjadi di Lamongan. Seorang caleg dari PKB juga divonis enam bulan penjara dan denda Rp 6 juta. Terdakwa dinilai melanggar pasal 270 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu karena dengan sengaja berkampanye di lingkungan pendidikan. Dua kasus itu tampaknya membuat para caleg trauma untuk bertindak yang terlalu jauh.

Kontekstual
Kendati bukan merupakan satu-satunya asa bagi para korban banjir, alangkah indah dan beretikanya seandainya para caleg menanggalkan sejenak baju kepartaiannya untuk lebih menonjolkan kepekaan sosial. Memang tak mudah untuk dilakukan, tetapi sebagai calon wakil rakyat idealnya sense of belonging (kepekaan untuk memiliki) dan sense of crisis (kepekaan terhadap krisis) terhadap rakyat yang akan diwakilinya menjadi landasan utama. Justru disinilah momentum latihan yang paling tepat dan sesungguhnya untuk membedakan antara kepentingan politik praktis dan kepentingan sosial yang berdimensi lebih luas.
Lagi pula, masyarakat sebenarnya semakin cerdas untuk menentukan pilihan siapa yang terbaik, karena sering ”dilatih” dengan berbagai momentum suksesi politik. Pilkades, pilkada, pilgub, hingga pemilu-pemilu di masa lalu merupakan pembelajaran yang sangat efektif dan mencerdaskan.
Kalaupun caleg dan parpol memberikan sesuatu yang dapat meringankan beban korban banjir, ada baiknya tanpa diembel-embeli ajakan untuk memilih karena hal itu rawan untuk terjadinya tindak pidana pemilu. Tanpa isyarat itupun, masyarakat sudah cerdas dan dapat menangkap sasmito yang ada.
Sebagai orang berbudaya timur yang sangat mengagungkan balas budi sebagai sebuah relasi kemanusiaan, rakyat sudah tahu pasti apa yang akan dilakukannya di bilik suara pada 9 April 2009. Tidak perlu caleg dan parpol menegaskannya dengan ajakan-ajakan memilih sebagai sebuah ikatan bantuan yang memaksa. Musibah banjir ternyata menjadi momentum pembelajaran demokrasi kontekstual bagi kita. Bukankah ini sebenar-benarnya esensi demokrasi? (*)

*) Tayang di Tabloid Suara Banyuurip Edisi 20/II/Maret 2009.

No comments:

Post a Comment